Rekam jejak demokrasi dan kebebasan sipil sepanjang 2020 banyak diwarnai tindakan represif aparat terhadap masyarakat dan penggunaan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Represifitas aparat utamanya kerap terjadi dalam gelombang aksi demonstrasi mahasiswa, buruh, dan pelajar yang menolak pengesahan UU Omnibus Law.
Sementara, penangkapan atas dugaan ujaran kebencian atau Pasal 28 UU ITE beberapa kali terjadi terhadap kelompok oposisi pemerintah.
Wakil Direktur Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Rivanlee Anandar menyebut 2020 bahkan lebih suram dari tahun sebelumnya.
Saat ditanya mengenai hal positif soal kebebasan sipil sepanjang 2020 atau periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo, Rivan bilang pemerintah hanya konsisten dalam kekeliruannya.
"Positifnya dia terus konsisten di jalan yang tidak benar... Praktis jadinya tidak ada. Itu, untuk isu demokrasi dan isu kebebasan sipil," kata Rivan, Jumat (4/12) malam.
16 Januari: Jaksa Agung Sebut Tragedi Semanggi Bukan Pelanggaran HAM Berat
Catatan soal HAM dan kebebasan sipil yang mewarnai sepanjang 2020 dibuka dengan pernyataan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin yang menyebut penembakan aktivis dalam Tragedi Semanggi I dan II 1998 bukan pelanggaran HAM berat.
Pernyataan itu diungkapkan Burhanuddin berdasarkan hasil Rapat Paripurna DPR yang menyatakan dua kasus tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat.
"Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II, telah ada hasil Rapat Paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat," kata Burhanuddin saat menggelar rapat dengan Komisi III DPR, Jakarta, Kamis (16/1).
Belakangan pernyataan itu menuai kecaman, terutama dari keluarga korban. Mereka kemudian melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara pada 12 Mei. Meski Burhanuddin ngotot dengan pernyataannya.
"Pernyataan Jaksa Agung menyebabkan keluarga korban sebagai para penggugat mengalami kerugian langsung," sebagaimana dikutip dari situs Amnesty Internasional Indonesia (AII).
Proses persidangan berjalan hingga enam bulan. PTUN kemudian memutus Burhanuddin telah melawan hukum. Sebagai pihak tergugat, Burhanuddin juga diminta membuat pernyataan lagi dalam forum yang sama terkait kebenaran kedua kasus itu. Burhanuddin kemudian mengajukan banding pada 11 Mei.
5 April: Surat Telegram Penghinaan Pejabat dan Hoaks
Sebulan usai pemerintah mengumumkan kasus pasien pertama Covid-19, Kapolri Jenderal Idham Aziz mengeluarkan Surat Telegram berupa penanganan Polri selama wabah pandemi Covid-19.
Salah satu instruksi dalam surat tersebut, Idham memerintahkan jajarannya untuk tak segan menangkap pihak yang menyebarkan informasi palsu atau hoaks terkait kebijakan pemerintah dalam menangani Covid-19.
Instruksi itu tertuang dalam Surat Telegram Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1.2020 per tanggal 4 April 2020.
"(Serta) Penghinaan terhadap penguasa/presiden dan pejabat pemerintah," demikian salah satu instruksi dalam surat tersebut.
Buntutnya, kurang dari seminggu usai surat itu diterbitkan, polisi menetapkan 81 orang sebagai tersangka dugaan penyebaran berita bohong atau hoaks terkait penanganan virus corona (Covid-19).
Surat telegram tersebut banyak menuai kecaman, di antaranya dari Presiden ke-6 RI Soesilo Bambang Yudhoyono. Dia meminta agar Polri mengevaluasi penerbitan surat itu.
"Saya perhatikan beberapa hari terakhir ini justru ada situasi yang tak sepatutnya terjadi. Apa itu? Kembali terjadi ketegangan antara elemen masyarakat dengan para pejabat pemerintah, bahkan disertai dengan ancaman untuk "mempolisikan" warga kita yang salah bicara. Khususnya yang dianggap melakukan penghinaan kepada Presiden dan para pejabat negara," ujar SBY dalam tulisan artikelnya yang diunggah ke akun Facebook, Rabu, (8/4) siang.
Sementara itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Mabes Polri, Brigjen Argo Yuwono kala itu menyebut penegakan hukum terhadap kasus penghinaan terhadap penguasa selama masa pandemi corona ditujukan sebagai acuan bagi penyidik dalam melaksanakan tugasnya.
Menurutnya, penerapan pasal tersebut nantinya dapat dikaji ulang tergantung dengan unsur pidana dari kasus tersebut.
"Itu kan acuan saja untuk anggota reskrim (reserse kriminal)," kata Argo seperti dilansir Kabarmakkahcom dari CNNIndonesia.com, Rabu (8/4).
10 Oktober: 5.918 Massa Aksi Tolak Omnibus Law Ditangkap
Gelombang aksi demonstrasi menolak pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja berbuntut pada penangkapan terhadap 5.918 peserta aksi, yang terdiri dari buruh, pelajar, maupun mahasiswa.
Sejatinya, demonstrasi telah berlangsung sejak akhir Januari, kala DPR mulai membahas RUU tersebut usai diserahkan oleh Presiden Joko Widodo.
Demo yang dimotori oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) itu menolak sejumlah pasal dalam UU Ciptaker yang dinilai merugikan buruh, seperti penghapusan pesangon, jaminan sosial, dan hak tenaga asing.
"Dalam aksi berujung anarkis, Polri menangkap 5.918 orang," kata Argo Yuwono dalam keterangannya, Sabtu (10/10).
Dari ribuan peserta aksi, sebanyak 240 orang dinaikkan status ke tahap penyidikan. Kemudian, 153 orang masih dalam proses pemeriksaan, 87 orang sudah dilakukan penahanan.
Dalam aksi yang dilakukan secara maraton itu mencapai puncaknya pada 8 Oktober. Istana Presiden di Jakarta dikepung oleh puluhan ribu orang massa aksi.
Demo berujung ricuh dan perusakan sejumlah fasilitas, utamanya halte busway dan pos polisi di sekitar jalan MH. Thamrin, Simpang Harmoni, dan Tugu Tani.
Aksi bermula setelah DPR yang disebut secara diam-diam mengetuk palu pengesahan RUU Omnibus Law pada 5 Oktober.
9-15 Oktober: Penangkapan 8 Aktivis KAMI
Polisi menangkap delapan aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di Medan dan Jakarta dalam rentang waktu 9-15 Oktober usai rangkaian demo pengesahan RUU Omnibus Law Ciptaker.
Empat orang ditangkap di Medan, Sumatera Utara yakni, Juliana, Devi, Wahyu Rasari Putri, dan Khairi Amri. Nama terakhir merupakan Ketua KAMI Medan. Sedangkan empat orang lain yang ditangkap di Jakarta antara lain, Anton Permana, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, dan Kingkin Anida.
Anton, Syahganda dan Jumhur merupakan petinggi KAMI. Anton adalah deklarator, sementara Syahganda dan Jumhur merupakan Komite Eksekutif KAMI. Polri menetapkan tiga anggota Komite Eksekutif Koalisi KAMI sebagai tersangka.
Hingga beberapa hari usai penangkapan, polisi belum merinci kasus yang menjerat delapan orang tersebut. Namun, umumnya, mereka disangkakan pasal ujaran kebencian lewat Pasal 45 A ayat (2) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Sepanjang 2020, KontraS menyebut pemerintah seolah menganggap wajar segala bentuk ancaman terhadap masyarakat yang memiliki kontra narasi terhadap pemerintah.
Di sisi lain, kata dia, pemerintah tak pernah memiliki parameter yang jelas dalam menindak kritik-kritik tersebut.
"Dari semua peristiwa itu tidak ada evaluasi dari negara untuk mengoreksi apa yang telah dilakukannya," katanya.