Konsepsi ilmu hadis konvensional menyebut sahabat adalah orang yang hidup sezaman dan melihat Nabi Saw.
Logika sederhananya mereka orang-orang yang hidup di jazirah Arab dan sekitarnya yang arena kedekatan geografis memungkinkan mereka melihat, bertemu, dan berinteraksi dengan Nabi Saw.
Namun demikian kitab-kitab biografi sahabat memuat satu nama sahabat Nabi Saw yang bukan berasal dari bangsa Arab. Bila benar demikian karena itu perlu investigasi mendalam.
Keberadaannya tidak saja memberi oksigen baru bagi kita dalam ikhtiar pemaknaan baru bagi konsep keilmuan tradisional Islam yang menjadi concern kajian kita selama ini, bahkan dapat mendekonstruksi tidak hanya bangunan epistemologi ilmu keislaman klasik, khususnya ilmu kalam dan ilmu hadis, juga bangunan epistemologi ilmu humaniora Barat.
Satu nama tersebut ditulis dengan sebutan Sri Paduka Malik al-Hind (سرباتك مالك الهند). Termuat dalam kitab Usd al-Ghabah fi Ma'rifah al-Shahabah karya Ibn al-Atsir, biografi no. 1958, kitab Lisan al-Mizan karya karya Ibnu Hajar al-'Asqalani, jilid 4, hal. 19, biografi no. 3359 dan kitab Bihar al-Anwar al-Jamiah li Durari Akhbar al-Aimmah al-Athhar karya Muhammad Baqir al-Majlisi, jilid 14, hal. 520, bab Ahwal Muluk al-Ardh (berita para raja di dunia).
Al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak jilid 4, hal. 241, meski tidak mencatat biografi Malik al-Hind sebagaimana kitab yang lain, ia melaporkan sebagian hadiah yg diberikan kepada Nabi Saw yang berupa tembikar (jarrah) dan jahe (zanjabil) sebagai obat segala penyakit waktu itu (dawaun likulli da').
Pertanyaannya, siapakah dia, si Malik al-Hind itu? Kata kuncinya ada pada makna al-Hind dalam konsepsi para penulis Arab zaman dulu, bukan zaman sekarang atau pasca kolonialisasi bangsa Eropa.
Pasca imperialisme Eropa, kata Bilad al-Hind diartikan sebagai Negara India, atau negara-negara yang berada di anak benua India sana. Akan tetapi sebelum itu, kata Bilad al-Hind selain dipakai untuk menunjukkan wilayah yang dikelilingi samudra Hindia dan dilalui garis katulistiwa yang berpusat di Nusantara sekarang. Dan juga dipakai untuk menyebut wilayah kepulauan di daerah Indo-China dan pasifik.
Ingat sebutan negara Hindia-Belanda saat negara Indonesia dibawah penjajahan belanda dulu, kan? Dengan demikian apakah Sri Paduka Malik al-Hind yang disebut dalam referensi di atas adalah seorang Maharaja dari Nusantara? Pertanyaan selanjutnya, apakah ini gelar bagi seorang raja atau nama seorang raja?
Di sinilah letak urgensi pemakaian metode abduktif dengan the logic of discovery dalam ilmu hadis revisionis juga ilmu keislaman yang lain.
Ini juga yang saya maksud kita harus menemukan sesuatu yang baru dalam mendekati Islamic Studies yang kita warisi dari khazanah klasik. Dalam konteks keindonesian hal ini penting selain untuk menampilkan dan mempromosikan wajah islam nusantara yang distingtif dengan model islam-islam (wilayah) lainnya, juga untuk melacak geneologi Islam with smiling face yang melekat pada wajah Islam Nusantara kita.
Sebelum ke sana. Kita perlu membaca lebih dulu informasi awal tentang Malik al-Hind yang direkam dalam referensi yang saya sebut di atas. Kita mulai dari yang tertua, kitab Usd al-Ghabah:
سرباتك الهندي
“Makki bin Ahmad al-Barda'i meriwayatkan dari Ishaq bin Ibrahim al-Thusi, ia berkata: haddatsani—saat itu berumur 97 tahun, ia berkata: Aku melihat Sri Paduka, Malik al-Hind, di sebuah negeri bernama Qannuh. Aku bertanya kepadanya: Berapa umur Baginda? Ia menjawab: 925 tahun. Ia seorang Muslim. Menurutnya, Nabi Saw mengutus 10 sahabatnya di antaranya Hudzaifah bin Yaman, 'Amr bin Ash, Usamah bin Zaid, Abu Musa al-Asy'ari, Shuhaib, Safinah dan lain-lain untuk mengajaknya masuk islam. Ia (Sri Paduka) menerima dan masuk Islam. Ia pun menerima surat Nabi. Riwayat ini dibawakan oleh Abu Musa. Diabaikan oleh Abu Mandah dan yang lainnya. Mengabaikannya lebih utama daripada membuktikannya. Sekiranya kami tidak mensyaratkan untuk menyebut semua biografi yg telah mereka sebut, atau salah satunya. Niscaya nama ini atau nama lainya akan kami abaikan”
(Kutipan selesai)
Sampai di sini informasi yang kita terima dari Ibn al-Atsir. Yang menarik dari informasi tersebut adalah umur Sang Raja yang sangat panjang (925 tahun). Sepertinya sulit dinalar, bukan? Akan tetapi dengan prespektif yang lebih luas dan bukan sekedar hitung-hitungan angka semata, informasi seperti ini bisa menjadi pembuka jalan bagi rasionalisasi adanya seseorang yang dapat berumur panjang sampai ribuan tahun lamanya setelah sebelumnya informasi tentang umur Salman al-Farisi yang mencapai sekitar 350 tahun.
Dalam tradisi ajaran Ibrahimi yang bersifat teosentris panjangnya umur Salman menjadi penghubung bagi the missing link antara Nabi Isa as dan Nabi Muhammad Saw. Ditengarai Salman pernah berjumpa dengan para murid setia Jesus, al-khawariyyun, yang menubuwatkan kedatangan Nabi Muhammad Saw dan murid setianya, Imam 'Ali as.
Inilah mengapa Salman bertanya kepada Nabi dalam riwayat yang terkenal: man washiyyuka? Dan dijawab Nabi Saw dengan jawaban yang tegas dan jelas yang tidak ada takwil lain selain yang tersurat.
Dr Muhammad Babul Ulum, M.Ag, Ustaz dan Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra Jakarta.*