Pesawat Garuda Indonesia itu, terguncang hebat. Jatuh, lalu tersinjajar dan bunyi dentuman keras mencabik langit. Api membubung. Pekik sudah tak bisa didengar lagi.
Pesawat itu membawa jamaah haji Indonesia yang terbang dari Jeddah menuju Jakarta dan transit di Colombo.
Peristiwa 15 November 1978 silam itu merupakan yang kedua, pada 1974 pesawat haji Indonesia juga jatuh di negara yang sama, Srilanka. Pada 2021, atau 43 tahun kemudian, saya berjumpa dengan salah seorang korban selamat. Namanya, Haji Ali Usman Datuk Tumanggung, mantan walinagari, Barulak, Kabupaten Tanah Datar. Tukang urut tradisional terkenal ini, berkisah soal tragedi itu pada, Ahad (10/01).
Menurut dia, pesawat terbang mulus dari Jeddah, semua isinya jamaah haji. Tidak ada sesuatu apapun yang mencurigakan. Ketika hendak transit di Colombo, terdengar pengumuman, pesawat akan berhenti sejenak. Penumpang satu sama lain, berbisik. “Transit, sudah hampir ke Indonesia.”
“Mendadak ada pemberitahuan tanda bahaya. Lalu, pesawat tergoncang keras dan … jatuh. Goncangan dan hempasan begitu keras. Teriakan dan rintihan terdengar dari berbagai sudut. Abi Karsa, wartawan Banjarmasin Post, buru-buru membuka sabuk pengaman dan mengajak isterinya keluar. Dia mencoba memecah kaca jendela tapi gagal. Istrinya melihat lobang di belakang. Ternyata ekor pesawat putus dan memberi celah yang lebar,” tulis sebuah laporan di situs historia.id.
“Saya ada di pesawat itu, saya dan orang tua, hendak pulang ke Tanah Air,”kata Ali Umar sembari tetap mengurut pasiennya.
Ia tak menyangka, pesawat besar itu akan jatuh di negeri orang.
“Terguncang, hebat sekali, kemudian jatuh dan mendarat di parak ibu dan parak karambia,” katanya mengenang.
Ia berusaha keluar guna mendapatkan pertolongan. Ia luput melihat pesawat sudah cempong di bagian ekornya. Yang ia rasakan, sesuatu yang ganjil. Masih terngiang pekik histeris di atas pesawat, kini ia sudah di darat dan selamat. Ucapan syukur lantas ia panjatkan.
Menurut Pak Haji, pesawat jatuh di perkebunan kelapa milik rakyat. Ini sekitar 3,7 km sebelah timur bandara Katunayake.
Kecelakaan ini menewaskan 174 jamaah haji dan delapan kru pesawat, sementara korban selamat berjumlah 75 penumpang dan lima kru.
Pesawat besar itu, yang jatuh itu, mengejutkan rakyat Indonesia. Rasa cemas menyelimuti negeri, entah penumpangnya selamat entah tidak. Adalah siaran radio BBC dan kemudian “Dunia dalam Berita” TVRI yang kemudian menjelaskan kepada rakyat Indonesia, ada penumpang yang selamat.
Terkenang
Tatkala Sriwijaya Air Jakarta-Pontianak jatuh, semua penumpang dikhawatirkan meninggal dunia, Pak Haji Ali Usman, terkenang tragedi yang menimpa pesawat yang ia tumpangi 43 tahun silam.
Pria yang mulai praktik urut tradisional sejak 1958 itu, sudah merasakan betapa dahsyatnya kalau pesawat jatuh.
Adalah rahmat Allah, ia dan 74 penumpang lainnya bisa selamat.
Baginya “hidup kedua” itu memang hadiah dari Allah, karena itu ia selalu tercenung dan sedih kalau mendengar berita pesawat jatuh. Doanya, senantiasa untuk para korban.
Setelah para penumpang yang meninggal dan luka dilarikan ke rumah sakit, sekitar 24 jam kemudian, yang selamat diterbangkan kembali ke Indonesia oleh maskapai Garuda. Jumlah mereka 33 orang dari 75 orang. Sisanya yang 42 orang lainnya, belum mau terbang, karena masih trauma dan menunggu kalau-kalau sanak-saudaranya masih ada yang selamat.
Beberapa hari kemudian mereka baru kembali ke Tanah Air. Penumpang yang meninggal dunia semua merupakan jamaah haji Kalimantan Selatan.
“Sebanyak 136 jenazah yang tak dikenali dimakamkan di empat lubang di sekitar Makam Pahlawan “Bumi Kencana”, Banjarbaru,”
“Jadi bitulah, ambo ado di pesawat tuh,”kata Pak Haji.
Ia terlihat segeh, segar bugar dan setiap hari berjam-jam memberikan pertolongan kepada yang datang.
Mereka yang datang kebanyakan patah, terkilir, atau ada sesuatu yang salah pada tubuhnya. Pak Haji, hanya mengelus-elus saja, tak dinyata yang sakit bisa sehat. Ia punya rumah penginapan juga bagi pasiennya yang parah. Pak Haji punya anak yang menjadi dokter paru-paru.
Ketika diwawancarai, sang dokter sedang melintas. Ia baru pulang bertugas untuk pasien Covid-19 di RSUP M Djamil Padang.
Demikianlah Ali Usman yang tak mengenal lelah itu, merupakan walinagari Barulak yang terkenal.Kini tentu bukan dia lagi yang jadi walinagari, tapi seantero Tanah Datar bahkan kemana-mana orang mengenalnya sebagai Pak Wali.
“Walinagari seusia saya di Sumatera Barat sudah meninggal semua, yang masih hidup hanya saya, alhamdulillah,” katanya.
Ia akan memberikan pertolongan lagi, sebab banyak orang sedang menunggu untuk diurut. Sudah ribuan bahkan mungkin puluhan ribu orang yang ia tolong.