Belum selesai pandemi Covid-19, sekarang muncul lagi virus baru bernama virus nipah.
Gejala virus nipah, sekilas mirip dengan influenza.
Penyakit ini pertama kali muncul di Malaysia, menyebabkan wabah respirasi pada babi, yang kemudian menyerang manusia.
Virus Nipah (NiV) merupakan virus zoonosis yang bisa menular dari hewan seperti kelelawar dan babi ke manusia.
Tingkat kematian virus Nipah mencapai 75% dan sampai saat ini belum ada vaksinnya.
Dikutip dari laman Litbang Kementerian Pertanian, kelelawar pemakan buah Pteropus sp. sebagai pembawa virus tersebut.
Selain di Malaysia, di beberapa Negara lainnya di Asia, telah terdeteksi adanya antibodi dan virus Nipah pada Pteropus sp.
Hal ini terlihat dari ditemukannya virus Nipah dari urine dan saliva kalong Pteropus tersebut. Seperti di Bangladesh dan India, yang menyebabkan kematian pada manusia.
Gejala dan cara penularan virus Nipah
Kelelawar sebagai inang virus NipahKelelawar sebagai inang virus Nipah
Dikutip dari laman WHO, periode inkubasi virus Nipah mencapai 4 hingga 14 hari bahkan pernah dilaporkan mencapai 45 hari.
Seseorang yang terinfeksi virus Nipah dapat mengalami gejala-gejala seperti batuk, sakit tenggorokan, meriang dan lesu, dan ensefalitis, pembengkakan otak yang dapat menyebabkan kejang-kejang dan kematian.
Cara penularan virus Nipah kepada manusia yakni melalui makanan yang terkontaminasi maupun kontak dengan kelelawar maupun babi tanpa menggunakan pelindung.
Berdasarkan laporan di Bangladesh dan India, cara penularan virus Nipah yakni melalui konsumsi buah maupun produk olahan buah yang terkontaminasi dengan urin maupun air liur kelelawar yang terinfeksi.
Beberapa orang juga dapat mengalami pneumonia atipikal dan masalah pernapasan yang parah, termasuk gangguan pernapasan akut.
Ensefalitis dan kejang bisa terjadi pada kasus yang parah, dan berkembang menjadi koma dalam waktu 24 hingga 48 jam.
Masa inkubasi virus Nipah (interval dari infeksi hingga timbulnya gejala) diyakini berkisar dari 4 hingga 14 hari.
Namun, masa inkubasi yang lama bisa mencapai 45 hari pun telah dilaporkan.
Kebanyakan orang yang selamat dari ensefalitis akut dan sembuh total, tetapi kondisi neurologis jangka panjang juga telah dilaporkan terjadi pada mereka yang selamat.
Sekitar 20 persen pasien mengalami konsekuensi neurologis residual seperti gangguan kejang dan perubahan kepribadian. Sejumlah kecil orang yang sembuh kemudian kambuh.
Saat ini tidak ada obat atau vaksin khusus untuk infeksi virus Nipah meskipun WHO telah mengidentifikasi Nipah sebagai penyakit prioritas dalam WHO Research and Development Blueprint.
Perawatan suportif intensif direkomendasikan untuk mengobati komplikasi pernapasan dan neurologis yang parah.
Pandemi Baru ?
Virus Nipah memiliki tingkat kematian hingga 75% dan sampai saat ini belum ada vaksinnya.
Seorang ahli asal Thailand, Supaporn Wacharapluesadee, yang bekerja sebagai peneliti di Red Cross Emerging Infectious Disease-Health Science Centrer, telah menganalisa banyak sampel spesies pada Januari 2020, termasuk kelelawar dan menemukan hewan ini bisa menimbulkan ancaman baru, seperti halnya Covid-19.
"Ini sangat mengkhawatirkan karena belum ada obatnya dan tingkat kematian yang tinggi akibat virus ini," katanya dikutip dari BBC.
Meskipun virus Nipah hanya menyebabkan beberapa wabah yang diketahui di Asia, virus ini cukup mengancam karena menginfeksi berbagai macam hewan dan menyebabkan penyakit parah hingga kematian pada manusia.
Virus Nipah pertama kali dikenali di Malaysia pada 1999 Malaysia, yang juga mempengaruhi Singapura.
Kebanyakan infeksi pada manusia disebabkan oleh kontak langsung dengan babi yang sakit atau jaringannya yang terkontaminasi.
Dalam wabah berikutnya di Bangladesh dan India pada 2001, konsumsi buah-buahan atau produk buah-buahan (seperti jus kurma mentah) yang terkontaminasi dengan urin atau air liur dari kelelawar buah yang terinfeksi diduga menjadi sumber utama penyebaran.
Maka dari itu, manusia harus mengurangi kontak dengan kelelawar yang berpotensi menyebarkan virus Nipah.
Karena selain virus Nipah, kelelawar juga kita ketahui membawa penyakit berbahaya seperti Covid-19, Ebola, dan Sars.
Kalau begitu, perlukah kita membasmi kelelawar?
Tidak, kecuali kita ingin memperburuk keadaan, kata Tracey Goldstein, direktur Laboratorium One Health Institute dan laboratorium Proyek Prediktik.
"Kelelawar memainkan peran ekologis yang sangat penting," ujarnya.
Kelelawar menyerbuki lebih dari 500 spesies tanaman.
Mereka juga membantu mengendalikan populasi serangga - peran yang sangat penting dalam mengendalikan penyakit pada manusia dengan, misalnya, mengurangi risiko malaria dengan memakan nyamuk-nyamuk yang menjadi vektornya, kata Goldstein.
"Mereka memainkan peran yang sangat penting dalam kesehatan manusia."
Dia juga menekankan bahwa memusnahkan kelelawar telah terbukti merugikan dari sudut pandang penyakit.
"Yang dilakukan suatu populasi saat Anda mengurangi jumlahnya ialah membuat lebih banyak anak - itu akan membuat [manusia] lebih rentan. Dengan membunuh hewan, Anda meningkatkan risikonya, karena Anda meningkatkan jumlah hewan yang menyebarkan virus," ujarnya.