Rencana Komunitas Muslim Beppu untuk membuka pemakaman baru di wilayah Kyushu, Jepang mendapat tentangan keras dari penduduk setempat.
Hukum agama Islam dengan tegas melarang kremasi dan mewajibkan jenazah Muslim untuk dimakamkan dengan tradisi Islam.
Di Jepang, di mana sebagian besar orang dikremasi, hanya sejumlah kecil kuburan yang menawarkan tempat pemakaman yang layak bagi populasi Muslim yang terus bertambah.
Warga Muslim Jepang banyak di Hokkaido dan wilayah Kanto, tetapi pemakaman tidak ada di Kyushu.
Dikutip Kabarmakkah.com dari Japan Times, Minggu, 29 November 2020, Komunitas Muslim Beppu di Prefektur Oita adalah satu-satunya yang menerima pemakaman Muslim di Kyushu, tetapi saat ini telah kehabisan lahan makam.
Dikarenakan di wilayah Kyushu akan kehabisan ruang untuk pemakaman di masa depan, komunitas muslim mulai mencari tanah kosong di dekatnya lebih dari 10 tahun yang lalu.
Pemakaman jenazah muslim dikhawatirkan cemari air dan tanah
Di bulan Agustus lalu, sekitar 100 penduduk di dua distrik lokal mengajukan petisi kepada walikota dan majelis kota yang menentang rencana pembangunan pemakaman muslim.
Penduduk setempat mengklaim bahwa tradisi Muslim menguburkan tubuh, bukan kremasi, menimbulkan ancaman bagi kesehatan masyarakat karena kontaminasi akan masuk ke dalam tanah serta sumber air yang digunakan untuk irigasi tanaman dan air minum.
“Kami tidak tahu apa dampaknya bagi kehidupan kami,” kata seorang peternak berusia 61 tahun yang mengandalkan waduk sebagai sumber air minum untuk ternaknya.
“Saya juga khawatir dengan penurunan harga sapi karena rusaknya reputasi," kata dia menambahkan.
Hirofumi Tanada, profesor emeritus di Universitas Waseda dan pakar Muslim yang tinggal di Jepang, mengatakan bahwa pada akhir tahun lalu diperkirakan 230.000 Muslim tinggal di Jepang, di antaranya sekitar 15.000 tinggal di Kyushu dan Prefektur Okinawa.
Muhammad Tahir Abbas Khan, (53) yang menjabat sebagai kepala Komunitas Muslim Beppu dan seorang profesor di Ritsumeikan Asia Pacific University, mengatakan semakin banyak Muslim yang datang ke Jepang sebagai mahasiswa asing menjadi penduduk tetap setelah lulus.
"Ini adalah masalah urgensi untuk membangun pemakaman yang dapat digunakan dengan mudah oleh orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda,” katanya.
Akiko Komura selaku antropolog agama dan dosen di Universitas Rikkyo, mengatakan warga setempat cenderung cemas tentang agama yang tidak dikenal.
"Warga cenderung merasa cemas tentang agama yang tidak dikenal, karena mereka tidak tahu bagaimana menghadapinya,” kata Akiko.
"Karena ini melibatkan penggunaan khusus tanah untuk pemakaman, kedua belah pihak perlu membicarakan hal-hal sampai mereka mencapai kesepakatan, misalnya, dengan mengajak Muslim Jepang bergabung dalam diskusi," ujarnya menambahkan.