Seorang guru honorer Kabupaten Tegal, Novi Ari Agustin, bertahan menjalani profesinya selama 16 tahun. Padahal, penghasilan dia sebagai guru Bahasa Indonesia di SMP Negeri 3 Bumijawa itu hanya ratusan ribu.
“Awalnya gajinya Rp 300.000 per bulan, kemudian, naik menjadi Rp 700.000 per bulan. Upah sebesar itu hanya cukup buat beli bensin," tutur wanita 40 tahun itu, Jumat (27/11/2020).
Setiap hari Novi harus menempuh jarak sejauh 27 kilometer dari Desa Pener, Kecamatan Pangkah menuju ke sekolah yang termasuk daerah pegunungan.
Setiap hari berangkat ke sekolah itu dari jam 05.15 WIB.
Untuk menambah penghasilannya, Novi ikut usaha sampingan bersama teman-temannya. Seperti jual beli barang lewat online.
"Kalau ditanya gimana rasanya jadi guru honorer selama 16 tahun itu, ya, suka dukanya banyak banget. Tapi para guru honorer itu tetap sabar dan terus mengajar untuk anak muridnya di sekolah," katanya.
Menanggapi soal rencana pemerintah yang akan membuka seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) untuk guru, Novi mengaku dilema. Sebab, guru honorer jumlahnya cukup banyak, baik ada yang di sekolah negeri dan swasta.
“Harusnya tuntaskan dulu yang honorer di sekolah negeri, yang kita lihat semakin tahun semakin membengkak,” ujar Novi.
Dia berharap kepada pemerintah untuk memperhatikan guru honorer di sekolah negeri. Terutama yang sudah masuk database kategori dua (K2).
“Mereka sudah mengabdi puluhan tahun, mereka ingin kejelasan. Jangan samakan dengan yang baru, kasihan sudah berusia. Dianggap ada tapi seakan tiada,” ungkapnya.
Menurutnya, jangan sampai guru honorer yang sudah puluhan tahun mengabdi hanya menghabiskan masa pensiun hanya menjadi guru honorer dengan gaji seadanya.
Dia pun berharap pemerintah mensejahterakan guru minimal dengan upah UMR.
“Buruh saja bisa UMR, masa yang mencerdaskan anak bangsa tidak UMR. Perhatikanlah mereka yang sudah puluhan tahun mengabdi di dunia pendidikan," pungkasnya.