Aksi protes terhadap pernyataan kontroversial Presiden Prancis Emanuel Macron tentang Islam dan posisinya terkait penerbitan karikatur Nabi Muhammad terus berlangsung di sejumlah negara termasuk Bangladesh, Pakistan dan Indonesia.
Di Jakarta, ribuan orang dari sejumlah kelompok Islam berunjuk rasa di luar kedutaan besar Prancis di Jakarta, Senin (02/11).
Mereka memprotes sikap Presiden Emmanuel Macron yang mereka sebut 'Islamofobia' dan menyerukan boikot terhadap produk Prancis.
"Insya Allah, kami umat Islam akan memaafkan (apa yang terjadi). Tapi kalau dia (Presiden Macron) tidak menarik perkataan atau karikatur itu, Insya Allah dia akan terus dihujat," kata seorang demonstran, Nazaruddin.
Protes dalam skala yang lebih kecil juga berlangsung di kota lain termasuk Surabaya, Makassar, Medan dan Bandung.
Di ibu kota Bangladesh, protes pada Senin (02/11) melibatkan sekitar 50.000 orang, menurut kepolisian setempat.
Sementara di Karachi, Pakistan, aksi protes ratusan orang pada Minggu (01/11) diwarnai dengan pembakaran patung Presiden Macron.
Presiden Joko Widodo mengecam kekerasan yang terjadi di Prancis - pemenggalan guru dan penyerangan di Nice - dan mengecam pula pernyataan presiden Prancis yang disebutnya 'melukai perasaan umat Islam di seluruh dunia'.
Dalam beberapa pekan terakhir, Presiden Macron telah membuat banyak Muslim di dunia marah karena menyebut Islam sebagai 'agama dalam krisis di seluruh dunia' dan dengan keras membela kebebasan berbicara yang oleh sebagian orang dianggap menghina dan menyulut kemarahan.
Pernyataan itu ia sampaikan setelah terjadi dua serangan di Prancis, yang dipicu oleh kartun Nabi Muhammad.
"Biarpun di sana (Prancis) liberal, jadi enggak usah dia puji, enggak diakui juga enggak masalah tapi janganlah (Islam) dijelek-jelekin. Agak kesinggung sebenarnya umat Islam, makanya saya ke sini," kata pengunjuk rasa lainnya di Jakarta, Netty Alamsyah.
Bagaimana reaksi Muslim di Indonesia?
Berpakaian putih-putih dengan peci hitam dan mengenakan masker, para pengunjuk rasa berdemonstrasi di depan Kedutaan Besar Prancis di Menteng, Jakarta Pusat.
Banyak dari mereka membawa poster karikatur yang menampilkan Macron sebagai setan, dengan wajah merah dan telinga runcing, disertai kata-kata 'Macron adalah teroris yang sebenarnya'.
Mereka meminta sang Presiden Prancis menarik pernyataannya tentang Muslim serta menyerukan boikot terhadap produk Prancis.
Demonstrasi memprotes Macron juga berlangsung di depan Gedung Sate, kota Bandung. Dan di Kuningan, Jawa Barat, seorang pemilik toko menjadikan foto sang presiden Prancis sebagai keset.
Pekan lalu, Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS) menyerukan boikot dalam aksi demonstrasi yang digelar di Bundaran Gladak, Solo, Rabu (28/10).
Ratusan orang itu mengungkapkan kemarahan dan kekecewaannya dengan meletakkan foto Presiden Macron di jalan raya sehingga terlindas kendaraan dan menginjak-injaknya.
Massa juga membentangkan spanduk yang berisi ajakan boikot.
"Kami mengimbau kepada umat Islam di manapun untuk mempertimbangkan melakukan boikot pembelian dan pemakaian produk apapun buatan Prancis," ujar Juru bicara DSKS, Endro Sudarnono, Rabu (28/10)
"Presiden Macron mengeluarkan statement yang bersifat Islamofobia sekaligus melindungi majalah Charlie Hebdo yang jelas-jelas melakukan publikasi terhadap pelecehan Nabi Muhamad SAW," sambungnya.
Pada Sabtu (31/10), Presiden Joko Widodo mengecam keras terjadinya kekerasan yang terjadi di Paris dan Nice yang telah memakan korban jiwa. Ia lanjut mengecam pernyataan presiden Prancis.
Hal itu diucapkannya dalam konferensi pers yang digelar setelah pertemuannya dengan sejumlah perwakilan lembaga keagamaan, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), juga Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), di Istana Merdeka, Jakarta, Sabtu (31/10).
"Indonesia juga mengecam keras pernyataan presiden Prancis yang menghina agama Islam, yang telah melukai perasaan umat Islam di seluruh dunia, yang bisa memecah belah persatuan antar umat beragama di dunia, di saat dunia memerlukan persatuan untuk menghadapi pandemi Covid-19," kata Jokowi.
Ia melanjutkan "kebebasan berekspresi yang mencederai kehormatan, kesucian, serta kesakralan nilai-nilai dan simbol-simbol agama, sama sekali tidak bisa dibenarkan dan harus dihentikan".
"Mengaitkan agama dengan tindakan terorisme adalah sebuah kesalahan besar," katanya.
Ia menambahkan pemerintah Indonesia mengajak dunia mengedepankan persatuan dan toleransi beragama.
Sementara Majelis Ulama Indonesia (MUI) berpendapat pernyataan Presiden Macron mengundang permusuhan dan perselisihan umat Islam.
Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas, berkata karikatur Nabi Muhammad merupakan hal sensitif bagi umat Islam. Tapi hal itu, klaimnya, tak dipahami pemerintah Prancis.
"Dalam agama Islam, haram hukumnya mencela Tuhan orang lain. Kalau kamu mencela, mereka akan mencela Tuhanmu. Kalau Charlie Hebdo tidak menghiraukan nilai-nilai agama, itu kesalahan berat," ujar Anwar Abbas.
Pengamat Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi, menyebut Presiden Prancis Emmanuel Macron semestinya tidak langsung menyimpulkan perbuatan pemenggalan kepala seorang guru Samuel Paty dengan agama Islam. Ia menilai tanggapan Macron tidak menunjukkan kepekaan terhadap umat Islam yang memercayai kesucian Nabi Muhammad sehingga sosoknya tidak boleh digambar.
Sehingga imbas pernyataan Macron itu, menurutnya, justru memicu respons yang sesungguhnya tidak perlu seperti aksi boikot terhadap produk-produk Prancis.
"Tentu kita prihatin atas kejadian itu tapi hendaknya respon Presiden Macron tidak terlalu simplifikasi ketika kemudian menyampaikan 'Islam dalam kondisi krisis'," ujar Yon Machmudi kepada Quin Pasaribu, Rabu (28/10).
"Karena itu menyangkut keyakinan yang dianut umat Islam di dunia," sambungnya.
Namun, kecaman pemerintah itu disebutnya tidak cukup karena tak menyentuh persoalan kekerasan yang menimpa seorang guru karena memperlihatkan karikatur Nabi Muhammad.
Yon menyarankan Indonesia mengambil langkah dialog untuk menyamakan pandangan atas nilai-nilai atau ajaran Islam yang kerap berseberangan dengan sekularisme di Prancis.
Indonesia sejauh ini baru mengecam pernyataan Presiden Emmanuel Macron tersebut karena dianggap menyudutkan agama Islam.
Tapi kata Yon, kecaman itu tidak cukup. Pemerintah Indonesia, lanjutnya, juga harus berbicara tentang pelaku kekerasan yang menyebabkan kematian Samuel Paty.
Ia menduga sikap pemerintah tak lepas dari pernyataan sejumlah pemimpin negara yang menyampaikan kritik atas pernyataan Macron. Hanya saja kritik maupun kecaman tidak menyentuh persoalan utama.
Dia menilai, Indonesia sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar bisa mengambil peran lebih. Yakni mengajak Presiden Emmanuel Macron untuk berbicara tentang bagaimana menyamakan persepsi atas ajaran agama Islam dengan sekularisme di Prancis.
"Paling tidak komunikasi dibangun dan mudah-mudahan peristiwa seperti ini bisa diminimalisir dampak-dampaknya ke depan."
"Pembicaraan dialog diperlukan agar sama-sama memahami posisi antara Indonesia sebagai mayositas umat Islam dan Prancis dengan sekularismenya."
'Umat Islam harus tenang menyikapi masalah ini'
Di sisi berbeda, Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf, berpandangan apa yang dikatakan Presiden Emmanuel Macron bahwa Islam mengalami krisis tidak sepenuhnya salah.
Ini karena agama Islam belum sampai pada "konstruksi sosial-politik yang dibutuhkan untuk berintegrasi secara damai dan harmonis dengan dunia".
Kendati demikian, ia melihat cara Presiden Macron menyikapi permasalahan di negaranya cenderung sepihak yakni dengan sudut pandang sekularisme dan mengabaikan ajaran agama Islam.
"Karena Nabi Muhammad SAW adalah subyek suci dalam agama Islam dan merupakan simbol utama Islam. Merendahkan kehormatan Nabi Muhammad SAW dianggap sebagai penghinaan terhadap Islam," jelasnya.
"Tapi menanggapi penghinaan terhadap Nabi dengan membunuh pelakunya adalah tindakan biadab yang berpotensi memicu instabilitas yang meluas tanpa kendali," sambungnya.
Karena itulah, ia meminta umat Islam di Indonesia menyikapi persoalan ini dengan tenang dan tidak terbawa secara emosional.
Solusi atas kekerasan yang terjadi di Prancis, katanya, dengan menggelar dialog antar-negara yang didasarkan atas konsensus terhadap nilai-nilai keadaban yang disepakati bersama.
Respons Kementerian Luar Negeri
Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, mengatakan pemerintah turut mengecam tindakan pelaku pembunuhan Samuel Paty.
Tapi pemerintah menilai mengaitkan perbuatan itu dengan agama "adalah suatu kesalahan besar".
Pada Selasa (27/10), Kementerian Luar Negeri memanggil Duta Besar Prancis, Olivier Chambard. Dalam pertemuan itu, kata Teuku, Olivier menyampaikan maksud pernyataan Presiden Macron.
Lewat Duta Besar RI di Prancis pula, Indonesia melayangkan nota diplomatik yang mendorong diaktifkannya dialog antar-agama sehingga menumbuhkan "pengertian yang lebih baik terhadap perbedaan agama," kata Teuku.
Sementara mengenai seruan boikot, pemerintah tidak bisa melarang. Tapi pemerintah tidak akan memberikan ruang bagi tindakan yang bakal merugikan hubungan bilateral kedua negara.
Tulisan diperbarui dengan pernyataan Presiden Joko Widodo dalam konferensi pers Sabtu (31/10). Dan kemudian diperbarui dengan aksi protes di depan Kedubes Prancis pada Senin (02/11).