Lagi-lagi, keajaiban guru ngaji terbukti. Di daerah Babat-Lamongan, ditemukan kain kafan masih utuh dan bersih dari sebuah makan tua. Warga semakin takjub sebab jasad yang dibungkus kafan putih itu sudah dimakamkan puluhan tahun silam. Subhanallah.
Tak ada yang mustahil bagi Allah. Sesuatu yang tak mungkin secara akal, jika Allah yang berkehendak, pasti akan terjadi.
Salah satu buktinya, warga salah satu Desa Moropelang di Kecamatan Babat, Lamongan, Jawa Timur dibuat kaget ketika melihat kain kafan beserta isinya masih dalam kondisi yang bagus.
Keanehan semakin nyata begitu mendapati data bahwa tanah yang digali untuk pemakaman tersebut sudah cukup lama. Makanya masyarakat berani untuk menggalinya agar dapatr dipakai untuk menguburkan jenazah yang baru meninggal.
"Kami semua heran, begitu kami gali, terlihat kain pembungkus jenazah yang masih utuh. Kain itu juga masih bersih, tidak tampak lusuh sama sekali," kenang seorang warga memulai kisah ini.
Mendapati barang aneh itu, warga sempat ragu, meneruskan atau harus mencari tempat baru lagi untuk memakamkan jenazah yang akan dikuburkan.
"Akhirnya diputuskan mencari tempat baru," terang warga lainnya.
Masyarakat benar-benar tidak mengira sama sekali masih ada makam yang bagus dan kain kafannya masih bersih, padahal sudah dikubur selama bertahun-tahun.
Melihat penemuan itu, masyarakat langsung melakukan konfirmasi ke keluarga. Awalnya masyarakat mengira itu adalah makam dari Nyai Aisyiyah yang mengajar ngaji tanpa pamrih dan tanpa memungut biaya sepeser pun.
Tapi setelah dilakukan pengecekan ulang, ternyata keluarga Nyai Aisyiyah tidak membenarkan hal itu.
Justru itu adalah makam dari Ibu Nyai Aisyiyah yakni Mbah Supi'i atau yang sering disebut Mbah Pingi.
Menurut Rommy Faricha, Cicit dari Mbah Pingi, bahwa itu adalah makam dari buyutnya yang sudah puluhan tahun. Bahkan ibunya tidak mengetahui dengan pasti kapan Mbah Pingi meninggal dan dimakamkan.
"Awal memang banyak yang mengira itu makam Nyai Aisyiyah, nenek saya. Tapi setelah dilihat lagi sama keluarga, itu adalah makam ibunya nyai Aisyiyah yaitu Mbah Pingi. Padahal di masyarakat sudah ramai kalau itu adalah makam Nyai Aisyiyah," jelasnya
NGAJAR NGAJI
Sama seperti kegiatan Nyai Aisyiyah, Mbah Pingi juga mengajar ngaji dengan ikhlas tanpa memungut bayaran sepeser pun. Kegiatan ngaji ini dimulai ba'da Maghrib sampai malam. Apalagi dulu tidak ada penerangan dan cara mengajarnya juga harus satu persatu karena ingin muridnya benar-benar paham dengan apa yang diajarkan oleh Mbah Pingi.
Mbah Pingi mengajarkan cara membaca Alquran, mulai dari mengeja huruf hijaiyah satu perstau sampai dengan cara membaca surat-surat pendek, berserta tajwidnya. Belajar dari turun temurun, Mbah Pingi mengajari anak-anak di sekitar rumahnya untuk bisa membaca Alquran karena itu adalah tiang agama. Terlebih lagi, jika dilihat dari silsilah keluarga, ternyata ada keturunan dari Baghdad, yang masih termasuk dalam negara Islam.
Pada saat mengajar nagji pun, ia tidak pernah meminta imbalan dari orang tua anak-anak yang diajarnya. Justru ia semakin senang kalau muridnya semakin banyak. Meskipun ia hanya menggunakan penerangan yang terbatas, tapi semangat mengajarnya luar biasa. Setiap murid harus bisa membaca dengan lancar ketika ditanya mengenai bacaan Alquran.
Bukan hanya soal bacaan Alquran, tapi muridnya juga diajari cara menulis huruf Arab, tapi menggunakan bahasa Jawa atau yang sering disebut pegon. Untuk mengajar ini, ia harus telaten karena masih dalam penerangan yang terbatas dan sarana yang masih kurang.
Mbah Pingi akan marah jika muridnya tidak mau mendengarkan atau ramai sendiri. Kemudian muridnya tidak disiplin.
"Mbah Pingi itu orangnya disiplin dan diterapkan pada kehidupan keluarganya. Bukan hanya pada murid-muridnya ngaji, tapi keluarganya juga selalu diingatkan untuk ngaji dan shalat tepat waktu. Itu sampai pada saat saya ini sekarang," jelas perempuan yang akrabn di sapa Rommy.
PRIBADI SEDERHANA
Keseharian Mbah Pingi terbilang sangat sederhana. Ia tinggal bersama keluarganya di rumah yang tidak terlalu besar. Namun ia selalu menanamkan rasa kerukunan kepada anak-anaknya. Tidak lupa juga kedisiplinan yang tinggi selalu diterapkan dalam keluarga kecil ini.
Aktivitas sehari-harinya dimulai dari sebelum Subuh. Setiap pukul 03.00 pagi, ia sudah bangun dari tidurnya. Kemudian mengambil air untuk memenuhi bak mandi.
Selain itu, air yang diambil dari sumur juga akan digunakan untuk masak. Setelah persediaan air penuh, ia baru melanjutkan aktivitasnya memasak dan menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya.
Baru melaksanakan shalat Subuh berjamaah ketika Azan Subuh berkumandang. Semua keluarganya harus shalat berjamaah, baru kemudian bisa melanjutkan aktivitasnya untuk bersiap sekolah.
"Kalau dulu itu kan sekolah rakyat ya. Lokasinya pun cukup jauh. Jadi anak-anaknya Mbah Pingi itu sudah bersiap sejak setelah Subuh. Mbah Pingi juga bersiap untuk nganteh istilahnya, yaitu merapikan benang yang akan dipakai menenun," imbuh perempuan usia 28 tahun ini.
Selain nganteh, kesehariannya juga membatik dan menjahit mukena. Itu sudah menjadi kesehariannya. Baru setelah Maghrib, ia bersiap untuk mengajar ngaji.
Sahabat Jabir bin Abdillah bercerita, "Menjelang Perang Uhud ayahku memanggilku pada malam hari, ia berkata, 'Aku merasa akan menjadi orang pertama yang gugur di antara sahabat Rasulullah. Sungguh aku tidak meninggalkan seorang pun yang lebih aku sayangi dibanding kamu disamping diri Rasulullah. Sesungguhnya aku memiliki utang, maka lunasilah. Dan, bersikaplah yang baik kepada saudara-saudara perempuanmu. Keesokan harinya ia pun menjadi orang yang pertama gugur. Ia dimakamkan bersama yang lain dalam satu kubur. Tetapi hatiku merasa kurang nyaman membiarkan ayahku berbagi kubur dengan orang lain. Karenanya, enam bulan kemudian, aku membongkar makamnya dan mengeluarkannya. Ajaib, jazadnya masih utuh seperti ketika aku menguburkannya." (HR. Bukhari)