Baru-baru ini ada sebuah berita yang cukup viral, yakni ada jenazah perempuan di sebuah RSUD yang dimandikan oleh petugas pria.
Hal ini memicu kemarahan keluarganya dan harus membawanya ke ranah hukum. Sebenarnya siapakah yang berhak memandikan jenazah seorang perempuan ini dalam pandangan syariat Islam?
Dikutip dari kitab 'Fiqhus Sunnah 'Lin Nisaa', yang ditulis Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim dijelaskan, bahwa apabila ada orang yang meninggal, maka keluarga yang menghadirinya wajib memandikannya. Ini berdasarkan perintah Nabi Shallalau alihi wa sallam kepada Ummu 'Athiyah dan beberapa wanita hendak memandikan putrinya, Zainab, "Mandikanlah dia tiga atau lima kali basuhan" Setelah itu, mereka mengafani, menyalati, dan menguburkannya. (HR Bukhari dan Muslim).
Menurut Mazhab Hanafi, mereka atau keluarga yang paling pantas memandikan jenazah perempuan sesuai dengan urutannya, yaitu pihak yang tertunjuk di wasiat, ibu almarhumah (hingga orang tua ke atas, seperti nenek dan seterusnya), anak perempuan almarhumah (berikut keturunannya), keluarga terdekat sebagaimana berlaku di hukum warisan, misalnya, saudara kandung lebih diutamakan daripada saudara tiri, keluarga sedarah seperti saudara tiri, dan terakhir ialah orang lain.
Namun, jika perempuan tersebut telah menikah, maka suaminyalah yang paling berhak memandikannya berdasar dalil :
رَجَعَ إِلَيَّ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْم مِنْ جَنَازَةِ بِاْلبَقِيْع ، وَأَنَا أَجِدُ صُدَاعا فِيْ رَأْسِيْ ، وَأَنَا أَقُوْلُ : وَارَأْسَاهُ فَقَالَ : بَل اَنَا وَارَأْسَاهُ مَا ضَرَّكِ لَوْمِتَّ قَبْلِيْ فَغَسَلْتُكِ ، وَكَفَّنْتُكِ ، ثمَّ صَلَّيْتُ عَلَيْكِ وَدَفَنْتُكِ
Seorang ayah hanya boleh memandikan jenazah puterinya jika ia masih kecil berdasarkan perbuatan Abu Qilabah [Mushannaf Ibni Abi Syaibah 3/251; shahih]. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi’i.
Dan, orang yang memandikan jenazah hendaknya adalah seorang yang saleh/salehah lagi dapat menyimpan amanah untuk menutupi aib si mayit ketika ia memandikannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَكَتَمَ عَلَيْهِ غُفِرَ لَهُ أَرْبَعِيْنَ مَرَّة
Sedangkan hukum memandikan jenazahnya sendiri adalah fardhu kifayah. Hal ini berdasarkan hadis dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhu, beliau berkata:
بينَا رجلٌ واقفٌ مع النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ بعَرَفَةَ ، إذْ وَقَعَ عن راحلتِهِ فَوَقَصَتْهُ ، أو قال فأَقْعَصَتْهُ ، فقالَ النبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ : اغْسِلوهُ بماءٍ وسِدْرٍ ، وكَفِّنُوهُ في ثَوْبَيْنِ ، أو قالَ : ثَوْبَيْهِ ، ولا تُحَنِّطُوهُ ، ولا تُخَمِّروا رأسَهُ ، فإنَّ اللهَ يبْعَثُهُ يومَ القيامةِ يُلَبِّي
Juga hadis dari Ummu ‘Athiyah radhiyallahu’anha, ia berkata:
تُوفيتْ إحدى بناتِ النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ ، فخرج فقال : اغْسِلْنَها ثلاثًا ، أو خمسًا ، أو أكثرَ من ذلك إن رأيتُنَّ ذلك ، بماءٍ وسدرٍ ، واجعلنَ في الآخرةِ كافورًا ، أو شيئًا من كافورٍ، فإذا فرغتُنَّ فآذِنَّنِي فلما فرغنا آذناه فألقى إلينا حقوه فضفرنا شعرها ثلاثة قرون وألقيناها خلفها
Wallahu A'lam