Nenek Siti Asyiah saat ini sudah tidak bisa berbicara dengan jelas karena faktor usia.
Putra pertama Siti, Sobri Irsjadi (65), memperkirakan usia ibundanya itu adalah sekitar 85 tahun.
Walaupun sudah tergolong uzur, Siti masih mampu menuturkan nasib tragis yang menimpa keluarganya di kabupaten Ngawi, Jawa Timur, pada September 1948, saat Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan pemberontakan.
Siti mengingat umurnya saat itu sekitar 18 tahun. Sebelum tragedi berlangsung, ia tinggal di rumah orangtua angkatnya, di desa Kerambe kabupaten Magetan.
Ayahnya saat itu adalah Haji Dimyati, aktivis Masyumi yang juga merupakan seorang penghulu.
Saat anggota PKI melakukan pemberontakan untuk menguasai Madiun dan mendirikan Republik Indonesia Soviet, kabupaten Ngawi yang lokasinya sekitar 35 Kilometer, ikut dijadikan saaaran.
Tokoh Islam di desa Kerambe pun ikut jadi sasaran.
"Bapak saya mengungsi, lari ke kecamatan Widodaren, bersama putra-putranya," kata Siti saat ditemui di sela-sela simposium yang bertajuk "Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan Partai Komunis Indonesia dan Ideologi Lain," di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Kamis (2/6/2016).
Ia sendiri tidak sampai mengungsi jauh dari rumah, Siti hanya mengungsi ke rumah tetangga.
Karena mengungsi ke rumah tetangga, ia bisa menyaksikan bagaimana para pendukung PKI yang membakar rumahnya dan menjarah segala harta keluarga.
"Itu (kejadiannya) kami baru sehari mengungsi," ujar Siti dalam bahasa Jawa halus.
Walaupun sudah mengungsi jauh, PKI tetap memburu Haji Dimyati dan sejumlah tokoh lainnya.
Mereka kemudian mengirimkan salah seorang kenalan sang penghulu, untuk membujuknya pulang.
Yang ia tahu saat itu Haji Dimyati diberitahu bahwa desa sudah aman, dan para antek PKI sudah pergi.
Akhirnya orang yang dicari-cari PKI itu tertipu, dan mau pulang.
Sesampainya di kampung halaman, Haji Dimyati langsung diamankan ke markas PKI di desa tersebut.
Sehari setelah ditahan, Haji Dimyati bersama seorang warga Kerambe lainnya dieksekusi di lubang yang sama.
Keduanya dibunuh dengan cara disembelih, lalu dikubur di lubang yang sama.
Sedianya di lubang tersebut ada tiga orang yang dieksekusi, satu orang lagi yang seharusnya ikut disembelih oleh Haji Dimyati adalah sang kepala desa.
Namun saat itu kepaka desa Kerambe meminta disembelih dengan pisau yang tajam.
PKI mau memenuhi permintaan tersebut, dengan mengupayakan alat potong yang lebih baik. Alhasil sang kepala desa tidak ikut dieksekusi bareng Haji Dimyati.
Ia diagendakan di sembelih di tidak di hari yang sama.
Sebelum sang kepala desa disembelih, pasukan dari Pangdam Diponegoro keburu datang dan membebaskan kabupaten Ngawi, beruntung sang kepala desa batal dieksekusi.
Siti akhirnya mengetahui nasib bapaknya itu dari sang kepala desa, setelah PKI ditumpas.