Selain pandemi COVID-19, Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengungkapkan ada sejumlah tantangan global yang dihadapi oleh umat Islam dewasa ini; persepsi Islam sebagai negara konflik, Islamophobia, dan juga kondisi sosial-ekonomi dari umat muslim yang masih memprihatinkan.
“Saya mencatat setidaknya ada tiga tantangan besar. Pertama, persepsi bahwa Islam sebagai agama konflik dan kekerasan. Persepsi ini muncul dan berkembang karena berbagai konflik yang banyak terjadi di negara muslim, khususnya di Timur Tengah. Sekitar 60 persen konflik di dunia melibatkan negara-negara Islam,” kata Ma’ruf dalam sebuah webinar internasional, Selasa, 15 September 2020.
Tidak hanya itu, menurut Ma’ruf, Islam telah dipersepsikan sangat buruk di masyarakat Barat. Hasil survei Pew Research tahun 2017 misalnya, menggambarkan bagaimana pandangan negatif warga di Amerika Serikat terhadap Islam.
“Lebih dari 41 persen warga AS melihat Islam mendorong terorisme dan kekerasan. Lebih dari 44 persen melihat Islam dan demokrasi tidak dapat berjalan beriringan. Hampir 50 persen melihat bahwa sebagian warga muslim adalah anti-Amerika,” ujar dia.
Sementara di Eropa, katanya, persepsi terhadap Islam juga tidak jauh berbeda. Dari hasil survei di 10 negara di Eropa, tercatat lebih dari 50 persen warga Eropa memandang Islam secara negatif. Pandangan negatif ini tidak hanya pada individu, tapi juga pendidikannya.
“Pendidikan Islam atau yang dikenal sebagai madrasah juga tidak luput dari sorotan. Madrasah sebagai pendidikan Islam dianggap sebagai tempat pembibitan ideologi ekstrem. Generalisasi terhadap peran negatif madrasah diperoleh hanya karena orang Barat melihat bahwa beberapa pelaku teroris merupakan alumni madrasah,” tuturnya.
Generalisasi cara pandang negatif ini, menurut Ma’ruf Amin, di satu sisi harus dilawan. Tetapi di sisi lain juga harus menjadi bahan introspeksi umat Islam.
“Cara pandang yang selalu mengeneralisasi dan negatif ini harus kita lawan. Namun di saat yang sama umat juga perlu introspeksi,” kata Ma’ruf.
Tantangan kedua, yaitu meningkatnya tren Islamophobia di berbagai belahan dunia. Ma’ruf mencontohkan, serangan atau pelecehan terhadap muslim di AS dari tahun ke tahun terus meningkat.
“Pelecehan terhadap orang Islam di AS pada 2016 meningkat 36 persen jika dibanding tahun 2001. Pengalaman yang sama juga terjadi di Eropa. Pada tahun 2017, rata-rata 1 dari 3 muslim yang disurvei mengalami diskriminasi dan prasangka buruk,” katanya.
Namun, apabila diteliti lebih dalam, sebut Wapres, sumber utama dari kebencian terhadap Islam ini adalah ketidaktahuan atau juga ketidakpahaman mengenai ajaran Islam.
“Al-insaanu aduwwu maa jahiluu (manusia itu cenderung memusuhi apa yang tidak diketahui),” ungkapnya.
Sedangkan yang ketiga, lanjut Wapres, tantangan besar adalah kondisi sosial dan ekonomi umat Islam yang hingga kini masih sangat memprihatinkan. Data menunjukkan bahwa, pada 2018 hanya 31 negara dari 57 anggota Organisasi Kerja sama Islam (OKI) yang memiliki tingkat literasi di atas 90 persen.
Dengan demikian, maka negara-negara muslim, menurutnya, masih harus berjuang melawan kemiskinan. Saat ini ada 350 juta orang di negara-negara OKI yang hidup di bawah US$1,25 per hari dan tingkat rata-rata pengangguran di negara OKI 6 persen pada 2018, atau di atas rata-rata pengangguran dunia yang 5,1 persen.
“Data-data di atas saya angkat untuk menunjukkan betapa masih besarnya pekerjaan rumah kita semua untuk memajukan umat Islam,” kata Ma’ruf.