Surawan, 45 tahun, sedang pening gegara sudah tidak kebagian pupuk bersubsidi.
Padahal, tanaman tembakaunya masih butuh waktu lama untuk bisa dipanen, dan tentunya masih butuh banyak pupuk untuk menunjang pertumbuhannya.
Akhirnya, petani asal Padukuhan Kalidadap II, Desa Selopamioro, Imogiri, Bantul itu harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli pupuk non subsidi supaya tanamannya tetap bisa tumbuh dan menghasilkan cuan.
“Selisihnya lumayan, bisa tiga kali lipat. Saya tadi beli ZA 5 kilogram Rp 20 ribu, yang TS Rp 15 ribu 5 kilogram. Kalau subsidi itu paling Rp1.500 sampai Rp Rp 2 ribu per kilogram,” ujar Surawan ketika ditemui di ladangnya awal September ini.
Surawan dan puluhan petani lainnya memang tidak punya pilihan selain harus mengeluarkan uang lebih besar untuk mendapatkan pupuk non subsidi. Hal itu diungkapkan oleh Ketua Kelompok Tani Kalidadap II, Keman Rimanto. Meskipun para petani telah menggunakan pupuk kandang, tapi tetap saja pupuk organik yang ada belum cukup untuk memupuk semua tanaman mereka.
Apalagi dampak penggunaan pupuk kandang dalam merangsang pertumbuhan tanaman menurut Keman kurang bisa dirasakan. Dalam penggunaannya, pupuk kandang justru lebih ditujukan untuk memperbaiki kualitas tanah, bukan untuk menunjang pertumbuhan tanaman.
“Untuk mempercepat pertumbuhan kan juga butuh pupuk pabrikan,” Keman Rimanto.
Dana Pupuk untuk Tangani Pandemi
Pelaksana Kegiatan Pupuk Bersubsidi di Seksi Sarana Prasarana dan Pengolahan Pemasaran Hasil Panganan Tanam Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan DIY, Dian Purwanti, mengatakan bahwa tahun ini memang ada pengurangan kuota pupuk bersubsidi yang cukup signifikan. Pengurangan kuota ini menurutnya merupakan kebijakan langsung dari Kementerian Pertanian (Kementan).
“Yang pasti tahun ini kuotanya lebih kecil dari tahun sebelumnya karena kaitannya sama anggaran,” ujar Dian ketika ditemui di kantornya, Senin (7/9).
Besarnya anggaran yang diarahkan untuk penanganan pandemi, membuat anggaran-anggaran di sektor lain ikut terkena imbasnya. Termasuk di sektor pertanian dalam penyediaan pupuk bersubsidi.
Berdasarkan data realisasi penyaluran pupuk bersubsidi dan rencana alokasi dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan DIY, sejak 2016 alokasi pupuk bersubsidi dari pusat memang terus mengalami penurunan. Tapi penurunan yang paling signifikan terjadi di tahun ini.
Dari total lima jenis pupuk yang disubsidi, yakni urea, ZA, SP-36, NPK, dan petroganik, secara akumulasi pada 2016 alokasi pupuk bersubsidi untuk DIY adalah sebesar 94.550 ton, pada 2017 turun menjadi 81.446 ton, 2018 menjadi 80.697 ton, serta pada 2019 alokasinya hanya sebesar 72.089 ton. Pada 2020, alokasi pupuk bersubsidi dari pusat untuk DIY bahkan turun tajam sebesar 40 persen menjadi hanya 42.536 ton saja.
Padahal, jumlah pupuk yang diajukan oleh petani di DIY yang tercatat dalam e-RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok) mencapai 169.015 ton.
“Jadi yang dialokasikan dari pusat memang hanya sekitar 25 persen dari yang diajukan di e-RDKK. Tapi alokasi ini nanti di tengah juga berubah, kami juga sedang mengajukan tambahan kuota pupuk bersubsidi ke pusat untuk DIY,” ujar Dian menjelaskan.
Tidak Dijual Bebas
Selain kuotanya yang terbatas, pupuk bersubsidi juga termasuk ke dalam barang dalam pengawasan yang proses distribusinya dilakukan secara tertutup. Artinya, ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh petani untuk menebus pupuk bersubsidi.
“Yang pertama adalah petani perorangan mandiri tidak bisa membeli pupuk bersubsidi, dia harus bergabung dalam kelompok tani,” ujar Dian Purwanti.
Setelah bergabung ke dalam kelompok, nantinya kelompok-kelompok tani ini dipandu oleh para penyuluh yang ada di tiap desa harus membuat Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) pupuk bersubsidi. RDKK merupakan perencanaan terkait kebutuhan pupuk petani selama satu tahun yang harus dibuat setahun sebelumnya. Nantinya, RDKK yang dibuat ini akan diunggah ke sistem e-RDKK.
“Misalnya tahun depan aku mau menanam apa, luas lahan berapa, mau tumpang sari atau tidak, butuh bibit berapa, dan sebagainya. Dari situ nanti kan diketahui mereka butuh pupuk berapa, jenisnya apa saja,” lanjutnya.
Ketika kelompok tani tidak membuat dan mengajukan RDKK, mereka nantinya tidak akan bisa menebus pupuk bersubsidi dari pemerintah. Setelah itu, pemerintah akan membagikan data tersebut ke kios-kios pengecer pupuk bersubsidi yang sudah menjadi mitra produsen pupuk.
“Jadi pupuk bersubsidi itu tidak dijual bebas, hanya boleh dijual oleh kios-kios pengecer resmi,” ujarnya.
Kios pengecer ini sebelumnya harus mengurus perizinan dulu ke Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag). Sedangkan yang mengangkat mereka menjadi mitra adalah produsen pupuk. Di DIY, ada dua produsen pupuk yang menyuplai pupuk bersubsidi, yakni PT Petrokimia Gresik dan PT Pupuk Sriwijaya.
Ada tiga komponen utama yang dijadikan indikator dalam penentuan kuota pupuk bersubsidi bagi tiap kelompok tani. Pertama adalah RDKK yang mereka buat, kemudian jenis komoditas tanaman yang ditanam, serta rekomendasi pemupukan yang dikeluarkan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP).
“Pupuk ini kompleks ya, banyak stakeholder yang terlibat. Jadi bukan hanya jadi kewenangan Dinas Pertanian saja,” ujar Dian.
Mendorong Penggunaan Pupuk Organik
Berbeda dengan pupuk bersubsidi yang pendistribusiannya dilakukan secara tertutup, pupuk non subsidi bisa dijual bebas dan mudah didapatkan oleh petani tanpa berbagai syarat yang harus dipenuhi. Tapi pastinya harganya jauh lebih tinggi, bahkan mencapai tiga kali lipat.
“Urea itu kan yang bersubsidi Rp 1.800, kalau nonsubsidi itu bisa Rp 6.000. Jadi jauh selisihnya, bisa tiga kali lipat,” ujar Dian Purwanti.
Sebagai bentuk dukungan terhadap petani, Dinas Pertanian DIY menurut Dian juga sudah mengajukan tambahan alokasi pupuk bersubsidi ke pusat. Sebab, kuota yang dialokasikan saat ini untuk tahun 2020 dipastikan kurang untuk memenuhi kebutuhan petani.
Pasalnya, dilihat dari realisasi penyerapan pupuk bersubsidi pada dua tahun terakhir, angkanya sudah cukup tinggi. Pada 2018, realisasi penyerapan pupuk bersubsidi mencapai angka 94,55 persen, bahkan pada 2019 realisasinya mencapai 100 persen. Itu kenapa, pengajuan tambahan alokasi menurut dian sangat penting dilakukan.
Tapi tidak ada yang bisa menjamin pengajuan ini akan dikabulkan oleh pemerintah pusat, terlebih melihat kondisi perekonomian yang tidak kunjung membaik karena pandemi. Karena itu, petani menurutnya perlu siap dengan opsi-opsi lain jika nantinya tidak ada tambahan pupuk bersubsidi.
“Kita harus cari alternatif lain, melalui para penyuluh, kita dorong para petani untuk pakai pupuk organik yang diproduksi oleh mereka sendiri, misal kompos, pupuk kandang, dan sebagainya,” ujarnya.
Secara dampak memang tidak bisa langsung terlihat seperti pada penggunaan pupuk kimia. Tapi dengan penggunaan pupuk organik, selain untuk menyiasati kekurangan pupuk bersubsidi, juga bisa membantu regenerasi tanah. Sehingga kualitas tanah bisa terus terjaga dan bisa mewujudkan pertanian yang berkelanjutan.
“Untuk jangka panjang penggunaan pupuk organik juga lebih baik,” ujar Dian. (Widi Erha Pradana / YK-1)