Dia adalah Sukitman. Polisi yang ikut diculik pada peristiwa G30S/PKI.
Berbeda dengan para jenderal militer, Sukitman tidak dieksekusi.
Ia justru melihat para korban dibuang sumur yang kini dikenal dengan sebutan Lubang Buaya.
Setelah dibuang, ditembak, diisi sampah, sumur tersebut ditutup dengan pohon pisang.
Bahkan, Sukitman sempat bertemu dan berbicara langsung dengan para penculik para jenderal militer.
Berikut ini kisah saksi hidup peristiwa G30S/PKI.
Melansir dari Intisari edisi September 1992, saat itu Sukitman tengah berjaga di Seksi Vm Kebayoran Baru (sekarang Kores 704) yang berlokasi di Wisma AURI di Jalan Iskandarsyah, Jakarta.
Jam menunjukkan pukul 03.00, Sukitman yang waktu itu berpangkat Agen Polisi Dua tengah melaksanakan tugas bersama rekannya yang berpangkat sama, Sutarso.
Sukitman mengatakan saat itu ia mendengar bunyi rentetan tembakan yang asalnya tidak jauh dari posnya.
"Waktu itu polisi naik sepeda. Sedangkan untuk melakukan patroli, kadang-kadang kami cukup dengan berjalan kaki saja, karena radius yang harus dikuasai adalah sekitar 200 meter," katanya.
Sukitman bergegas mengendarai sepedanya dengan cara melawan arah.
Operasi penumpasan anggota PKI oleh TNI AD (Istimewa/intisari)
Sementara rekannya tetap berjaga.
Sukitman tak menduga suara tembakan itu adalah awal dari penculikan para jenderal.
Ia mengira telah terjadi perampokan.
Setelah mencari sumber suara, Sukitman menyadari tembakan itu berasal dari rumah Jenderal DI Panjaitan.
Menurutnya, rumah tersebut sudah dikepung oleh pasukan.
Sukitman tidak mengetahui apa yang sedang terjadi, tiba-tiba saja seorang tentara berseragam loreng berbaret merah berusaha menghentikannya.
"Turun! Lempar senjata dan angkat tangan!"
Sukitman yang saat itu masih berusia 22 tahun mengaku kaget dan lemas.
Ia langsung menyuruti apa yang diperintahkan.
Kemudian, Sukitman diseret. Tangannya terikat dan matanya tertutup.
Ia dilemparkan ke dalam truk. Menurutnya, ia ditempatkan di samping sopir.
Walaupun dalam keadaan mata tertutup, Sukitman menajamkan instingnya.
Ia ingin tahu kemana pasukan itu membawanya pergi.
Namun, ia mulai kehilangan orientasi setelah mobil berbelok kanan dari arah Cawang.
"Pokoknya, saya pasrah kepada Tuhan sambil berdoa," katanya.
Kendaraan yang ditumpangi Sukitman berhenti.
Ia diturunkan dan tutup matanya dibuka.
Sukitman belum terbiasa dengan keadaan yang serba terang benderang.
Ia mendengar seseorang mengatakan ada yang sudah mati.
"Yani wis dipateni," ucapan itulah yang didengar Sukitman.
Setelah tentara yang menyandera Sukitman tahu bahwa ia adalah polisi, Sukitman dibawa ke sebuah tenda.
Di tenda itu, tentara tersebut melapor kepada atasannya, "Pengawal Jenderal Panjaitan ditawan."
Sukitman melihat ada orang bersimbah darah dalam posisi telentang.
Ada juga yang duduk di kursi dalam kondisi sama seperti orang telentang.
Kemudian, Sukitman ditawan di depan rumah.
Hari semakin terang, Sukitman melihat dengan jelas sekelompok orang mengerumuni sumur yang jaraknya 10 meter dari tempatnya disandera.
"Ganyang kabir, ganyang kabir!," teriak orang yang berkerumun itu.
Tubuh manusia dilemparkan ke dalam sumur yang kemudian dihujani peluru.
Sukitman sempat melihat seorang tawanan dalam keadaan masih hidup dengan pangkat bintang dua di pundaknya, mampir sejenak di tempatnya disandera.
"Setelah tutup matanya dibuka dan ikatannya dibebaskan, di bawah todongan senjata, sandera itu dipaksa untuk menandatangani sesuatu. Tapi kelihatannya ia menolak dan memberontak. Orang itu diikat kembali, matanya ditutup lagi, dan diseret dan langsung dilemparkan ke dalam sumur yang dikelilingi manusia haus darah itu dalam posisi kepala di bawah," kenangnya.
Setelah aksi kejam itu berhenti, sumur tersebut diisi sampah dan ditancapkan pohon pisang.
Orang yang menyandera Sukitman merasa ia bukanlah musuh.
Ia dipanggil untuk menghadap Lettu Dul Arief yang menanyakan di mana senjata Sukitman.
Akhirnya Sukitman menjelaskan apa yang terjadi sebelum diseret ke tempat tersebut.
Senjata Sukitman berhasil ditemukan walaupun dalam keadaan patah.
Sukitman dibawa ke Gedung Penas (Pemetaan Nasional, daerah Bypass, sekarang Jalan Jenderal A Yani).
Hari berganti malam, Sukitman yang masih dalam pengawasan malah diajak membawa nasi.
"Ke mana?," tanya Sukitman.
"Ke lubang Buaya, tempat para jenderal dibunuh," jawab Kopral Iskak, orang yang mengajaknya tersebut.
"Pada waktu itulah saya baru tahu bahwa yang dikatakan 'Ganyang kabir, ganyang kabir!' itu para jenderal," ungkap Sukitman.
Jalan yang diambil melewati Cililitan, Kramat Jati, Pasar Hek bukan sesuatu yang asing bagi Sukitman, karena dulu ia pernah mengikuti latihan di daerah itu.
Selesai mengambil nasi, mereka segera kembali ke Gedung Penas untuk membagikan nasi kepada pasukan.
Merasa lelah, Sukitman akhirnya tertidur.
Hari telah berganti, namun peluang bagi Sukitman untuk melarikan diri sangatlah kecil.
Kira-kira pukul 14.00 WIB, Sukitman merasa kepalanya pusing.
Ia memutuskan masuk ke kolong truk untuk berbaring.
Sukitman menggunakan helm untuk mengganjal kepala, senjatanya yang patah ia letakan di dekatnya.
Kepalanya yang pusing diikat dengan scraf yang sebelumnya digunakan oleh pasukan yang menyanderanya.
Saat Sukitman tertidur ia mendengar bunyi tembakan dari berbagai arah.
"Meskipun saya mendengar bunyi tembakan gencar, entah mengapa mata saya tidak mau diajak kompromi untuk melek," katanya.
Ketika terbangun sore hari sekitar pukul 16.00 WIB, Sukitman tidak bisa menemukan pasukan yang sebelumnya berjumlah banyak.
Ia hanya sendirian di tempat tersebut padahal truk masih berjejer.
Setelah itu, ia bertemu dengan pasukan yang tengah mencari jejak anggota yang terlibat G30S/PKI.
Sukitman dibawa ke markas Cakrabirawa.
Setelah bertemu dengan sejumlah orang, ia akhirnya dibawa ke jalan Merdeka untuk menghadap Panglima Kostrad Mayjen Soeharto.