Kisah menarik terjadi saat pembersihkan Madiun dari PKI pada 1948
Prajurit ABRI dibikin bingung saat akan mengeksekusi mati seorang simpatisan PKI.
Simpatisan PKI itu tak mempan ditembak alias kebal peluru.
Peristiwa di luar nalar ini berawal saat pemerintah mengerahkan pasukan ABRI untuk melakukan pembersihan sisa-sisa PKI tahun 1948.
Tak terkecuali pasukan ABRI dari Divisi Siliwangi pun turut menyapu bersih kekuatan PKI di Madiun dan sekitarnya.
Saat itu, Divisi Siliwangi lantas memburu semua simpatisan PKI di Madiun.
Pada 30 September 1948, Madiun berhasil dikuasai lagi oleh ABRI.
Mengutip buku 'Perintah Presiden Sukarno: Rebut Kembali Madiun', Front Demokratik Rakyat (FDR) yang merupakan organisasi sayap PKI juga berhasil dilibas oleh Divisi Siliwangi.
Para simpatisan PKI itu lari tunggang langgang, sembunyi di daerah-daerah sekitar Madiun.
Pasukan ABRI berhasil menangkap mereka dan diadili.
Gerakan Divisi Siliwangi dilanjutkan ke Blora dimana anggota PKI insiden Madiun melarikan diri kesana.
Ada suatu kejadian aneh dan di luar nalar ketika Batalyon Kala Hitam Divisi Siliwangi mendapati seorang anggota PKI yang tertangkap.
Anggota PKI itu sama sekali tak gentar padahal ia bakal dieksekusi mati.
Di tengah alun-alun Blora tawanan tersebut ditembak tepat dikening.
Namun, ia tak mati.
Mayor Kemal Idris yang menjadi komandan Batalyon Kala Hitam bingung mendapati hal ini.
Seorang komandan peleton (Danton) anak buahnya lantas bertanya.
"Ada apa Mayor?"
"Itu tawanan minta mati," tukas Kemal.
Danton tersebut lantas mengambil pistolnya dan menempelkan di kening tawanan tersebut.
"Klik-klik"
Pistol tak mau menyalak padahal peluru masih penuh.
Dua kali Danton mengulangi, namun hasilnya sama pistol tak mau meletus.
"Kamu punya ilmu ya?" tanya sang Danton.
"Tidak.." seloroh si tawanan.
Kali ini pistol dikokang dan ditempelkan lagi ke kening tawanan.
Pelatuk ditarik dan suara tembakan pun menggema
Sejurus kemudian tawanan terjengkang ke belakang langsung mati.
"Rupanya, jawaban "Tidak" dari sang jagoan merupakan kunci pelepasan ilmu kebalnya sehingga dia mati sesuai permintaannya…" ungkap Mayjen TNI (Purn) Rachwono yang ikut dalam Batalyon Kala Hitam saat menumpas sisa-sisa kekuatan PKI Madiun seperti dikutip dalam dokumen pribadinya.
Burhan Kampak Algojo Pembantai PKI
Operasi penumpasan PKI yang takah menghebohkan juga terjadi di tahun 1965
Tepat pada hari ini 30 Sepember pada 1965 silam, tragedi yang dikenal dengan G 30S PKI terjadi.
Pada saat itu pula, seorang pria asal Yogyakarta bernama Burhan Kampak muncul sebagai algojo.
Kisahnya diabadikan dalam Majalah Tempo tahun 2012, berjudul "Pengakuan Algojo 1965", seperti dikutip dari artikel 'Burhan Kampak, Algojo yang Membunuh Orang PKI Usai G30S : Daripada Dibunuh, Lebih Baik Membunuh'
Burhan telah menjadi algojo untuk membasmi orang komunis khususnya di daerah Yogyakarta.
Kemanapun dia pergi Burhan selalu membawa Kampak. Oleh karenanya, dia sering disebut Burhan Kampak.
Senjata itulah juga yang sering dia gunakan untuk mengeksekusi orang-orang PKI dan para simpatisannya.
Selain kampak Burhan juga menggunakan pistol sebagai senjatanya.
Saat diwawancarai BBC pada 2015 silam Burhan mengaku menjadi satu-satunya yang membawa kampak panjang.
Kebencian Burhan ternyata tumbuh sejak dia masih mahasiswa di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.
Pada tahun 1962, kala itu Majelis Ulama Indonesia dalam Muktamarnya di Sumatera membuat fatwa bahwa komunisme itu haram.
Mulai saat itulah kebencian Burhan mulai muncul kepada PKI dan semakin menjadi saat dia lantas dikeluarkan dari Fakultas Hukum UGM pada tahun ketiga.
Hal itu terjadi lantaran dia memasang spanduk poster tentang pembubaran Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan PKI.
Dalam keterangan Burhan, CGMI waktu itu 1963-1964 seringkali meneror dan mengintimidasi mahasiswa Islam.
Juga, mahasiswa simpatisan PKI menggelar demonstrasi di Malioboro dan tempat strategis di Jogja.
Bahkan, saat Comite Central (CC) PKI DN Aidit menyinggung HMI, itu membuatnya semakin tersinggung.
Hingga puncaknya saat G30 S PKI terjadi, Burhan ikut terjun dan melakukan perlawanan pada PKI.
Sebagai staf dalam Laskar Ampera Aris Margono dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, Burhan memiliki lisensi untuk membunuh "License to kill".
Setidaknya ada 10 orang yang diberi pistol dan dilatih.
Mereka diberi pistol berjenis FN, lalu, Burhan seringkali datang ke markas Kostrad yang bertempat di Gedung Wanitatama, Yogya untuk minta peluru.
Dia beroperasi di daerah Luweng, Gunungkidul, kemudian Klaten.
Ketika mengeksekusi pada malam hari, para terksekusi ditutup matanya kemudian didorong dari tebing ke aliran sungai yang mengalir ke pantai selatan Jawa.
Kemudian, di Kaliwedi sebelah barat Klaten, sebelum melakukan eksekusi warga membuat parit sepanjang 100 hingga 200 meter untuk menaruh anggota PKI dan simpatisannya.