Hari ini, 30 September 2020, atau tepat 55 tahun silam, merupakan hari yang kelam bagi perjalanan bangsa ini. Sekelompok pasukan Tjakrabirawa yang sudah terinfiltrasi gerakan politik Partai Komunis Indonesia (PKI), menyasarkan kebengisan mereka terhadap sejumlah perwira tinggi TNI AD.
Salah satu yang turut jadi tumbal gerakan laknat itu adalah Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (MT Haryono). Sebelum kejadian di pagi buta pada 1 Oktober 1965, sedianya pejabat Deputi III Menpangad bidang Perencanaan dan Pembinaan itu, sudah mendapati firasat akan jadi target kekerasan golongan ekstrem kiri.
Salah satu wakil Menpangad Letjen TNI Ahmad Yani itu ikut gugur sebagai bunga bangsa. “Bapak harus berjaga-jaga. Kabar mengenai rencana penculikan dan pembunuhan itu barangkali benar,” ujar ajudan MT Haryono, dikutip dalam buku ‘Tujuh Prajurit TNI Gugur: 1 Oktober 1965’.
“Buat apa? Saya dan keluargan tak perlu dijaga!,” jawab MT Harjono tegas.
Sebagai seorang perwira tinggi TNI AD, rumah MT Haryono saat itu tanpa penjagaan sama sekali. Bahkan dia tak pernah mau memanfaatkan fasilitas negara untuk melakukan pengamanan dengan tentara di rumahnya.
Namun peristiwa kelam 1 Oktober itu tiba, sekira pukul 04.00 pagi, rumah MT Harjono di Jalan Prambanan Nomor 8, Menteng, Jakarta Pusat itu didatangi segerombolan pasukan Tjakrabirawa. yang dikepalai Sersan Mayor Bungkus.
Kala itu, yang membukakan pintu adalah istri sang jenderal, Mariatni. Dia pun bertanya maksud kedatangan para pria tegap berseragam dengan bersepatu lars itu. “Bung Karno memanggil bapak. Ada rapat penting yang harus dihadiri bapak sekarang juga,” jawab Serma Bungkus.
Setelah itu, Mariatni ingin membangunkan MT Haryono, namun gerombolan itu ikut masuk kedalam rumah. “Di luar ada tentara yang mengaku utusan Bung Karno. Mereka minta Ayah ikut mereka. Ada rapat penting di Istana Bogor,” ujar Mariatni pada suaminya.
“Tidak ada rapat pagi buta seperti ini,” jawab MT Harjono. Seketika sang jenderal pun curiga dan menyuruh istri dan anak-anaknya untuk pindah dari kamar masing-masing ke tempat aman.
“Kamu harus segera pindah kamar dan bangunkan anak-anak, karena mereka akan membunuh saya. Pindahlah ke kamar depat beserta anak-anak,” ucap MT Harjono yang malangnya, itu jadi kalimat terakhir sang jenderal pada istrinya.
Tak lama setelah Mariatni memindahkan anak-anaknya, terdengar bunyi rentetan senjata yang ternyata, menembus tubuh MT Harjono. Tubuhnya diseret keluar rumah, dilempar ke dalam truk dan keluarga tak tahu lagi jasadnya dibawa entah ke mana.
Mariatni segera berusaha cari kontak dengan kerabat yang sialnya, kabel telefon rumah sudah diputus. Dia pun bertolak ke rumah asisten intel Menpangad, Mayjen TNI Siswondo Parman dan kemudian ke rumah Menpangad Letjen Ahmad Yani. Yang ditemukannya ternyata tak jauh berbeda dengan yang dialami suaminya.
Sama dengan beberapa jenderal lain, keluarga MT Harjono seolah sudah merasakan firasat aneh terhadap perwira TNI kelahiran Surabaya, 20 Januari 1924 tersebut.
Seperti yang dialami anak-anak MT Haryono, sehari sebelum kejadian pada 30 September 1965 sore, di mana ada barisan tentara dekat rumahnya. Salah satu dari mereka bertanya, di mana letak rumah MT Harjono. Sontak dengan spontan, mereka pun menunjuk rumah mereka sendiri.
Firasat lain juga dialami putri bungsu MT Haryono, Enda Marina, di mana ketika sang jenderal tengah sibuk menata bunga anggrek dengan mendengarkan musik klasik, Enda yang ingin mendekati sang Ayah, justru disuruh menjauh.
Sebuah perilaku ganjil buat Enda yang selama ini sangat dekat dengan Ayahnya. Belum lagi, malam sebelum kejadian, Enda juga bermimpi tentang Ayahnya yang ditusuk tombak oleh beberapa orang misterius, hingga tak berdaya dan bersimbah darah.
Dalam keseharian, sang jenderal juga tak pernah bicara politik sedikit pun dengan anak-anaknya di rumah. Tapi pada suatu ketika, anak sulung MT Haryono, Harianto Harjono atau yang biasa disapa Babab, tiba-tiba diajak bicara soal politik oleh ayahnya. Sebuah wejangan atau cenderung seperti petuah terakhir MT Haryono pada anaknya.
“Bab, kalau kamu sudah besar nanti, sebaiknya hindarilah berpolitik. Karena politik itu sangat berisiko. Politik itu menghalalkan segala cara. Selagi kamu berada dalam satu kelompok, kelompok itu akan menganggapmu sebagai teman,” ucap MT Haryono pada Babab.
“Tetapi begitu kamu berpisah, kamu akan dianggap sebagai musuh. Persahabatan dan kebajikan yang telah kamu lakukan di masa yang sudah-sudah, akan mereka lupakan. Makanya kamu tak perlu masuk politik. Masuk tentara boleh, tapi masuk politik, sekali lagi, jangan!,” seru sang jenderal yang jadi pesan terakhir pada anaknya itu.