Dua mantan tentara Myanmar bersaksi lewat sebuah video mengenai kekejaman terhadap etnis Muslim Rohingya.
Hal itu diungkapkan oleh sebuah kelompok hak asasi manusia, Fortify Rights, Selasa (8/9).
Pengakuan itu diutarakan oleh Myo Win Tun (33) dan Zaw Naing Tun (30).
Mereka mengatakan bahwa mereka diperintahkan untuk 'menembak semua yang Anda lihat dan yang Anda dengar' saat mereka 'membersihkan' desa Muslim Rohingya, memperkosa wanita dan mengeksekusi anak-anak.
Pengakuan tersebut dianggap yang pertama dibuat oleh tentara yang terlibat langsung dalam genosida yang oleh pemerintah Myanmar digambarkan sebagai 'kampanye pembersihan' untuk mengusir teroris dari negara bagian Rakhine.
Prajurit itu, salah satunya mengaku memperkosa seorang wanita, mengatakan bahwa mereka diperintahkan untuk 'memusnahkan semua Kalar' (kata yang menghina untuk Rohingya) dan menggambarkan bagaimana mereka merampok desa, membantai orang tua dan muda.
Sekitar 80 orang tewas, termasuk anak-anak, orang dewasa, dan orang tua. Pembunuhan itu disetujui oleh komandan batalionnya, Letnan Kolonel Myo Myint Aung.
Dalam satu insiden, sepuluh warga desa yang dicurigai tergabung dalam kelompok pemberontak Rohingya, Arakan Rohingya Salvation Army ditangkap dan diikat. Kemudian mereka ditembak atas perintah kapten. Naing Tun mengaku bahwa dia adalah salah satu penembak.
Naing Tun juga mengaku berada di lokasi ketika seorang sersan dan seorang kopral memperkosa tiga wanita Rohingya ketika menggeledah rumah. Tapi dia mengaku tidak melakukan pemerkosaan apa pun.
Dia ambil bagian dalam penjarahan ketika menggerebek pasar, perwira unitnya mengatakan "apa yang Anda ambil adalah apa yang Anda dapatkan".
"Kami masuk ke pasar, menghancurkan kunci dan pintu, lalu kami mengambil uang, emas, pakaian, makanan, dan telepon genggam," ujarnya.
Kesaksian itu menjadi pengakuan publik pertama yang diutarakan oleh tentara Myanmar atas keterlibatannya dalam pembantaian, pemerkosaan, dan kejahatan lainnya terhadap etnis muslim Rohingya.
Dua tentara tersebut sekarang berada dalam tahanan Pengadilan Kriminal Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, dan direkam pada Juli setelah mereka ditahan oleh Tentara Arakan, sebuah kelompok gerilya etnis di Rakhine yang berperang melawan Burma.
Cerita Wanita Muslimah Rohingya soal Pemerkosaan Mengerikan
Wanita Muslimah Rohingya ini berusia 22 tahun. Dia buka suara tentang pemerkosaan mengerikan yang dilakukan para tentara Myanmar terhadapnya di negara bagian Rakhine saat kekerasan pecah di wilayah tersebut.
Dia bersedia diidentifikasi dengan inisial dari nama depannya, F.
Dia kini tinggal di kamp pengungsian di Kutupalong, Bangladesh, dengan kondisi perut membuncit alias hamil.
F mengalami pemerkosaan oleh para tentara Myanmar dua kali. Pertama pada bulan Juli dan terakhir pada September lalu ketika kekerasan pecah di Rakhine.
Di pengungsian, F mendengar bahwa militer Myanmar telah menyerang desa-desa warga Rohingya, yang oleh PBB disebut sebagai bagian dari pembersihan etnis. Dia juga mendengar kabar beberapa hari yang lalu bahwa tentara telah membunuh orang tuanya dan kakaknya hingga kini masih hilang.
F adalah satu dari 29 wanita Rohingya yang diiinvestigasi AP terkait kekerasan seksual yang mereka alami selama operasi militer Myanmar Agustus lalu. Operasi itu terjadi setelah kelompok militan Rohingya menyerang pos-pos polisi yang menewaskan 12 petugas.
F masih ingat ketika para tentara mengikat suaminya dengan tali, dan menyumpalkan kain ke mulutnya. Para tentara kemudian mempereteli perhiasan F dan merobek bajunya. Wanita itu lantas dijatuhkan ke lantai dan tentara pertama memperkosanya.
Wanita tersebut telah berjuang untuk melawan. Tapi, empat orang menahannya dan memukulinya dengan tongkat. Suaminya menggeliat dan dan menjerit.
F lantas melihat seorang tentara menembakkan peluru ke dada pria yang baru dia nikahi satu bulan sebelumnya. Seorang tentara lain menggorok tenggorokan suaminya.
Pikiran wanita Rohingya ini menjadi kabur. Ketika para tentara selesai beraksi, dia diseret keluar. Tak lama kemudian rumah bambunya dibakar.
Dua bulan berlalu, kesengsaraannya masih jauh dari selesai, karena dia kini hamil.
Sebanyak 29 wanita Rohingya di pengungsian diwawancarai secara terpisah dan ekstensif. Para wanita memberikan nama lengkapnya, namun media yang berbasis di Amerika Serikat itu setuju hanya menulisnya dengan inisial dari nama depan mereka dengan alasan mereka atau keluarga mereka takut akan jadi target militer Myanmar lagi.
Mereka yang diwawancarai adalah para perempuan berusia antara 13 sampai 35 tahun.
Roshida Begum, 22, seorang wanita muslimah Rohingya melarikan diri ke Bangladesh tak lama setelah serangan 25 Agustus lalu dari Desa Tula Toli di Myanmar
Suatu hari militer datang ke desanya dan melemparkan bom bensin dan membakar rumah.
Mereka secara acak menembak orang yang mereka lihat, dan Roshida mencoba melarikan diri, namun tertangkap.
Dia adalah bagian dari sekitar empat atau lima wanita yang dibawa ke rumah oleh militer dan diperkosa.
Setelah itu militer memotong leher mereka dengan parang dan membiarkan para wanita mati.
Roshida mengatakan, setelah militer menyerangnya, mereka meninggalkannya dan membiarkannya pulang dengan kondisi terbakar.
Lebih menyakitkan lagi, mereka telah membawa bayi berumur 25 hari darinya dan menghancurkan kepalanya di tanah begitu keras hingga dia meninggal.
Kesaksian F dan para wanita Rohingya lainnya mendukung anggapan PBB bahwa angkatan bersenjata Myanmar secara sistematis menggunakan pemerkosaan sebagai ”alat teror” yang bertujuan untuk membasmi orang-orang Rohingya.
Angkatan bersenjata Myanmar tidak menanggapi banyak permintaan komentar yang diajukan dari AP.
Namun sebuah penyelidikan internal militer bulan lalu menyimpulkan bahwa tidak ada serangan yang pernah terjadi.
Ketika wartawan bertanya tentang tuduhan perkosaan dalam sebuah perjalanan yang diselenggarakan pemerintah Myanmar ke Rakhine pada bulan September, Menteri Rakhine untuk Urusan Perbatasan, Phone Tint, menjawab; "Wanita-wanita ini mengklaim bahwa mereka diperkosa, tapi lihatlah penampilan mereka. Apakah menurut Anda itu menarik diperkosa?."
Para dokter dan pekerja bantuan mengatakan bahwa mereka tertegun terhadap banyaknya kasus pemerkosaan. Dokter Medecins Sans Frontieres telah merawat 113 korban kekerasan seksual sejak Agustus, sepertiga di antaranya berusia di bawah 18 tahun. Gadis termuda yang jadi korban berusia 9 tahun.