Rumah pembacaan teks naskah proklamasi yang dinyatakan oleh Soekarno ternyata milik keluarga keturunan Arab.
Sohibul bait alias si empunya rumah ternyata juga berperan penting dalam membantu kemerdekaan Republik Indonesia.
Sebagaimana disebutkan dalam buku-buku sejarah, Perumusan hingga pembacaan teks naskah proklamasi memiliki sejarah panjang dan tak hanya melibatkan segelintir orang.
Sejumlah tokoh yang terlibat dalam peristiwa bersejarah itu pun mempunyai peran dan jasanya tersendiri.
Salah satunya kepemilikan rumah ketika naskah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dibacakan.
Nama pemilik rumah tersebut seolah tenggelam dilindas zaman. Ia bahkan tidak ditulis dalam buku-buku sejarah, apalagi masuk dalam mesin pencari Google.
Dia kalah tersohor ketimbang pahlawan dan pejuang kemerdekaan Indonesia keturunan Arab lainnya, seperti Sultan Hamid al-Gadri, Abdul Rahman Baswedan, dan Husain Mutahar.
Padahal jasa dan kisah heroiknya tidak kalah penting dibanding mereka atau pejuang-pejuang pribumi.
Mungkin selama ini kita hanya mengetahui, bahwa proklamasi tersebut dibacakan oleh Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur no. 56, atau justru sepengatahuan kita rumah tersebut adalah milik Soekarno.
Adalah Faradj bin Said bin Awadh Martak atau disingkat Faradj Martak (1897-1962) dikenal sebagai seorang saudagar Arab-Indonesia.
Demi kemerdekaan Indonesia, Ia rela menghibahkan sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 kepada Soekarno agar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan Republik Indonesia.
Rumah itu dibeli Faradj Martak dari orang Belanda.
Rumah dengan enam kamar tidur itu sangat mahal di zaman itu karena Jalan Pegangsaan termasuk kawasan elite.
Di rumah tersebut Fatmawati kemudian menjahit sendiri Bendera Merah Putih pada malam sebelum proklamasi.
Keesokan harinya, 17 Agustus 1945, rumah tersebut dijadikan tempat dikumandangkannya naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, lengkap dengan pengibaran Sang Saka Merah Putih.
Setelah Soekarno dan keluarganya tinggal di sana, Faradj Martak, ayah 19 anak dari tiga istri, pindah ke rumah satunya lagi terletak di seberang jalan, yakni di Jalan Pegangsaan nomor 41.
Sempat mengobati Soekarno ketika malaria
Beberapa hari sebelum proklamasi kemerdekaan dibacakan, Soekarno jatuh sakit karena terserang penyakit malaria.
Kala itu, sosok yang dikenal sebagai singa podium ini hanya bisa terbaring dengan kondisi badan demam dan menggigil.
Mengetahui sahabatnya sedang terbaring sakit, Faradj bin Said memberikan obat tradisional Hadramaut yaitu Sidr Bahiyah atau madu Arab.
Madu tersebut dikenal memiliki khasiat tinggi dan sudah teruji selama ratusan tahun sebagai obat antibiotik dan antiseptik.
Ucapan terima kasih soekarno untuk Faradj Martak |
Tak lama setelah meminum obat yang diberikan Faradj bin Said, penyakit malaria yang kerap diderita Soekarno semenjak dalam pengasingan tersebut berangsur-angsur menghilang, kesehatannya pun berangsur membaik.
Lalu, dengan didampingi Mohammad Hatta dan sejumlah tokoh lainnya, Soekarno menyatakan proklamasi kemerdekaan di depan rumah Faradj bin Said di Jalan Pegangsaaan Timur No.56.
Mendapat penghargaan dari pemerintah
Beberapa tahun setelah momentum bersejarah tersebut, pada 14 Agustus 1950, pemerintah RI melalui Menteri Pekerjaan Umum dan Pehubungan Indonesia, Mananti Sitompoel memberikan sebuah penghargaan dan ucapan terimakasih kepada keluarga Martak karena telah berjasa membantu kemeredekaan bangsa Indonesia.
Salah satu jasanya ialah telah menghibahkan sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Timur bagi para tokoh nasional untuk menyatakan kemerdekaan.
Diketahui, rumah tersebut sempat menjadi tempat tinggal bagi Bung Karno.
Pernyataan terima kasih Pemerintah Indonesia untuk Faradj Martak |
Namun sejak tahun 1962, bangunan itu diratakan dan dibangun sebuah Gedung Alur atau Gedung Pola.
Kini bangunan tersebut dikenal sebagai monumen Tugu Proklamasi. Sejak saat itulah, Jalan Pegangsaan Timur berganti nama menjadi Jalan Proklamasi.
Selain menghibahkan rumahnya, ia juga pernah memberikan tanah dan bangunan untuk masjid besar Al-Azhar di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Meski tak seterkenal tokoh-tokoh lainnya, namun perjuangan dan ketulusan keluarga Martak dalam membantu para tokoh pergerekan wajib diapresiasi.
Faradj Martak meninggalkan Soekarno lebih dulu. Dia menghembuskan napas terakhir dalam usia 65 tahun pada 1962 di Kota Aden, Yaman Selatan, setelah sakit dua hari, dan dikuburkan di sana. Karena jauh, Soekarno hanya bisa bertakziah kepada keluarganya yang ada di Jakarta.
Soekarno menyusul delapan tahun kemudian. Sahabatnya, Faradj Martak, hilang dari sejarah sepanjang usia negara ini, sekarang telah muncul. Dan dia tidak boleh lagi dilupakan.