Bagaimana hukum mengambil buah di pinggir jalan? Jazakumullah khoiran
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Ada 3 hal terkait pemanfaatan harta yang perlu kita bedakan,
Pertama, harta milik pribadi, sehingga pemilik berhak untuk memiliki dan menguasai harta itu.
Misalnya, anda memiliki mobil, maka anda berhak memiliki dan menguasai mobil itu. Orang lain tidak diperbolehkan untuk memanfaatkannya kecuali dengan cara yang diizinkan syariat, misalnya dengan sewa, pinjam, atau akad lainnya. Memanfaatkan barang ini, atau menguasainya tanpa seizin anda, atau tanpa melalui akad yang sah, termasuk tindakan kedzaliman,
Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Kedua, harta milik pribadi, tapi diizinkan syariat untuk diambil sebagian manfaatnya jika butuh, meskipun tidak ada izin dari pemiliknya.
Pada asalnya ini termasuk jenis barang yang pertama. Hanya saja ada restu dari syariah bagi orang yang butuh untuk memanfaatkannya. Karena ini sifatnya pengecualian, maka dia terbatas untuk barang yang diizinkan syariat. barang itu adalah buah yang ada di kebun milik orang lain atau mengambil susu dari hewan ternak milik orang lain yang sedang digembalakan.
Bagi anda yang berada di perjalanan, kemudian merasa lapar atau butuh untuk mengambil buah di kebun, dipersilahkan selama dimakan di tempat, tidak merusak, dan tidak membawa pulang.
Dalam hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ دَخَلَ حَائِطًا فَلْيَأْكُلْ وَلا يَتَّخِذْ خُبْنَةً
Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
إِذَا مَرَّ أَحَدُكُمْ بِحَائِطٍ فَلْيَأْكُلْ وَلا يَتَّخِذْ خُبْنَةً
Mengenai susu kambing gembalaan, dinyatakan dalam hadis dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ حَائِطًا فَأَرَادَ أَنْ يَأْكُلَ، فَلْيُنَادِ: يَا صَاحِبَ الْحَائِطِ ثَلَاثًا، فَإِنْ أَجَابَهُ وَإِلَّا فَلْيَأْكُلْ، وَإِذَا مَرَّ أَحَدُكُمْ بِإِبِلٍ فَأَرَادَ أَنْ يَشْرَبَ مِنْ أَلْبَانِهَا، فَلْيُنَادِ: يَا صَاحِبَ الْإِبِلِ – أَوْ يَا رَاعِيَ الْإِبِلِ – فَإِنْ أَجَابَهُ وَإِلَّا فَلْيَشْرَبْ
Dan apabila kalian melewati onta gembala, dan ingin minum susunya, hendaknya dia memanggil, “Wahai penggembala…” atau “Wahai pemilik onta..” jika ada respon, silahkan minta izin. Jika tidak ada, silahkan minum.
(HR. Ahmad 11045 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth)
Dalam riwayat Baihaqi ada tambahan,
“Dan jangan dia membawanya.”
Mengapa mereka diizinkan untuk mengambilnya tanpa seizin pemilik?
Jawabannya,
Ini seperti tamu. Ketika seseorang bertamu, maka tuan rumah berkewajiban untuk menjamu tamunya. Jika tuan rumah tidak menjamu, tamunya boleh minta jamuan itu. Dan itu hak tamu yang menjadi kewajiban tuan rumah selama 3 hari. Dan menjamu tamu, tidak akan membuat tuan rumah jadi miskin.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
وَالضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ ، فَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَلِكَ فَهْوَ صَدَقَةٌ عَلَيْهِ
Orang yang memiliki kebun, atau hewan gembalaan, berkewajiban untuk mengizinkan orang yang lewat atau yang memasuki kebunnya. Dan orang yang memasuki kebun telah mendapatkan izin syariat untuk memakannya. Sehingga, sekalipun pemilik tidak ada, dia boleh mengambilnya.
Ketiga, barang milik bersama
Seperti pohon yang ada di tepian jalan, yang itu dimiliki negara.
Pepohonan semacam ini boleh dimiliki dan diambil manfaatnya oleh orang yang lewat, tapi tidak boleh menguasai apalagi memiliki.
Diantara dalilnya adalah hadis di atas. Dengan menggunakan qiyas aula, bahwa jika pohon milik individu yang menghasilkan buah bisa dimanfaatkan buahnya, apalagi milik umum.
Dalam Fatwa Islam ada pertanyaan tentang hukum mengambil buah pohon di pinggir jalan. Jawaban yang diberikan,
لا حرج في الأكل من الشجر المزروع على جانب الطرقات ؛ لأنه ملك لعامة المسلمين ، وتركه دون حائط أو حراسة دليل على الإذن وإباحة الأكل منه
Demikian, Allahu a’lam