Masalah ajal memang tidak ada yang tahu penghujungnya seperti apa.
Apakah akan berakhir khusnul khatimah atau malah suul khatimah.
Terkadang ada satu cara kita diselamatkan dan diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan, atau malah ketika kita tidak sadar justru itu menjadi azab tersendiri.
Namun urusan wafat, sering disebut jika akhir hayat seseorang akan sama dengan apa yang sering ia lakukan.
Seorang ahli ibadah meninggal dalam ibadah, ahli maksiat juga meninggal dalam kondisi maksiat.
Seperti ucapan lama, jika pendekar mati diujung pedang, dan saudagar mati ketika berniaga.
Berikut kisah seorang anak band meninggal dalam kondisi tragis di akhir hayatnya. Tapi temannya mendapat kesempatan belajar dan memperbaiki diri, selengkapnya dari Ummu Faruq, yang dikutip oleh wordpress.com dari Majalah Sakinah volume 9, no 11.
Malam telah memeluk hari. Tapi jika aku tak jua beranjak dari tempat nongkrongku bersama teman-teman di trotoar jalan kota. Menenteng gitar, bernyanyi meski suara fals, menghibur sesama teman nongkrong.
Tak peduli tatapan lalu lalang orang yang merasa terganggu atau tak nyaman dengan tingkah kami. Meski tak jarang pula, orang tersenyum dengan ulah kami.
Adzan yang terdengar dan atap-atap masjid seperti angin lalu bagiku dan teman-teman.
Terkadang rasa takut mati dan bayang-bayang neraka melintas di benakku, Tapi ketakutan itu hanya sesaat, berlalu bersama kesenangan dan tawa bersama teman-teman.
Bersama mereka, aku tak pernah takut atau berpikir tentang mati.
Bukannya aku tak pernah shalat. Aku selalu rajin melakukannya di depan orangtuaku. Di rumah, kedua orang tuaku sangat keras menerapkan agama.
Mereka sangat “rewel” bila anak-anak malas untuk segera berwudlu bila adzan tiba. Tapi saat kost begini, mana ada yang memarahiku. Awalnya memang berat dan sayang meninggalkan sholat.
Tapi begitulah, teman gaulku di kampus bukan orang yang peduli pada agama. Hingga jadilah aku kian jauh dari agama. Tadarus tak pernah, bahkan hafalan Al-Quranku yang tak seberapa ikut melayang.
Meski ku ingat, bila aku sholat, teman-teman akan meledekku,“Sejak kapan kamu insyaf?” atau sindiran-sindiran senada lainnya.
Selain nongkrong, hari-hariku penuh musik. Dimana aku berada tak pernah lepas dan musik, musik, musik, dan musik. Ada konser antis terkenal, jangan harap aku lewatkan. Yang tiket aku peroleh dari pinjaman, dibayarkan teman yang mau berbaik hati atau menjual barang-barangku pada sesama teman.
Atau aku manfaatkan pacarku yang tak cuma satu, dengan alasan ini itu hingga mereka rela merogoh kocek untukku. Soal tampang dan fisik, jangan tanya dech, artis Dude Herlino, Anjasmara atau Rafi Ahmad semua lewat. Qtakku pun terbilang encer.
Terbukti IP-ku bagus, prestasiku di kampus lumayan, aku pun jadi ketua klub bahasa Inggris di kampus. Soal cewek, aku tak peru mencari, sebab mereka yang mencariku.
Sebagai anak band, lengkap sudah kelebihanku. Sering manggung dan menjadi terkenal makin membuatku lupa diri. Di tengah lupa diriku, diantara teman teman nongkrong hanya aku satu satunya yang tak merokok atau menyentuh minuman keras Tapi itu bukan berarti aku bersih dari dua barang itu.
Aku pernah “berlatih” menjadi penikmatnya. Tapi tak pernah berhasil. Baru menghisap sekali sudah batuk-batuk, dadaku sesak dan kepala serasa berputar.
Padahal itu baru sekali isapan, belum habis sebatang. Pun saat “latihan” minum, baru mencicip sedikit sudah terasa pahit dan panas di mulut.
Aku terpaksa berkali-kali menyemburkan nya ke luar. Meludah tak henti-henti. Sebab itu teman-teman menjulukiku, banci.
Begitulah, selama hampit tujuh semester, hidupku di rantau begitu glamor dan merdeka.
Uang, aku bisa mencari sendiri dari panggung ke panggung. Atau sesekali aku menemani “penggemarku” jalan-jalan. Hanya jalan-jalan, tapi uang yang kudapat sungguh luar biasa.
Sekali jalan, paling sedikit aku dapat tips atau uang terimakasih dari wanita-wanita penggemarku antara 1-5 juta. Pernah aku diberi 10 juta tunai!
Night Club dan hotel menjadi langganan manggung bandku. Dan itu kian membuat aku dan teman-teman lain makin masuk ke lubang hitam. Rawan iming-iming pesona dunia, materi, juga wanita.
Kadang batin terdalamku berontak, ingin beranjak, tapi sekali lagi dunia melenakanku.
Seperti malam ini, kami baru saja lepas manggung jam satu dini hari. Minum-minuman keras tercium dari mulut beberapa teman.
Entahlah tiba-tiba aku begitu benci melihat mereka. Tiba-tiba aku merasa malu, berada diantara tukang mabuk yang begitu dipuja.
Apa lebihnya? Hatiku benar-benar gelidah sepanjang perjalanan pulang.
“Brakk!!!” benturan keras diiringi derit rem yang diinjak keras dan gesekan benda-benda berat memekakkan telinga.
Tahu-tahu aku telah berdiri di luar mobil.limbung, linglung, dan gemetar. Rupanya aku terpental ke luar dari mobil dengan tubuh penuh darah.
Dalam kondisi bingung kudekati mobil rombongan bandku yang terbalik.
“innalillahi wa innaillaihi rajiun” … aku teringat Allah. Kusebut asma Allah berkali-kali, diantara teriakkan panikku memanggil teman-teman yang sekarat.
Beberapa menyahut pelan. Tapi tidak dengan Bay.. kulihat sekujur tubuhnya berlumuran darah, dan ia benar-benar sekarat. Tapi yang keluar dari mulutnya sunguh mengerikan.
Mulutnya tak menyebut asma Allah, tetapi ia justru menyanyikan lagu dari sebuah band ternama. Ia juga berteriak “Ambilkan gitar, ambilkan gitar” sampai nyawa lepas dari tubuhnya. Aku bergidik dan gemetar dengan hebatnya.
Usahaku menuntunnya tak berhasil. Aku berlari menjauh dari mobil sambil menangis histeris. Tanpa kusadari justru aku berlari kearah mobil lain yang bertabrakan dengan kami. Kondisinya jauh lebih ringsek.
SUbhanallah, keadaan disana menbuatku takjub. Kaset murottal masih terdengar dari tape mobil yang menyala.
Dua laki-laki penumpangnya aku yakin dalam keadaan pingsan. Sebab saat kupanggil tak ada sahutan. Yang luar biasa sesekali kudengar rintihan menyebut asma Allah dan bacaan surat Al Qur’an.
Lain dengan Bay… aku menangis sesenggukan sambil memberi pertolongan sebisaku. Alhamdulillah akhirnya pertolongan datang dari mobil-mobikl yang kebetulan lewat.
Sebulan sejak peristiwa itu, aku tak bisa tidur. Terbayang dua peristiwa yang kontras, juga aku yang terlempar dari mobil. Allah sengaja menyelamatkanku untuk menyaksikan dua kejadian di saat bersama-sama. Dan hal itu mengguncang jiwa dan batinku.
Bisa saja akhir hidupku seperti Bay atau seperti dua lelaki itu. Batas tipis, hidup dan mati ada di depanku. Kejadian itu membuatku terbalik 1800.
Aku tinggalkan bandku dan semua kegiatan burukku. Aku menjelma menjadi menusia baru sejak lima tahun lalu. Dan itu bermula dari kejadian di tepi jalan kota dan atas hidayah Allah semata. (*)
Apakah akan berakhir khusnul khatimah atau malah suul khatimah.
Terkadang ada satu cara kita diselamatkan dan diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan, atau malah ketika kita tidak sadar justru itu menjadi azab tersendiri.
Namun urusan wafat, sering disebut jika akhir hayat seseorang akan sama dengan apa yang sering ia lakukan.
Seorang ahli ibadah meninggal dalam ibadah, ahli maksiat juga meninggal dalam kondisi maksiat.
Seperti ucapan lama, jika pendekar mati diujung pedang, dan saudagar mati ketika berniaga.
Berikut kisah seorang anak band meninggal dalam kondisi tragis di akhir hayatnya. Tapi temannya mendapat kesempatan belajar dan memperbaiki diri, selengkapnya dari Ummu Faruq, yang dikutip oleh wordpress.com dari Majalah Sakinah volume 9, no 11.
Malam telah memeluk hari. Tapi jika aku tak jua beranjak dari tempat nongkrongku bersama teman-teman di trotoar jalan kota. Menenteng gitar, bernyanyi meski suara fals, menghibur sesama teman nongkrong.
Tak peduli tatapan lalu lalang orang yang merasa terganggu atau tak nyaman dengan tingkah kami. Meski tak jarang pula, orang tersenyum dengan ulah kami.
Adzan yang terdengar dan atap-atap masjid seperti angin lalu bagiku dan teman-teman.
Terkadang rasa takut mati dan bayang-bayang neraka melintas di benakku, Tapi ketakutan itu hanya sesaat, berlalu bersama kesenangan dan tawa bersama teman-teman.
Bersama mereka, aku tak pernah takut atau berpikir tentang mati.
Bukannya aku tak pernah shalat. Aku selalu rajin melakukannya di depan orangtuaku. Di rumah, kedua orang tuaku sangat keras menerapkan agama.
Mereka sangat “rewel” bila anak-anak malas untuk segera berwudlu bila adzan tiba. Tapi saat kost begini, mana ada yang memarahiku. Awalnya memang berat dan sayang meninggalkan sholat.
Tapi begitulah, teman gaulku di kampus bukan orang yang peduli pada agama. Hingga jadilah aku kian jauh dari agama. Tadarus tak pernah, bahkan hafalan Al-Quranku yang tak seberapa ikut melayang.
Meski ku ingat, bila aku sholat, teman-teman akan meledekku,“Sejak kapan kamu insyaf?” atau sindiran-sindiran senada lainnya.
Selain nongkrong, hari-hariku penuh musik. Dimana aku berada tak pernah lepas dan musik, musik, musik, dan musik. Ada konser antis terkenal, jangan harap aku lewatkan. Yang tiket aku peroleh dari pinjaman, dibayarkan teman yang mau berbaik hati atau menjual barang-barangku pada sesama teman.
Atau aku manfaatkan pacarku yang tak cuma satu, dengan alasan ini itu hingga mereka rela merogoh kocek untukku. Soal tampang dan fisik, jangan tanya dech, artis Dude Herlino, Anjasmara atau Rafi Ahmad semua lewat. Qtakku pun terbilang encer.
Terbukti IP-ku bagus, prestasiku di kampus lumayan, aku pun jadi ketua klub bahasa Inggris di kampus. Soal cewek, aku tak peru mencari, sebab mereka yang mencariku.
Sebagai anak band, lengkap sudah kelebihanku. Sering manggung dan menjadi terkenal makin membuatku lupa diri. Di tengah lupa diriku, diantara teman teman nongkrong hanya aku satu satunya yang tak merokok atau menyentuh minuman keras Tapi itu bukan berarti aku bersih dari dua barang itu.
Aku pernah “berlatih” menjadi penikmatnya. Tapi tak pernah berhasil. Baru menghisap sekali sudah batuk-batuk, dadaku sesak dan kepala serasa berputar.
Padahal itu baru sekali isapan, belum habis sebatang. Pun saat “latihan” minum, baru mencicip sedikit sudah terasa pahit dan panas di mulut.
Aku terpaksa berkali-kali menyemburkan nya ke luar. Meludah tak henti-henti. Sebab itu teman-teman menjulukiku, banci.
Begitulah, selama hampit tujuh semester, hidupku di rantau begitu glamor dan merdeka.
Uang, aku bisa mencari sendiri dari panggung ke panggung. Atau sesekali aku menemani “penggemarku” jalan-jalan. Hanya jalan-jalan, tapi uang yang kudapat sungguh luar biasa.
Sekali jalan, paling sedikit aku dapat tips atau uang terimakasih dari wanita-wanita penggemarku antara 1-5 juta. Pernah aku diberi 10 juta tunai!
Night Club dan hotel menjadi langganan manggung bandku. Dan itu kian membuat aku dan teman-teman lain makin masuk ke lubang hitam. Rawan iming-iming pesona dunia, materi, juga wanita.
Kadang batin terdalamku berontak, ingin beranjak, tapi sekali lagi dunia melenakanku.
Seperti malam ini, kami baru saja lepas manggung jam satu dini hari. Minum-minuman keras tercium dari mulut beberapa teman.
Entahlah tiba-tiba aku begitu benci melihat mereka. Tiba-tiba aku merasa malu, berada diantara tukang mabuk yang begitu dipuja.
Apa lebihnya? Hatiku benar-benar gelidah sepanjang perjalanan pulang.
“Brakk!!!” benturan keras diiringi derit rem yang diinjak keras dan gesekan benda-benda berat memekakkan telinga.
Tahu-tahu aku telah berdiri di luar mobil.limbung, linglung, dan gemetar. Rupanya aku terpental ke luar dari mobil dengan tubuh penuh darah.
Dalam kondisi bingung kudekati mobil rombongan bandku yang terbalik.
“innalillahi wa innaillaihi rajiun” … aku teringat Allah. Kusebut asma Allah berkali-kali, diantara teriakkan panikku memanggil teman-teman yang sekarat.
Beberapa menyahut pelan. Tapi tidak dengan Bay.. kulihat sekujur tubuhnya berlumuran darah, dan ia benar-benar sekarat. Tapi yang keluar dari mulutnya sunguh mengerikan.
Mulutnya tak menyebut asma Allah, tetapi ia justru menyanyikan lagu dari sebuah band ternama. Ia juga berteriak “Ambilkan gitar, ambilkan gitar” sampai nyawa lepas dari tubuhnya. Aku bergidik dan gemetar dengan hebatnya.
Usahaku menuntunnya tak berhasil. Aku berlari menjauh dari mobil sambil menangis histeris. Tanpa kusadari justru aku berlari kearah mobil lain yang bertabrakan dengan kami. Kondisinya jauh lebih ringsek.
SUbhanallah, keadaan disana menbuatku takjub. Kaset murottal masih terdengar dari tape mobil yang menyala.
Dua laki-laki penumpangnya aku yakin dalam keadaan pingsan. Sebab saat kupanggil tak ada sahutan. Yang luar biasa sesekali kudengar rintihan menyebut asma Allah dan bacaan surat Al Qur’an.
Lain dengan Bay… aku menangis sesenggukan sambil memberi pertolongan sebisaku. Alhamdulillah akhirnya pertolongan datang dari mobil-mobikl yang kebetulan lewat.
Sebulan sejak peristiwa itu, aku tak bisa tidur. Terbayang dua peristiwa yang kontras, juga aku yang terlempar dari mobil. Allah sengaja menyelamatkanku untuk menyaksikan dua kejadian di saat bersama-sama. Dan hal itu mengguncang jiwa dan batinku.
Bisa saja akhir hidupku seperti Bay atau seperti dua lelaki itu. Batas tipis, hidup dan mati ada di depanku. Kejadian itu membuatku terbalik 1800.
Aku tinggalkan bandku dan semua kegiatan burukku. Aku menjelma menjadi menusia baru sejak lima tahun lalu. Dan itu bermula dari kejadian di tepi jalan kota dan atas hidayah Allah semata. (*)