Tanpa terasa Ramadhan telah pergi meninggalkan kita. Bulan yang penuh berkah, maghfirah dan rahmat Allah itu telah berlalu meninggalkan kita.
Bulan di saat hati-hati manusia begitu mudah untuk melakukan ketaatan. Suatu masa dimana orang-orang berlomba-lomba melakukan berbagai bentuk amal shalih.
Di antara kemurahan Allah kepada hamba-Nya adalah ketika Allah memberikan kesempatan bagi manusia untuk terbebas dari belenggu setan dan kungkungan hawa nafsu.
Allah ‘hadiahkan’ bagi hamba-Nya waktu sebulan penuh pertolongan bagi hamba-hamba-Nya yang mau memanfaatkan peluang.
Di bulan Ramadhan Allah belenggu setan si musuh bebuyutan, hingga tak berdaya membujuk dan melancarkan godaan. Lalu Allah sediakan ‘program’ unggulan berupa shaum, yang dengannya manusia bisa menundukkan hawa nafsu, bukan justru menjadi budaknya.
Saat setan dibelenggu, nafsu juga tertundukkan, maka kita terbiasa untuk tertib dengan aturan; mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan, termasuk disiplin menjaga waktu dan batas-batasannya. Ini berlangsung hingga selama satu bulan. Yakni waktu yang semestinya sangat cukup untuk membentuk sebuah kebiasaan baik, reflek terhadap keshalihan hingga menjadi sebuah karakter. Karena telah menjadi kebiasaan dan karakter, semestinya tidak mudah berubah kebiasaan itu meskipun belenggu setan telah dilepaskan, karena nafsu telah tertundukkan.
Namun realita yang sering kita dapatkan, perubahan itu begitu drastis dirasakan; aturan syariat begitu enteng ditinggalkan, larangan-larangan begitu mudah untuk dilanggar, hingga seakan ia tidak pernah memiliki kebiasaan yang baik.
Kebaikan yang telah dirintis dan dibiasakan makin jauh makin terkikis dan habis. Allah ingatkan kita, “Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali.” (QS. an-Nahl: 92)
Ini adalah perumpamaan yang pas dengan kondisi orang yang telah memperbaiki hati dan amalnya pada bulan ramadhan, lalu ia menanggalkan kebaikan itu satu persatu, hingga ia seakan tak pernah memperbaiki diri.
Sisi cela bukan pada program yang tersedia pada bulan ramadhan, tapi dari kecerobohan orang yang menjalaninya. Atau dia tidak bersyukur atas nikmat ramadhan yang Allah sediakan.
Karena seandainya dia bersyukur tentu Allah akan memudahkan baginya menjalankan ketaatan. Maka jangan sampai kita rusak sendiri kebiasaan baik yang telah kita rintis di bulan ramadhan, jadikan kebaikan sebagai karakter yang melekat hingga tak mudah berubah kepada keburukan
Ramadhan Usai Tak Berarti Ibadah Selesai
Mâ ba’da Ramadhan? Hari-hari setelah bulan Ramadhan adalah masa-masa yang paling mencemaskan bagi para salaf.
Mereka takut akan amalan yang tertolak; shiyam di siang hari menahan lapar, qiyamul lail yang panjang, tilawah yang berulang kali khatam, berlomba menginfakkan harta, serta segudang amalan ibadah lainnya yang mereka lakukan selama Ramadhan, semuanya itu telah menjadi sebuah kekhawatiran terbesar bagi diri mereka.
Mereka lebih banyak bermuhasabah dalam sebuah tanda tanya, “Apakah amal ibadahku di bulan Ramadhan kemarin diterima oleh Allah?”
Berapa banyak dari kita yang kembali bermalasan dan bergelimang maksiat usai Ramadhan berlalu. Masjid-masjid yang ketika awalnya tak sanggup menampung jamaah yang hadir hingga membanjiri halamannya, kembali senyap tak berpenghuni ketika akhir Ramadhan.
Begitu pula amalan-amalan semacam tilawatul qur’an, qiyamullail, shadaqah menjadi melemah bahkan menghilang.
Jangan Sampai Mengenal Allah Hanya di Bulan Ramadhan Saja
Sebagian ulama’ salaf pernah ditanya tentang suatu kaum yang bersungguh-sungguh beribadah pada bulan Ramadhan, tetapi jika bulan tersebut telah usai, mereka kembali bermalasan bahkan bergelimang dengan kemaksiatan. Maka ia menjawab, “Betapa jeleknya kaum itu, mereka tidak mengenal Allah kecuali pada bulan ramadhan saja.”
Padahal jika kita tengok generasi salaful ummah, betapa mereka berlinang airmata melepas ramadhan karena pesona lipat gandanya pahala di bulan tersebut. Kalau hanya sekedar jenis ibadah, barangkali itu bukan hal yang utama bagi mereka karena keseharian ibadah mereka tak jauh beda dengan ketika Ramadhan.
Mereka terbiasa mengerjakan qiyamul lail, tilawah Al Qur’an, shadaqah, dan menjauhi berbagai bentuk kemaksiatan. Sisi keutamaan pahalalah yang menjadikan mereka berurai airmata sehingga berdoa selama 6 bulan agar amalan selama Ramadhan di terima dan 6 bulan berikutnya berharap bersua kembali dengan Ramadhan.
Terlebih lagi kita, yang keseharian di luar Ramadhan jauh berbeda. Selayaknya kita lebih panjang tangis kesedihannya. Karena kita begitu mudah melaksanakan amal ketaatan di bulan Ramadhan, hal yang sulit kita dapatkan di luar Ramadhan.
Mari kita bermuhasabah/merenung sejenak, mencoba menghitung dan menimbang kuantitas dan kualitas ibadah yang telah kita kerjakan selama sebulan.
Jika amalan selama Ramadhan tak menyebabkan kita beroleh ampunan, maka sepatutnya kita khawatir di bulan lainnya kita lebih sulit mendapatkan ampunan.
Qatadah mengatakan, “Siapa saja yang tidak diampuni di bulan Ramadhan, maka sungguh di hari lain ia pun akan sulit diampuni.”
Semoga Allah selalu memberikan kekuatan kepada kita untuk menjaga keseinambungan amal pasca Ramadhan dan menjadikan kita hamba yang istiqamah. Selanjutnya, kita dipertemukan kembali dengan Ramadhan yang akan datang. Aamiin