Dalam Sidang Kabinet Paripurna yang digelar Istana pada bulan kemarin, Presiden Jokowi meminta pada seluruh jajarannya agar kurva penularan virus corona di Indonesia turun pada Mei 2020.
"Target kita di Bulan Mei ini harus betul-betul tercapai. Sesuai dengan target yang kita berikan, yaitu kurvanya sudah harus turun," kata Jokowi dalam Sidang Kabinet Paripurna secara virtual, Rabu (6/5).
Jokowi juga berharap tingkat penyebaran corona bisa masuk dalam kategori ringan hingga sedang di bulan Juni dan Juli.
"Dan masuk posisi sedang di Juni, di Juli harus masuk posisi ringan. Dengan cara apa pun. Dan itu dilakukan tidak hanya oleh Gugus Tugas, tapi melibatkan seluruh elemen bangsa. Jajaran pemerintahan, organisasi sosial kemasyarakatan, relawan, parpol, dan swasta. Ini harus diorkestrasi dengan baik," tambahnya.
Namun faktanya, target Jokowi sama sekali tidak terkabul. Bulan Mei, angka penularan corona harian justru tertinggi dibanding Maret dan April, bertambah di kisaran 600 orang per hari.
Bahkan selama bulan Mei, Indonesia mengalami dua kali rekor penambahan kasus positif hampir seribu orang dalam sehari. Yakni pada 21 Mei sebanyak 973 orang, dan pada 23 Mei sebanyak 949 orang.
Minggu, kasus positif di Indonesia bertambah 700 orang. Secara kumulatif, Indonesia kini memiliki 26.473 pasien positif, 1.613 orang meninggal, dan 7.308 pasien sembuh.
Peningkatan jumlah pasien positif ini tak melulu diiringi dengan masifnya pengujian spesimen. Sejak April, Indonesia baru mencapai 7 kali pengujian di atas 10 ribu tes, dengan angka tertinggi sebanyak 14.313 sampel. Uji sampel di atas 10 ribu baru stabil setelah 27 Mei.
Padahal, pemeriksaan sampel spesimen dengan metode PCR sudah dibantu dengan modifikasi uji swab Tuberkulosis Tes Cepat Molekuler (TCM). Sebanyak 177 laboratorium PCR dan TCM pun sudah diaktifkan.
"Target uji spesimen 10 ribu per hari yang sudah saya berikan target agar dikejar sehingga betul-betul ada sebuah kecepatan," kata Jokowi, Rabu (27/5).
Tes masif memang menjadi salah satu syarat yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) jika suatu wilayah ingin menerapkan new normal (gaya hidup kenormalan baru). Pada fase ini, masyarakat dibolehkan untuk kembali beraktivitas di tengah pandemi asalkan mengubah gaya hidup seperti memakai masker dan tetap menjaga jarak.
Selain itu, suatu wilayah juga harus memiliki bukti transmisi dapat dikendalikan, memiliki sistem kesehatan yang baik, hingga dapat meminimalisasi risiko penularan di daerah rawan. Sejumlah negara yang mengalami penurunan kurva telah menerapkan new normal, di antaranya Vietnam, Thailand, Italia hingga China.
Indonesia, yang masih memiliki tambahan kasus corona cukup tinggi, malah ikut menerapkan new normal. Menurut Jokowi, dengan fakta bahwa vaksin corona belum ditemukan, masyarakat harus beradaptasi dan hidup berdampingan dengan virus corona.
Jokowi meyakini, sosialisasi yang dilakukan secara masif bisa menurunkan kurva indeks penurunan corona (Rt).
Jokowi juga mengklaim beberapa daerah sudah menunjukkan penurunan Rt.
"Kehidupan kita sudah pasti berubah untuk mengatasi risiko wabah ini. Itu keniscayaan, itulah yang oleh banyak orang disebut sebagai new normal atau tatanan kehidupan baru. Tapi kehidupan yang berbeda itu bukan kehidupan yang penuh pesimisme atau ketakutan," ujar Jokowi.
Setidaknya ada 25 kabupaten/kota yang diwacanakan akan memulai kehidupan new normal. Yakni, Kota Pekanbaru, Dumai, Kampar, Pelalawan, Siak, Bengkali, Palembang, Prabumulih, Tangerang, Tangerang Selatan, Tegal, Surabaya, Malang, Batu, Sidoarjo, Gresik, Malang, Palangka Raya, Tarakan, Banjarmasin, Banjar Baru, Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala dan Kabupaten Buol.
Memang, jika dianalisis, 14 wilayah di Indonesia per 29 Mei memiliki indeks penularan corona di bawah 1. Di antaranya, Jawa Barat (0,90), Jawa Tengah (0,86), Papua (0,97), Kalimantan Timur (0,96), Aceh (0,17) dan Bangka Belitung (0,14).
Namun, ini belum bisa menjamin penularan corona di daerah-daerah tersebut sudah aman. Angkanya masih naik-turun.
"Kami lihat belum konsisten, terlalu dekat dengan 1," kata pendiri Bonza, Philip Thomas, seperti dilansir kumparan, Kamis (28/5).
"Rt jauh di bawah 1 itu lebih aman dan baik. Kita contoh Vietnam dan Thailand. Saat ini Rt-nya ada di 0,32. dan sudah lebih dr 14 hari di bawah 1," ungkapnya.
Atau bisa saja penurunan kasus positif di suatu wilayah terjadi karena tak diiringi peningkatan tes.
Di Aceh dan Bangka Belitung, misalnya, jumlah tes yang diperkirakan sangat kecil, jadi tingkat Rt-nya yang rendah belum sepenuhnya bisa dijadikan acuan.
"Semakin banyak jumlah kasus berarti semakin banyak tes, ini asumsinya. Soalnya data jumlah tes harian nggak ada per provinsi," tutur Philip Thomas.
Kepala Balitbangkes Aceh, dr Fahmi Ikhwansyah, sebelumnya menyatakan pihaknya sudah menguji sebanyak 376 sampel pasien yang diduga terpapar virus corona. Angka ini tergolong sangat kecil dibanding dengan jumlah penduduk Aceh sebanyak 4,7 juta.
"Dalam sehari kita bisa menguji 94 tes. Rata-rata sampel yang kita periksa setiap hari antara 3-15 sampel," ujar Fahmi kepada AcehKini.
Begitu pula jika menerapkan new normal di Jawa Timur, terutama Surabaya. Jika dilihat data Gugus Tugas, Surabaya masih menjadi episentrum penularan di Jawa Timur. Saat ini, Jawa Timur juga menjadi daerah kedua yang memiliki kasus terbanyak setelah Jakarta.
Berdasarkan data pekanan, pertumbuhan kasus baru corona di Surabaya justru konsisten meningkat. Kasus positif corona di Surabaya sendiri kini mencapai 2.608 kasus. Adapun jumlah kasus positif corona di Jawa Timur secara keseluruhan adalah 4.848 orang.
Perlunya kesadaran masyarakat
Ahli epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengatakan tidak menurunnya kurva penyebaran corona secara nasional disebabkan masih adanya masyarakat yang belum patuh akan imbauan dari pemerintah.
Oleh sebab itu ia meminta pemerintah harus lebih membuat masyarakat patuh. Menurutnya hal itu tak cukup dengan regulasi namun juga perlu adanya edukasi.
"Ya, masyarakatnya dibuat patuh dahulu jadi pembatasan sosialnya itu sekarang harus diserahkan ke masyarakat biar masyarakat yang melakukan itu dan bertanggung jawab itu. Jadi tidak cukup dengan regulasi tapi edukasinya mulai dari masyarakat untuk masyarakat," ucap Pandu saat dihubungi, Minggu (31/5).