Presiden Joko Widodo mengerahkan aparat TNI/Polri dalam rangka penertiban masyarakat selama diberlakukannya Pembatasan Sosial bersakal besar (PSBB).
Saat usai meninjau MRT dan Mall di Bekasi Selasa (26/5) lalu, Jokowi mengharapkan kehadiran TNI/Polri di ruang publik, membuat masyarakat lebih tertib dan mata ratai penyebaran Covid-19 bisa ditekan.
Merespon hal itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menilai bahwa apa yang dilakukan Presiden Jokowi berpotensi membuka luka lama di masyarakat.
Ketua PBNU Bidang Ekonomi, Umarsyah mengatakan bahwa ditugaskannya TNI/Polri dalam menertibkan masyarakat saat pandemik Virus corona baru (Covid-19) tidaklah tepat. Ia khawatir yang terjadi justru aparat berbenturan dengan masyarakat.
“Penugasan TNI/Polri itu salah kaprah, tentara diturunkan untuk menertibkan masyarakat, itu membuka luka lama. Persepsi tindakan represif aparat (TNI) sudah hampir hilang, dengan ini (penugasan TNI tertibkan masyarakat) bisa terkuak kembali,” kata Umarsyah, Kamis (4/6).
Menurut Umar, apapun alasan yang digunakan pemerintah melibatkan TNI sangatlah berisiko.
Sebabnya, TNI memiliki protap yang berbeda. Terlebih dari sisi jumlah tidak sebanding dengan jumlah rakyat Indonesia yang bermukim di kawasan yang diberlakukan PSBB.
“Alasan menurunkan TNI/Polri itu berisiko. Karena tentara tidak terlatih persuasif. Secara jumlah tidak sebanding dengan jumlah rakyat Indonesia,” kata Umar.
Umarsyah mengaku sempat optimis dengan pertemuan Jokowi dengan tokoh lintas agama beberapa hari lalu. Ternyata dalam pertemuan hanya sebatas penyampaian informasi mengenai perkembangan Covid-19.
Sedangkan para tokoh menyampaikan keresahan mengenai carut-marutnya penanganan Covid-19.
Menghadapi pandemik Covid-19, tambah Umar, langkah strategis pemerintah yang ideal adalah dengan melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama.
“Padahal pemeranan tokoh agama dan masyarakat akan sangat efektif terutama membangun kesepahaman dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah menghadapi wabah Covid-19,” pungkas Umarsyah.
Sumber: Pojoksatu.id