Ibu Siti tergolong manusia cerewet. Baik kala di rumah menghadapi putera-puterinya maupun di luar rumah dan di lingkungan masyarakat sekitar, karena ia paling peduli dengan orang miskin. Terlebih saat pandemi Covid-19, ibu beranak dua itu sering tampil di hadapan publik memberi nasihat.
Sayangnya, kepandaian, kepedulian dan keberaniannya menghadapi publik seolah sirna katika sang suami hadir. Mungkin, banyak orang menduga, sang suami tak mau kehilangan wibawa di hadapan orang banyak.
Tapi, orang sekitar lingkungan Siti berdomisili, menyebut sang suami sososk yang otoriter. Pendapatnya tak mau dibantah. Warga sekitar menyebut suami Siti, Jarot -- bukan nama sebenarnya -- otoriter, disebabkan ia punya pendidikan dari sisi akademis lebih bagus dan keras kepala.
Karenanya, Siti ketika menghadapi Jarot bagai cacing terkena taburan garam. Mengkeret. Tak bisa berkata banyak, apa lagi berbuat untuk mengingatkan sang suami kala melakukan kesalahan, seperti lupa membawa kaca mata.
"Apa lagi ketika diingatkan untuk ibadah, seperti shalat. Wah, bisa marah meski ia rajin datang ke masjid melaksanakan shalat Maghrib dan Subuh," kata Siti suatu saat mengeluhkan tentang dirinya seperti selalu "tertekan" ketika berada di rumah.
Padahal, Siti dan Jarot sudah lebih dari 10 tahun menjalani kehidupan rumah tangga. Namun, seperti diungkap Siti, semua itu dijalani seperti di atas bara api. Wah, seperti neraka kali ya?
Sejatinya, Siti dan Jarot harus dapat hidup berbahagia. Sebab, dari sisi kekayaan dan pendidikan sangat memadai. Siti memang hanya punya pendidikan sampai strata satu, berbeda dengan suaminya yang bergelar doktor, Tapi, dari sisi penampilan di publik, Siti lebih baik. Retorikanya ketika tampil di hadapan para ibu pengajian lebih bagus. Runtun tutur katanya.
Berbeda dengan Jarot. Kalau mau tampil di hadapan pengurus RT atau RW, ia terlihat repot. Membuat persiapan seperti membuka literatur terkait manajemen dan seterusnya. Ya, seperti orang sibuk tengah mempersiapkan sebuah skripsi. Padahal organisasi RT atau RW tidak memerlukan teori bermuluk-muluk. Tapi, itulah Jarot yang keras kepala dan otoriter.
**
Benar, suami itu di dalam sebuah kehidupan rumah tangga adalah sebagai imam. Pemimpin. Karenanya ia punya kewajiban memeberi pendidikan kepada isteri dan anak-anakanya. Suami harus menjadi contoh dan teladan bagi anak, termasuk masyarakat sekitar.
Realitasnya, tak sedikit suami kurang ajar. selingkuh. berkhianat. Kikir bin pelit. Lebih celaka, sok pinter, otoriter dan keras kepala. Rakus bagai kapal keruk. Padahal, kepandaian, termasuk kekayaan yang dimiliki adalah titipan semata. Semua itu milik Allah.
Coba perhatikan, ketika Jarot tengah sakit, ia tak bisa mengatasi sakitnya itu dengan diri sendiri. Ia membutuhkan pertolongan orang lain. Itu pun kalau orang lain (dokter, anak dan isteri, misalnya) bersedia.
Maka, Wahai kaum suami yang egois, hendaknya harus ingat bahwa sukses dirimu tak bisa hanya lantaran kemampuannya seorang diri. Isteri adalah bukan "dakocan". Isteri adalah bagai pakaian yang menghiasi dirimu.
Lihat Surat Al Baqarah ayat 187, yang menyebut isteri kedudukannya bagai pakaian bagi suami dan sebaliknya.
Bahkan dalam Surat Al An'am ayat 101, Allah menyebut seorang istri dengan kata 'Shohibah". yang artinya adalah teman sehidup sesurga. Baca: Arti Shohibah
Jadi, sungguh wajar jika isteri mengingatkan suami. Sekalipun suami punya kedudukan sebagai ulama, rakyat akar rumput, sebagai politisi ulung yang pandai memainkan kata dan banyak pengikut, isteri wajib memberi nasihat jika sang suami "kebablasan" melakukan kekeliruan atau kesalahan.
Banyak orang sukses lantaran isterinya ikut memberi dukungan. Namun tak sedikit pula suami terjerumus (masuk neraka bersama isteri) lantaran peran isteri yang buruk seperti yang digambarkan Abu Lahab.
Lantas, kita ingat Surah Al-Lahab. Surat ini diambil dari kata Al Lahab yang terdapat pada ayat ketiga surat ini yang artinya gejolak api. Esensi surat ini berisi tentang nasib salah seorang paman Rasulullah yakni Abu Lahab beserta istrinya yang diancam dengan siksa neraka.
Karena itu, tanpa bermaksud memprovokasi, hai para isteri, jangan takut menghadapi suami. Suami adalah manusia biasa seperti kita juga. Maka, jadilah isteri yang kuat.
Salam berbagi.