Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar menyebut pilihan seseorang untuk mengenakan cadar ataupun celana cingkrang adalah hak asasi masing-masing individu.
Tak tepat mengidentikkan pemakai cadar dan celana cingkrang dengan gerakan terorisme.
"Saya pun tak setuju kalau kita menghujat orang yang bercadar seolah langsung mengidentikkan itu adalah teroris, itu hak asasi kok. Mau pakai cadar, pakai celana cingkrang, bagian hak asasi orang," kata Nasaruddin dalam diskusi di Kantor BNPT, Jakarta, Rabu (10/6).
Nasaruddin bilang pemakai cadar dan celana cingkrang hanya bisa disebut bersalah ketika mengklaim pihaknya yang paling Islam.
Menurutnya pernyataan itu tidak tepat karena pakaian seseorang tak menjadi ukuran keislaman seseorang.
Memakai cadar, lanjut dia, bukan kewajiban di dalam Islam. Nasaruddin mengingatkan cadar hanya budaya lokal di Arab Saudi, bukan ajaran agama Islam.
"Jadi jangan ada orang mengatakan kalau tidak pakai cadar tidak islami. Seolah yang paling islami pakai cadar. Padahal kan kebudayaan setempat sana," tuturnya.
Polemik soal cadar sempat muncul ke publik pada akhir tahun lalu setelah dibahas Menteri Agama Fachrul Razi. Saat itu ia akan melarang orang yang mengenakan cadar dan celana cingkrang untuk masuk instansi pemerintah.
Fachrul beralasan aturan itu diterapkan sebagai upaya menjaga keamanan. Dia merujuk pada kasus penusukan mantan Menko Polhukam Wiranto yang dilakukan orang bercadar.
Namun wacana itu tak jadi diwujudkan karena menuai banyak kritik. Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto meminta Fachrul tak mengaitkan cara berpakaian dengan gerakan radikalisme karena berpotensi membentuk stigma di masyarakat.
"Kalau kita lihat bom Thamrin itu pakai blue jeans, Pak. Di New Zealand yang menembaki masjid itu pakaian milenial," kata Yandri dalam Rapat Kerja Menteri Agama RI dengan Komisi VIII DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (7/11).
Nasaruddin dalam diskusi di Kantor BNPT juga menyinggung soal radikalisme, yang menurutnya bisa dipicu oleh persoalan ekonomi. Menurutnya orang yang kesulitan mendapat kerja atau mengalami persoalan ekonomi rentan dibujuk untuk mengikuti gerakan radikalisme.
"Secanggih apapun BNPT, kalau jarak si kaya dan si miskin menganga, tidak akan mungkin bisa mencegah berkembangnya radikalisme. Radikalisme itu kan juga masalah urusan perut, ya, kan," ucapnya.
Menurut Nasaruddin, radikalisme tidak bisa hanya dipandang sebagai permasalahan ideologi. Banyak latar belakang yang mempengaruhi seseorang ikut dalam gerakan radikal.
Dia berpendapat pendekatan dengan melibatkan ulama untuk memerangi narasi kelompok radikal penting.
Meski demikian Nasaruddin meminta BNPT juga merumuskan pendekatan lain dalam menangkal radikalisme dan terorisme.
"Kita ingin menyelesaikan persoalan terorisme dan radikalisme di Indonesia, maka kita tidak bisa dengan hanya cara-cara monoton," tuturnya.
Kepala BNPT Boy Rafli Amar dalam kesempatan yang sama sepakat dengan pandangan Nasaruddin.
Dia bilang BNPT sudah menyiapkan pelatihan bagi mantan napi teroris (napiter) agar tak kembali ke gerakan radikal dengan alasan ekonomi.
Salah satunya adalah melatih napiter dengan keahlian bercocok tanam. Lewat pelatihan itu mereka diarahkan menjadi petani di lahan-lahan di Sulawesi Tengah, NTB, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
"Kita upayakan semacam sarana-sarana yang bisa membuat para mantan napi terorisme yang telah mengikuti program deradikalisasi bisa berlanjut dengan kegiatan-kegiatan bercocok tanam," ucap Boy.