Demi mencegah ancaman krisis pangan yang terjadi akibat COVID-19 atau pandemi virus corona, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memerintahkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk membuka lahan persawahan baru.
Hal itu dijelaskan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto.
Airlangga mengatakan saat ini lahan basah dan gambut di Kalimantan Tengah lebih dari 900 ribu hektare (ha).
"Sudah siap 300 ribu hektare. Juga yang dikuasai BUMN ada sekitar 200 ribu hektare," kata Airlangga dalam video conference, Selasa (28/4/2020).
Presiden Jokowi mengingatkan soal risiko krisis pangan yang terjadi sebagai dampak dari pandemi corona. Hal ini merespons Organisasi Pangan Dunia (FAO) yang sudah mengingatkan potensi krisis pangan di tengah corona.
"FAO telah mengeluarkan peringatan adanya potensi kelangkaan pangan dunia sebagai dampak panjang dari pandemi Covid-19. Di dalam negeri, sejumlah langkah sudah kita ambil dan persiapkan sejak dini untuk memastikan ketahanan pangan di daerah-daerah selama pandemi," kata Jokowi dalam aku media sosialnya, Senin (13/4).
Jokowi juga mengatakan selain memastikan ketersediaan bahan-bahan pokok, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menjaga daya beli masyarakat dan memberikan bantuan bahan pokok yang amat dibutuhkan di tengah kebijakan tanggap darurat Covid-19 ini.
Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diminta untuk 'keroyokan' membuka lahan baru untuk persawahan sebagai bentuk antisipasi apabila terjadi kekeringan yang melanda dan ancaman kelangkaan pangan.
Airlangga mengemukakan bahwa instruksi tersebut datang langsung dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Salah satu lahan yang perlu dibuka, yakni lahan basah atau lahan gambut.
"Presiden meminta BUMN dan daerah, serta Kementerian Pertanian untuk membuka lahan baru untuk persawahan yaitu lahan basah dan lahan gambut," kata Airlangga dalam konferensi pers, Selasa (28/4/2020).
Cetak Sawah Usai Gusur Lahan Rakyat
Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menilai keinginan Presiden Jokowi untuk mencetak sawah di lahan gambut itu membuktikan pemerintah tengah keteteran menghadapi krisis yang ditimbulkan akibat COVID-19. Yakni ketakutan akan kekurangan stok pangan.
Namun, Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial WALHI Wahyu Pradana mengkritisi wacana Presiden Jokowi untuk mencetak sawah itu. Lantaran sebelumnya, Jokowi bersama jajarannya telah menggusur lahan rakyat demi membangun infrastruktur.
Misalnya saja pembangunan Bandara New Yogyakarta Internasional Airport (NYIA) yang dilakukan oleh PT Angkasa Pura I yang telah menggusur sejumlah lahan warga secara paksa lewat ekskavator dan pengerahan ratusan pasukan gabungan polisi, TNI, dan Satpol PP. Bahkan rumah ibadah sampai rata dengan tanah.
Padahal, lahan tersebut digunakan oleh warga untuk bertani, demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan sisanya baru dijual.
"Kami masih ingat betul bagaimana argumentasi sedulur Kulon Progo menghadapi penggusuran. Mereka berhitung dan membandingkan bahwa ekonomi cukup baik dengan pertanian," kata dia seperti dilansir dari Tirto, Jumat (1/5/2020).
Tak hanya itu, sejumlah kasus penggusuran lainnya atas nama pembangunan kerap terjadi. Seperti pembangunan proyek jalan tol Jakarta-Cikampek II sisi selatan. Proyek tersebut menggusur bangunan warga di tiga kelurahan di Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi.
Kemudian pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung juga menggusur sejumlah lahan warga yang dilakukan oleh PT Kereta Commuter Indonesia China (KCIC).
Wahyu menjelaskan, dampak penggusuran lahan warga, terutama yang sebelumnya digunakan untuk bertani, akan mengikis persediaan pangan yang dihasilkan dari wilayah tersebut.
Sebelum pemerintah menggusur dan menggunakan lahan untuk pembangunan infrastruktur, kata dia, seharusnya mempertimbangkan kebutuhan jangka panjang. Seperti akan terjadi krisis pangan apabila lahan untuk bertani terus-terusan digusur untuk membangun infrastruktur.
Selain itu, pemerintah juga harus memikirkan hak asasi manusia. Sebab penggusuran bukan hanya merugikan korban, tetapi bangsa Indonesia pun ikut terdampak.
"Saat ini kita dihadapkan pada fakta, kebutuhan mendasar tidak bisa digantikan," ucapnya.
Kemudian Wahyu pun meminta agar pemerintah tidak lagi mengulang kesalahan masa lalu dan berhenti menggunakan pandemi sebagai alasan untuk mengeksploitasi.
Pemerintah, kata dia, seharusnya berhenti menambah kerugian negara dengan mencetak sawah di lahan gambut. Pasalnya, langkah serupa sudah pernah dilakukan pemerintah sebelumnya, proyek “lahan gambut sejuta hektar” pada masa orde baru (Orba), dimulai tahun 1995 dan diputuskan berakhir 2001.
Hal tersebut dilatarbelakangi ketidakpahaman akan ekosistem gambut, sehingga akibatnya pada masa akhir proyek tersebut setidaknya sudah menyedot APBN Rp1,6 triliun, dan tidak punya dampak signifikan pada ketersediaan pangan.
Ketidakpedulian dan ketidakpahaman akan ekosistem rawa gambut, menyebabkan bencana ekologis yang makin meningkat. Rusaknya ekosistem gambut juga jadi biang karhutla. Dalam catatan olah data Walhi sepanjang 2019, sebanyak 36.952 hotspot terekam berada pada Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG).
Dia mengatakan, ekosistem gambut memiliki fungsi hidrologis esensial. Akibatnya jika ekosistem ini kekeringan punya potensi kebakaran dan banjir pada musim penghujan.
Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kata dia, 98 persen bencana hidrometeorologi terjadi pada Januari sampai Oktober 2019.
"Belum lagi karbon yang terlepas dari ekosistem gambut yang rusak memperbesar resiko bencana ekologis," tuturnya.
Selanjutnya, dia meminta terkait pangan, agar pengerjaannya dikembalikan kepada petani dengan memberikan hak atas tanah. Seperti mengerjakan secara serius program perhutanan sosial dan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA).
Menurut Wahyu, selama ini, kegiatan yang digadang-gadang menjadi program unggulan Presiden Jokowi tersebut tidak berbanding lurus dengan capaian di lapangan. Begitu juga program cetak sawah dengan TNI yang dikerjakan Kementan.
"Pada saat yang sama petani kesulitan lahan, dan tidak jarang berhadapan dengan konflik agraria," pungkasnya.