Pemerintah berencana menerapkan kebijakan new normal atau pola hidup baru di tengah mewabahnya virus Corona.
Penerapan new normal dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat agar seluruh rakyat Indonesia terhindar dari penularan Covid-19.
Kendati demikian, kebijakan tersebut menuai pro dan kontra karena realitanya angka kasus baru di Indonesia masih cukup tinggi.
Data terakhir pada Rabu 27 Mei 2020 menunjukkan angka kasus baru corona mencapai 686 kasus baru dari total 23.851 kasus positif Covid-19 sampai saat ini.
Ketua Umum Gerakan Pemuda (GP) Ansor sekaligus komandan banser, Yaqut Cholil Qoumas menilai, dari sisi istilah saja new normal itu bias kata dan bias intelektual.
"Orang di kampung saya di Rembang sana itu enggak akan tahu 'new normal' itu apa. Sejenis ketan atau gaplek. Dari sisi istilah sataja sudah bias. Orang tidak akan tahu apa itu new normal," ujar pria yang biasa disapa Gus Yaqut ini seperti dilansir dari SINDOnews, Rabu 27 Mei 2020 malam.
Kedua, Gus Yaqut mengaku heran ketika tiba-tiba pemerintah berbicara new normal. "Memang kita sudah pernah normal sebelumnya? Kita ini belum pernah normal. Saya harus katakan dengan sedih hati, apa yang diamanatkan founding father, apa yang diamanatkan konstitusi kita itu belum sepenuhnya kita jalankan, belum sepenuhnya pemegang otoritas negeri ini jalankan," tuturnya.
Menurut dia, masih banyak orang miskin yang telantar, yatim piatu yang tidak terurus. Kesenjangan sosial juga semakin lebar. "Tiba-tiba kita dihadapkan dengan new normal," urainya.
Wakil Ketua Komisi II DPR ini menilai new normal itu bisa dilakukan jika tren penambahan kasus baru itu semakin kecil.
"Artinya ada kendali dari pihak otoritatif yang menyatakan bahwa penambahan kasus baru itu semakin kecil. Kedua, pasien yang sembuh juga semakin banyak. Ketiga penyebaran Covid-19 ini bisa dikendalikan dengan testing, tracing dan isolasi, ini harus ada jaminan," tuturnya.
Jika tiga hal ini tidak bisa diberikan, kata Gus Yaqut, kebijakan new normal ini tidak akan berdampak apa-apa. Sebaliknya justru akan memperburuk situasi.
"Belum saatnya kita bicara new normal. Saya kira pemerintah harus konsentrasi pada hal yang terkait dengan kesehatan rakyatnya dulu, baru kita bicara new normal," urainya.
Menurut Gus Yaqut, jika new normal diterapkan dalam kondisi sekarang maka konsekuensinya akan sangat jelas, yakni bertambahnya korban baru karena orang akan merasa sudah bebas kembali beraktivitas, bisa bebas keluar rumah kembali.
"Kemudian pasar dibuka, mal dibuka, lalu sekolah mulai memasukkan anak didiknya kembali," paparnya.
Gus Yaqut menyebutkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengenai jumlah anak usia 0-14 tahun yang terjangkit Covid-19 mencapai 831 anak per 22 Mei 2020.
Dari jumlah itu, mereka yang meninggal dunia dengan status pasien dalam pengawasan (PDP) sebanyak 129 orang, dan mereka yang meninggal dengan status positif Covid-19 sebanyak 14 anak.
"Ini tentu angka yang sangat mengkhawatirkan. Kalau sekolah dibuka sementara otoritas kesehatan kita belum kokoh, apakah tidak akan semakin membahayakan? Semakin banyak anak-anak yang terkena Covid-19. Kita belum bicara soal mal, tempat ibadah dan seterusnya. Ini kan sangat berbahaya jika pemerintah tidak siap," tuturnya.