Berita tentang perbudakan anak buah kapal (ABK) asal Indonesia di kapal Long Xing 629 mengusik rasa kemanusiaan. Selain jam kerja yang edan-edanan, para ABK juga mendapat perlakuan diskriminatif dalam urusan makanan.
Hal ini disampaikan oleh kuasa hukum 14 ABK WNI (warga negara Indonesia) yang selamat, yakni Dalimunthe & Tampubolon (DNT) Lawyers, lewat keterangan tertulisnya, Minggu (10/5/2020).
"ABK sering diberi makanan berupa umpan ikan yang berbau sehingga mereka mengalami gatal dan keracunan makanan," kata DNT Lawyers.
Itu hanya salah satu dari 11 bentuk eksploitasi yang dialami para ABK WNI itu. Semua ABK mengalami eksploitasi dan diduga menjadi korban perdagangan orang. Masih soal makanan, para ABK diberi sajian tidak segar termasuk daging ayam yang sudah berusia setahun lebih di lemari pendingin (freezer). Padahal, ABK dari China diberi makanan yang lebih layak.
"ABK Indonesia diberi makanan berupa sayur-sayur dan daging ayam yang sudah berada di freezer sejak 13 bulan, sedangkan ABK Tiongkok selalu memakan dari bahan yang masih segar yang di suplai dari kapal lain dalam satu grup," kata DNT Lawyers.
Koki China membuat dua pembagian masakan, yaitu makanan khusus ABK China yang seluruhnya menggunakan bahan makanan yang lebih segar dan menggunakan air minum botol, dan bagian kedua adalah makanan khusus ABK Indonesia dengan makanan lama yang tidak segar dan berbau. Mereka juga tidak boleh komplain bila makanan tidak sesuai dengan agama mereka. Makanan buruk, minuman juga buruk.
"ABK Indonesia hanya diberikan air sulingan dari air laut yang masih sangat asin, sedangkan ABK Tiongkok meminum air mineral dalam kemasan botol. Beberapa penelitian menunjukkan kebanyakan minum asin dapat menyebabkan hipertensi dan jantung," kata DNT Lawyers.
Minuman yang tidak layak ini diduga menjadi penyebab kesehatan ABK WNI memburuk. Ini disampaikan oleh MBC News dalam beritanya yang kemudian viral di Indonesia, berjudul 'Bekerja 18 Jam Sehari... Dibuang ke Laut Jika Meninggal'
Makanan dan minuman yang tidak bergizi itu menjadi asupan tenaga mereka untuk bekerja 18 jam setiap hari. Jika kebetulan pada saat itu tangkapan ikan sedang berlimpah, para ABK harus kerja terusmenerus selama 48 jam tanpa istirahat. Selama 13 bulan, mereka tidak pernah sandar karena diduga menghindari pengendusan aparat lantaran mereka melakukan penangkapan ikan ilegal.
Selain itu, ABK WNI mengalami kekerasan fisik dari wakil kapten kapal serta ABK China. Kerja keras, makanan tidak layak, dikerasi secara fisik, gajinya kecil pula. Bukan hanya gaji kecil, tapi gaji juga tidak dibayarkan penuh selama tiga bulan.
"Pembayaran gaji tidak sesuai kontrak. ABK tidak mendapatkan haknya sesuai perjanjian. Ada ABK yang hanya mendapatkan USD 120 atau Rp 1,7 juta setelah bekerja selama 13 bulan. Padahal seharusnya ABK berhak mendapatkan minimum 300 USD setiap bulan," kata DNT Lawyers.
Jam kerja ditentukan oleh kapten, begitulah kontrak kerja yang membuat mereka rentan. "Kontrak kerja memuat informasi yang tidak benar, seperti misalnya dalam kontrak disebut kapal berbendera Korea Selatan, nyatanya kapal berbendera Tiongkok," kata DNT Lawyers.
Dugaan eksploitasi ini merupakan hasil pengumpulan keterangan yang dilakukan tim advokat Korea Selatan, yakni Advokat untuk Kepentingan Publik (APIL). APIL mewawancarai 14 ABK WNI yang telah mendarat di Busan Korea Selatan pada 24 April. APIL kemudian berkoorinasi dengan DNT Lawyers dan juga Yayasan Keadilan Lingkungan (EJF) yang berbasis di Oxford, Inggris.(dtk)