Tak sedikit masyarakat yang punya kisah memilukan untuk sekedar bertahan hidup di tengah wabah Corona.
Satu kisah datang dari seorang nenek bernama Ny Triyata (47), warga Jl Letjen Sutoyo RT 03/RW 33 Lingkungan Kebon Indah, Kelurahan Kebonsari, Kecamatan Sumbersari, Jember.
Saat pandemi Corona mulai menghantam, Triyata menjadi satu contoh kecil warga Jember yang tak tersentuh bantuan pemerintah.
Padahal, perempuan ini termasuk warga miskin.
Dia tidak termasuk sebagai penerima Bantuan Pangan Nont Tunai (BPNT), Program Keluarga Harapan (PKH), juga bantuan sosial kesehatan melalui Kartu Indonesia Sehat (KIS).
Triyata hidup bersama tiga orang anaknya di sebuah rumah kontrakan sederhana.
Atap plafon rumahnya sudah terlihat jebol.
Perempuan itu tidak lagi bisa bekerja karena terserang stroke setahun terakhir.
Sebelumnya, dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Tiga anaknya tidak bisa banyak membantu.
Anak pertamanya difabel.
Satu matanya buta setelah mengalami kecelakaan saat bekerja setahun lalu.
Kini hanya satu matanya yang bisa melihat.
Sedangkan anak keduanya, bekerja sebagai tukang tambal ban.
"Itu pun ikut orang, dan hanya bekerja jika dipanggil," kata Triyata.
Sementara anak bungsunya, perempuan masih duduk di bangku kelas 2 SMP.
Suaminya bekerja di Pulau Kalimantan dan hanya mengirimkan uang Rp 500.000/bulan.
Uang itu hanya dipakai untuk biaya sekolah anak bungsunya.
"Kalau untuk makan dan lain-lain, saya cari sendiri. Waktu saya masih jadi pembantu, saya punya penghasilan. Ketika stroke, saya masih sempat kerja. Tapi berapa bulan ini sudah tidak bekerja," sambung Triyata.
Triyata masih bisa berjalan meski pelan, dengan cara berbicara yang tersendat karena serangan stroke.
Di sisi lain, dia harus melunasi utangnya kepada sejumlah 'bank tithil' atau koperasi simpan pinjam yang menerapkan pembayaran setiap minggu.
Dia terpaksa pinjam utang di 'bank tithil' untuk kebutuhan hidup.
Mulai biaya kontrol mata sang anak, juga melunasi cicilan kredit milik anaknya di sebuah bank.
Beberapa bulan terakhir hidupnya semakin susah.
Dia tidak bisa lagi membayar iuran BPJS Kesehatan Mandiri.
"Tidak punya uang. Untuk makan saja susah. Tidak pernah dapat bantuan. KIS tidak ada. Dulu pernah didata di kelurahan, tetapi tidak dapat apa-apa sampai sekarang," lanjutnya.
Sebelumnya, Triyata memilih menjadi peserta BPJS Kesehatan secara mandiri.
Ibu tiga anak ini menuturkan, tiga tahun silam pernah mendapat jatah beras miskin.
Dia mengaku mendapatkan tiga kali, masing-masing 2,5 kg.
Setelah itu, dia tidak pernah mendapatkan bantuan sosial apapun dari pemerintah.
Dia pun harus bertahan hidup dua pekan terakhir, dengan mulai menjual barang miliknya.
Mulai menjual mangkok dan gelas beberapa hari lalu kepada tetangganya.
Barang itu laku Rp 30.000 kemudian dibelikan beras.
Perabotan juga turut dijual meski nilainya tidak seberapa.
Dia hanya berpikiran untuk bisa mendapatkan uang halal dan bisa makan.
Bahkan beberapa hari terakhir, untuk sarapan, dia memasak biji kluwih yang oleh warga setempat disebutnya kolor.
Biji kluwih itu digodok untuk pengganti sarapan. Baru siang hari, keluarga ini makan nasi.
Terkadang mereka dikasih makan plus lauknya oleh tetangga.
"Dua hari sarapan isi kolor. Alhamdulillah, ini dikasih beras. Tadi juga ada orang tua yang tidak saya kenal, ngasih saya uang Rp 20.000. Bisa beli isi ulang gas," ujarnya sambil menitikkan air mata.
Triyata hanya berharap, dirinya bisa terlepas dari jerat utang 'bank tihtil'.
Dirinya masih memiliki tanggungan sebesar Rp 7,8 juta.
Dia berjanji, jika bisa terlepas dari jeratan 'bank tihtil', tak akan ngutang lagi.
Selain itu, dia juga ingin mendapatkan bantuan peralatan tambal ban untuk anak keduanya.
Jika anaknya bisa membuka usaha sendiri tambal ban, dia yakin akan ada pemasukan untuk keluarganya, meski hanya Rp 20.000/hari.
Penghasilan itu diharapkannya bisa menyambung hidup.
"Itu impian saya. Saya sampai pernah berpikir untuk bunuh diri. Tapi sama tetangga, saya dimarahi. Dosa. Saya berharap ada bantuan, terutama kompresor dan alat tambal ban untuk anak saya," pungkasnya.
Triyata tidak mau berharap banyak dari tetangganya, karena beberapa orang tetangganya juga tidak mampu.
Rumah yang ditempati Triyata adalah rumah kontrakan sederhana, dan mulai rusak di beberapa bagian.
Rumah kontrakan itu, dikontrak keluarga itu sampai tiga tahun mendatang. (Surya.co.id/Sri Wahyunik)