Program kartu pra kerja yang dicanangkan Presiden Jokowi menuai kritikan dari berbagai pihak karena dianggap tak adaptif dengan kondisi terkini.
Program ini memang sudah disiapkan jauh sebelum ada pandemi corona atau COVID-19.
Pemerintah harusnya melakukan modifikasi manfaat dari program ini, sehingga targetnya harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang sedang terhimpit corona, terutama yang terkena PHK dan dirumahkan.
Saat ini, kebutuhan pokok seperti pangan lebih penting dari sekadar pelatihan yang bisa dilaksanakan pada lain waktu.
Ketua Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sutrisno Iwantono kembali menegaskan apresiasinya soal stimulus yang Rp 405,1 triliun itu.
Namun, ia mengingatkan pelaksanaannya jangan terlambat dan jangan salah sasaran, jangan salah eksekusi. Alasannya, bila terlambat akan kehilangan daya redam terhadap keterpurukan ekonomi karena corona.
"Contohnya yang nggak tepat itu adalah subsidi kartu pra kerja kok diberikan dalam bentuk training (pelatihan). Karyawan yang kehilangan pekerjaan dan rakyat kita perlu makan saat ini, bukan pelatihan," kata Iwantono kepada CNBC Indonesia, Senin (13/4).
Ia beralasan selama ini kegiatan-kegiatan pelatihan-pelatihan oleh instansi pemerintah cenderung tak efektif dan memboroskan anggaran.
"Angkanya besar itu, 1 orang (peserta pra kerja) Rp 1.000.000,- kalau ada 5,6 juta orang sudah Rp 5,6 triliun, malah kalau nggak salah ada anggaran sebesar Rp 20 triliun. Uang itu akan lebih bermanfaat kalau diberikan langsung kepada penerimanya, supaya dapat digunakan untuk membantu mereka bertahan hidup," katanya.
Ia juga mengkritik bahwa alokasi anggaran pelatihan itu malah diberikan kepada lembaga training online sebagai bagian dari sasaran program kartu pra kerja. Pemerintah memang menggandeng Project Management Office (PMO) sebagai pelaksana program.
"Enak banget yang terima uang itu, siapa kira-kira?. Jangan begitulah, rakyat ini sedang susah, berikanlah uang itu pada yang memang berhak menerimanya," katanya.
Buka bukaan Kartu Pra Kerja
Jadi rinciannya, insentif purna pelatihan sebesar Rp600.000 selama empat bulan dengan total Rp2,4 juta atau 68 persen.
Lalu insentif survei sebesar Rp50 ribu dikali tiga kali survei dengan total Rp150 ribu atau empat persen.
Nah yang 28% sisanya diberikan bukan pada yang membutuhkan, tapi justru masuk kantong-kantong Startup penyedia pelatihan online.
Pemerintah membayarkan biaya pelatihan kepada provider atau penyedia jasa pelatihan online sebesar Rp1 juta rupiah.
Jika terdapat 5,6 juta orang sasaran maka penyedia startup penyedia pelatihan online itu berpotensi meraup 5,6 trilyun rupiah.. Adilkah? di masa sulit ini, 5,6 trilyun uang rakyat justru masuk ke kantong startup? apalagi ada startup yang dimiliki oleh seorang stafsus? itu berpotensi nepotisme (Gus Yakut, Gatra.com, 15 April 2020)
Perlu diketahui, Sertifikat online banyak bertebaran dan disediakan berbagai lembaga kredibel dengan harga yang jauh lebih murah bahkan gratis untuk tiap kursusnya.
Hingga 14 April 2020, sudah ada 3,8 juta calon peserta yang mendaftar di situs prakerja.go.id. Di mana 2,3 juta melakukan verifikasi email dan 1,6 juta melakukan verifikasi NIK. Dari total tersebut 926.790 peserta dinyatakan bergabung dengan program ini.
Setiap peserta akan mendapatkan dana sebesar Rp 3,55 juta selama 4 bulan. Dana ini untuk bayar pelatihan dan membeli sembako. Program Prakerja menyasar 5,6 juta orang dengan anggaran Rp 20 triliun.