Awal tahun 2020 hingga saat ini seluruh warga dunia sedang dilanda ketakutan yang luar biasa dengan merebaknya virus Corona (Covid-19) yang pertama kalinya muncul di Wuhan, China pada akhir 2019.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) per 11 Maret lalu telah menyatakan Covid-19 sebagai pandemi yang membahayakan keselamatan jiwa.
Virus ini menimbulkan rasa takut di seluruh dunia tanpa memandang ras, suku, agama, dan kebangsaan.
Di negara-negara Islam seperti Palestina, Kuwait, Malaysia, Turki, Tajikistan, Iran, dan Indonesia, rasa takut akan terjadi penyebaran virus Corona melalui jamaah shalat di masjid dapat dilihat dari dikeluarkannya fatwa yang meniadakan shalat Jumat.
Sebagai gantinya umat Islam di negara-negara tersebut diperintahkan untuk melakukan shalat Dhuhur di rumah masing-masing. Di Indonesia, Masjid Raya Bandung meniadakan shalat Jumat dan jamaah shalat wajib mulai tanggal 16 Maret.
Fatwa tersebut ternyata ditanggapi secara kontradiktif dan skepstis oleh beberapa pihak di kalangan umat Islam termasuk warganet di Indonesia.
Mereka berpendapat, tidak ada alasan untuk meniadakan shalat Jumat karena shalat wajib dua rakaat berjamaah di siang hari ini adalah perintah Allah.
Mereka menilai ditiadakannya shalat Jumat dan jamaah shalat wajib menunjukkan bahwa virus Corona telah lebih ditakuti daripada tuhannya.
Pertanyaannya, apakah betul meniadakan shalat Jumat dan jamaah shalat wajib disebabkan takut menjadi media penularan virus Corona itu berarti telah menempatkan virus tersebut sebagai makhluk yang lebih takuti daripada Khaliqnya?
Jika jawabannya “ya”, maka bisa dikatakan para ulama di masing-masing negara itu telah gegabah sekali karena telah meniadakan shalat Jumat gara-gara takut kepada virus Corona.
Bukankah shalat Jumat adalah perintah Allah? Tetapi apakah mungkin para ulama itu bertindak gegabah dan bertentangan dengan perintah dan larangan Allah?
Terasa tidak masuk akal jika mereka seperti itu. Mereka adalah para ulama yang tentunya telah dipercaya dan dikenal masyarakat karena kompetensi, kapabilitas dan kredibilitasnya.
Jika memang demikian, maka permasalahannya tidak pada para ulama tetapi pada mereka yang kontra fatwa. Mereka gagal paham bahwa fatwa para ulama itu dikeluarkan justru karena rasa takut mereka kepada Allah.
Sebagai ulama mereka tidak bisa lepas dari tanggung jawab keumatan. Mereka sadar betul akan bersarnya tanggung jawab di hadapan Allah terkait keselamatan jiwa umat yang dipimpinnya.
Perintah Rasulullah Terkait Penyakit Menular yang Berbahaya Di antara penyakit menular yang berbahaya adalah hansen (dulu disebut kusta atau lepra).
Di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam penyakit ini sudah dikenal. Penderita penyakit ini dapat dikenali dari lesi (area jaringan yang telah rusak karena cedera atau sakit) pada kulitnya sehingga bisa dilihat dari luar.
Untuk mencegah dari terluar penyakit ini Rasulullah memerintahkan untuk menjauh dari si penderita. Atau dengan kata lain agar dilakukan isolasi terhadap penderita agar tidak menular kepada mereka yang sehat.
Perintah tersebut dapat kita lihat pada tiga penggalan hadits berikut ini:
وفر من المجذوم المصاب بالجذام كما تفر من الأسد
Artinya,“Larilah dari orang yang terkena lepra sebagaimana engkau lari dari singa” (HR al-Bukhari).
لا تديموا النظر إلى المجذومين
Artinya, “Janganlah kalian terus-menerus melihat orang yang mengidap penyakit lepra” (HR al-Bukhari).
لا توردوا الممرض على المصح
Artinya: "Janganlah kalian mencampurkan antara yang sakit dengan yang sehat" (HR al-Bukhari).
Saat ini di Indonesia jumlah orang yang positif terkena virus Corona telah mencapai 172 kasus, 7 di antaranya telah meninggal dunia, berdasar data per 18 Maret 2020, pukul 10.30 WIB.
Virus ini sebagaimana penyakit lepra bersifat menular tetapi tingkat bahayanya jauh lebih besar karena dapat mematikan dalam waktu singkat.
Penyebarannya sangat cepat khususnya lewat kontak antara penderita dengan orang lain, sementara obatnya belum ditemukan.
Jadi virus Corona ini lebih berbahaya daripada penyakit lepra. Jika penderita lepra dapat dilihat dari luar, maka penyakit Corona hanya dapat dipastikan lewat uji laboratorium sehingga tidak mudah dikenali.
Umumnya orang yang terkena virus ini baru masuk ke rumah sakit pada hari ketujuh. Dari hari pertama hingga keempat orang-orang yang terkena penyakit ini masih bisa beraktivitas sebagaimana orang sehat karena memang pada masa inkubasi fase pertama ini mereka tidak merasakan sakit.
Keadaan itulah yang menyulitkan untuk menentukan siapa di antara sekumpulan orang banyak, seperti jamaah shalat Jumat, yang sebenarnya telah terkena penyakit Corona. Apalagi sebagian besar dari mereka, termasuk pengurus masjid, bukanlah orang-orang yang memiliki kompetensi di bidang kesehatan yang memungkinkan melakukan deteksi dini.
Meniadakan Shalat Jumat karena Takut Allah
Menyadari akan kesulitan tersebut, maka para ulama di negara-negara tersebut di atas melakukan ijtihad dengan mengambil kebijaksanaan meniadakan shalat Jumat dan sebagai gantinya diperintahkan shalat Dhuhur di rumah masing-masing.
Hal ini mereka tempuh karena sebagai pemimpin mereka berkewajiban menghomati dan melindungi hak asasi manusia di antara umatnya, yakni hak atas keselamatan jiwa (hifdhun nafs) yang diamanatkan oleh syariat.
Allah dalam firman-Nya di dalam Al-Qur’an dengan tegas melarang manusia berbuat kerusakan di atas bumi sebagaimana ayat berikut:
“Dan janganlah membuat kerusakan di muka bumi sesudah Allah memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman.” (QS al-A’raaf: 85)
Allah adalah Dzat yang menghidupkan manusia dan memberinya kesehatan agar mereka dapat melaksanakan dengan baik kewajiban-kewajibannya, yakni beribadah hanya kepada-Nya. Bagi para ulama, membiarkan keselamatan jiwa manusia terancam oleh virus Corona dengan membolehkan mereka berkumpul dalam jumlah besar dalam ruang dan waktu yang sama adalah sebuah tindakan yang bisa menimbulkan kerusakan karena mengancam keselamatan jiwa.
Hal itu tidak patut dilakukan oleh para ulama yang notabene adalah orang-orang beriman. Di sisi lain, Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk menjalankan shalat Jumat dan hal ini hanya bisa dilakukan secara berjamaah. Di sinilah permasalahannya yang menuntut kearifan para ulama.
Mereka lalu berijitihad dengan memperhatikan hadits Rasulullah sebagai berikut:
خیر الأمور أوساطها
Artinya, “Sebaik-baik perkara adalah sikap tengah.” (HR. Ibn As-Sam’ani)
Mengambil jalan tengah itulah yang kemudian dilakukan para ulama. Kewajiban shalat Jumat tidak diabaikan, hanya diganti dengan shalat Dhuhur sebab aturan fiqih memang demikian, yakni jika shalat Jumat terhalang untuk dilaksanakan, maka harus diganti dengan shalat Dhuhur.
Jadi dalam hal ini tidak ada perintah dan larangan Allah yang dilanggar. Di sisi lain, hak kaum Muslimin untuk tidak terancam keselamatan jiwanya dipenuhi dengan meniadakan shalat Jumat demi menghindari tertular penyakit Corona.
Upaya menghindari ini harus lebih diutamakan sesuai dengan kaidah fiqih: “Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih” (menghindari kerusakan didahulukan daripada melakukan kebaikan).
Kesimpulannya, fatwa ulama meniadakan shalat Jumat sebagaimana diuraikan di atas telah sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan kata lain fatwa itu dikeluarkan justru karena rasa takut mereka kepada Allah subhanahu wata’ala. Mereka sadar betul akan besarnya tanggung jawab di hadapan Allah atas kemaslahatan umat dengan lebih mendahulukan upaya menghindari kerusakan (mafsadat) daripada mencari kebaikan (mashalih).
Jadi tidak benar para ulama itu telah menempatkan virus Corona (Covid-19) lebih tinggi di atas tuhannya. Na’udzu billahi min dzalik.
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.