Salah satu sahabat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam yang terkenal kaya adalah Abdurrahman bin Auf. Hartanya berlimpah. Sudah begitu ia amat dermawan. Pria yang lahir 10 tahun setelah Tahun Gajah itu tambah tajir ketika Negeri Yaman diserang wabah penyakit aneh.
Ceritanya begini. Suatu hari, ketika para sahabat berkumpul, Abdurrahman bin Auf mendengarkan sabda Rasulullah bahwa kelak setelah dibangkitkan dan dihitungnya amal perbuatan manusia semasa hidup, "orang yang kaya akan lebih lama menjalani perhitungan amal dibanding orang yang miskin dan saya sungguh bersama orang-orang fakir dan miskin," ujar Rasulullah.
Dalam hadis sahih disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa, "Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, dan matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku (pada hari kiamat) dalam rombongan orang-orang miskin."
Sejek itu, Abdurrahman bin Auf merenung dan berkata dalam hati, “saya tidak mau berlama-lama saat yaumul hisab karena kekayaan yang saya miliki“.
Abdurrahman bin Auf mengangkat tangan lantas berdoa, ” Ya Allah, jadikanlah hambamu ini orang yang miskin, agar kelak dapat selalu bersama Rasulullah.”
Abdurrahman kaya bukan karena pelit. Ia sangat dermawan. Pria yang sebelum memeluk Islam, bernama asli Abdul Ka'bah atau Abd Amr ini pernah mengeluarkan 200 uqiyah emas (1 uqiyah setara 31,7475 gram) demi memenuhi kebutuhan logistik selama Perang Tabuk. Saat Nabi Muhammad SAW menyeru kepada umat Islam untuk berinfak di jalan Allah, Abdurrahman pun tanpa pikir panjang langsung menyumbangkan separuh hartanya.
Dia pun pernah memberikan santunan kepada veteran Perang Badar yang jumlahnya mencapai seratus orang, masing-masing mendapatkan santunan 400 dinar. Abdurrahman memang sangat pandai dalam berbisnis. Semua kekayaannya pun merupakan hasil perdagangan.
Garis tangan Abdurrahman sungguh ciamik. Semua bisnis yang dikelolanya selalu menghasilkan untung. Kendati demikian, Abdurrahman tidak hanya berdakwah lewat harta. Ia juga berpartisipasi dalam beragam peperangan, mulai Perang Uhud hingga Perang Badar.
Begitu mendengar Rasulullah bersabda bahwa orang kaya akan lebih lama menjalani perhitungan amal dibanding orang yang miskin, membuat Abdurrahman gundah. Dia bercita-cita ingin menjadi miskin.
Tapi ia cemas karena harta kekayaannya justru semakin berlipat ganda. Ia sering berjalan mondar mandir karena gamang dan gusar. “Bagaimana caranya agar harta benda yang saya miliki habis dan tidak tersisa?” tanyanya dalam hati.
Sesudah perang Tabuk, tumbuhan kurma siap panen yang ditinggalkan para sahabat menjadi busuk dan harganya anjlok. Kabar ini menyebar ke seantero Kota Madinah dan sampai ke telinga Abdurrahman bin Auf.
Mendengar kabar tersebut, sahabat Nabi ini melego semua harta bendanya kemudian membuat pengumuman yang isinya, “Semua penduduk kota Madinah yang buah kurmanya busuk akan dibeli sesuai dengan harga buah kurma yang normal”. Sejurus kemudian warga kota Madinah berbondong-bondong menjual kurma busuk ke tempat Abdurrahman bin Auf.
Semua kurma busuk dibeli oleh Abdurrahman bin Auf. Hartanya pun ludes tanpa sisa. Ia miskin dan hanya punya tumpukan kurma busuk.
”Alhamdulillah, doaku dikabulkan oleh Allah SWT,” pikir Abdurrahman beryukur.
Para sahabat Nabi juga bersyukur. Kurma yang dikhawatirkan tidak laku, tiba-tiba laku keras! Diborong semuanya oleh Abdurrahman bin Auf.
Namun kemiskinan rupanya enggan berhinggap ke nasib Abdurrahman bin Auf. Sehari kemudian, datang utusan dari negeri Yaman ke kota Madinah. Mereka menyampaikan berita tentang berjangkitnya wabah penyakit aneh di Yaman. Nenurut dokter, wabah aneh tersebut akan cepat sembuh jika diobati dengan buah kurma busuk.
Utusan ini menyebar pengumuman bahwa sedang mencari buah kurma busuk yang akan digunakan sebagai obat. Buah kurma busuk akan dibeli dengan harga 10 kali lipat dari harga buah kurma di pasaran.
Warga penduduk kota Madinah yang membaca edaran pengumuman, memberitahu utusan agar lekas pergi ke rumah Abdurrahman bin Auf. "Di sanalah tempatnya buah kurma yang busuk," kata seorang warga.
Tanpa pikir panjang, utusan raja tersebut mendatangi rumah Abdurrahman bin Auf. Mereka membeli semua kurma busuk miliknya dengan harga 10 kali lipat dari harga kurma biasa.
Abdurrahman bin Auf semakin kaya raya. Jumlah kekayaannya belum ada yang menandingi karena kurma yang seharusnya tidak laku malah terjual dengan nominal harga yang fantastis.
Ketika akan wafat, Abdurrahman menangis. Tangisannya bukan karena takut menghadapi kematian, melainkan karena ia wafat dalam keadaan kaya harta.
"Sesungguhnya, Mush'ab bin Umair lebih baik dariku. Ia meninggal di masa Rasulullah dan ia tidak memiliki apa pun bahkan kafan sekalipun. Hamzah bin Abdul Muthalib juga lebih baik dariku. Kami tidak mendapatkan kafan untuknya. Sesungguhnya, aku takut bila aku menjadi seseorang yang dipercepat kebaikannya di kehidupan dunia. Aku takut ditahan dari sahabat-sahabatku karena banyak hartaku," tutur Abdurrahman.
Abdurrahman Bin Auf meninggal dunia di Madinah pada 31 Hijriyah, ada pula yang mengatakan pada 32 Hijriyah. Ketika itu, usianya 75 tahun, tapi ada juga yang menyebutkan 72 tahun. Pada riwayat lain disebutkan 78 tahun.
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ اَنۡ يُّكَلِّمَهُ اللّٰهُ اِلَّا وَحۡيًا اَوۡ مِنۡ وَّرَآىٴِ حِجَابٍ اَوۡ يُرۡسِلَ رَسُوۡلًا فَيُوۡحِىَ بِاِذۡنِهٖ مَا يَشَآءُؕ اِنَّهٗ عَلِىٌّ حَكِيۡمٌ
Dan tidaklah patut bagi seorang manusia bahwa Allah akan berbicara kepadanya kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari belakang tabir atau dengan mengutus utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Mahatinggi, Mahabijaksana.