Mulia Saat Miskin Maupun Kaya

Mulia Saat Miskin Maupun Kaya

Mulia Saat Miskin Maupun Kaya


Adalah kekeliruan jika kita memandang nikmat sebatas pada makanan, minuman, tempat tinggal maupun kemewahan. Betapa seseorang akan sulit merasakan kebahagiaan jika tak mengenali nikmat selain pada kelezatan ragawi dan kenikmatan materi.




Imam Hasan al-Bashri berkata, ”Barangsiapa yang tidak mengenali nikmat Allah selain pada makanan, minuman dan pakaian, maka sungguh dangkal ilmunya, dan amat berat penderitaannya.” Tentu saja ia menderita, karena ketika seseorang tidak mengenali nikmat, ia pun tidak mampu merasakan kelezatannya.




Maka jaminan kebahagiaan bukan dari sisi kekayaannya, begitu juga derajat kemuliaan seorang hamba di sisi Allah. Hanya saja, budaya materialistis telah mendorong manusia memandang kemuliaan melulu berdasarkan harta dan kelebihan secara fisik.




“Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimulikan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata, “Rabbku telah memuliakanku”. Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata “Rabbku menghinaku”. Sekali-kali tidak (demikian)…”

(QS. Al-fajr 15-17)




Sapaan pertama yang paling umum diungkapkan untuk teman lama yang tak lama ketemu adalah “Wah…sekarang sudah makmur”, “Sekarang sudah jadi orang”, “Sekarang sudah bahagia”, atau “Sekarang hidupmu sudah mulia”. Itu jika yang didapatkan ketika teman berbadan gemuk, kaya raya, atau kelihatan berpakaian parlente dan menaiki mobil mewah.




Memang begitu rata-rata cara manusia mengukur kemuliaan dan kehormatan, yakni dari segi harta, tampilan maupun jabatan. Tapi ayat yang yang ditulis diatas meluruskan anggapan yang salah kaprah itu.




Harta Bisa Berarti Siksa





Harta tak selalu menjadi sumber kabahagiaan bagi pemiliknya. Pikiran tegang memburunya, memeras keringat ketika mendapatkannya, dan kekhawatiran akan hilangnya harta yang berada dalam genggamannya adalah indikasi yang bertentangan dengan kebahagiaan.




Bahkan, ujung dari siksa itu adalah penyesalan mendalam saat perpisahan antara dirinya dengan hartanya benar-benar terjadi. Mungkin karena hartanya lenyap oleh bencana, atau lantran ajal yang memisahkannya dengan hartanya. Pintu yang terakhir ini hanya tinggal menunggu waktu, tak satupun manusia yang mampu mengelak darinya.




Kalaupun mereka mampu merasakan manisnya hasil jerih payahnya yang diupayakannya, toh tak kan bertahan lama. Karena muara harta dari tangan pemburu dunia dan lalai dari agamanya tak akan jauh dari kesenangan yang berbau maksiat dan pasti, kesenangan itu akan berbuntut penderitaan di dunia, kesengsaraan di akhirat, kecuali yang bertaubat.




Pergi ke diskotik, meminum arak, menghisap narkoba, mencari wanita nakal, mendatangi tempat hiburan malam dan perbuatan lainnya yang berkenaan dengan kenikmatan perut dan bawah perut. Sudah bisa ditebak ‘ending’ dari semua itu.




Perselingkuhan, cekcok suami istri yang berujung pada perceraian dan anak yang terganggu psikisnya. Atau kecanduan narkoba yang dampak paling ringannya masuk bui. Kalaupun tidak, penderitaan karena kecanduan itu sudah termasuk dalam kategori siksaan yang luar biasa.




Belum lagi jika ia tidak bisa menebus barang haram yang meracuninya. Hadirnya penyakit berbahaya ini akibat maksiat-maksiat itu juga telah mengintainya.




Semua alasan diatas menjadikan kita tidak kesulitan memahami maksud firman Allah,





“Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia…”

(QS. At-taubah 55)




Ya, harta yang Allah tumpahkan atas mereka itu adalah untuk menyiksa mereka, bukan untuk memuliakan mereka.




Tidak selalunya pula orang kaya itu menjadi manusia terhormat dalam pandangan orang-orang di sekitarnya. Karakter pemburu dunia yang melupakan akhirat adalah bakhil, tidak mau mengeluarkan sesuatu dari hartanya, kecuali jika dengannya mereka mendapatkan keuntungan.




Kenikmatan menurutnya adalah jika ia bisa memuaskan diri sendiri. Sikap bakhil tersebut akhirnya menjadi bibit munculnya rasa benci orang-orang miskin sekitar kepadanya.




Image buruk dan doa keburukanpun terlontar kepadanya, dan banyakkemungkinan perlakuan jahat pun ia dapatkan dari orang-orang disekitarnya yang ingin mendapatkan kekayaannya.




Semua kehinaan dan penderitaan yang demikian pahit itu masih belum seberapa di bandingkan siksaan besok di akhirat.




“Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hinadina”

(QS. Al-mukminun 60)




Mulia Saat Miskin Maupun Kaya





Kaya ataupun miskin bukan ukuran mulia atau hina seorang manusia. Kekayaan bisa berarti siksa, sedangkan kemiskinan boleh jadi karunia. Keduanya tak lebih dari ujian, mana yang mulia, mana yang hina tergantung bagaimana masin-masing menyikapi ujian yang mereka hadapi.




Nabi bersabda, “Sesungguhnya setiap umat itu menghadapi cobaan, cobaan umatku adalah berupa harta.” (HR. tirmidzi)




Ibnu Qayyim dalam tafsir al-Qayyim-nya menjelaskan Surat Al-Fajr ayat ke 15-17 diatas berkata, “Allah mengabarkan bahwa Dia menguju hambanya dengan memberikan kenikmatan dan melimpahkan rezeki atasnya. Allah juga menguji manusia dengan sempitnya rezeki. Keduanya adalah ujian dan cobaan. Kemudian Allah menyanggah atas anggapan orang bahwa terbukanya pintu rezeki dan melimpahnya harta adalah bukti allah memuliakannya, dan sempitnya rezeki adalh pertanda Allah menghinanya. Allah menyanggah anggapan itu “Sekali-kali tidak demikian!” yakni, anggapan orang-orang itu tidaklah benar, terkadang Aku menyiksa dengan nikmat-Ku dan memberikan nikmat dengan cobaan-Ku.




Orang Miskin yang Mulia, Orang Kaya Tinggi Derajatnya





Nilai kemuliaan orang kaya adalah dengan syukurnya. Ia mengakui bahwa semua nikmat itu dari Allah. Ia juga memuji Allah dengan lisannya. Dan tak kalah penting, ia menggunakan nikmat Allah sesuai dengan kehendak Sang Maha Pemberi Nikmat. Dengannya, dia mampu meraih derajat tinggi di sisi Allah sebagai hamba yang bersyukur.




Namun jika ia kufur, maka kekayaannya menjadi sebab kehinaan dirinya, sekaligus ‘modal’ untuk menuai penderitaan dan kesengsaraan.




Sedangkan kemuliaan orang miskin adalah dengan bersabar, tetap terbaik sangka kepada Allah. Kemiskinan tidak membuatnya marah kepada Allah, berputus asa dari Rahmat Allah, ataupun terjun dalam dosa untuk mengentaskan diri dari kemiskinan.




Roda terus berputar, namun dimanapun posisi kita, tetap saja bisa meraih kemuliaan. Syukur di saat kaya, sabar di saat miskin.




Wallahu A'lam

Next article Next Post
Previous article Previous Post