Hari beranjak sore. Sudah pukul tiga. Tapi matahari masih menyengat. Di bawah terik itu, Uus Rusman tetap bekerja di Masjid Nabawi.
Hari itu, pria yang karib disapa Mus ini mengganti tatakan drum penampungan air zamzam yang kotor. Kerjaan ini rutin dia lalukan saban dua hari sekali.
Mus hilir mudik dari pintu 20 ke depan gerbang 21 Masjid Nabawi. Tak sampai masuk. Alas drum air zamzam itu dia ganti dengan yang lebih bersih.
Pekerjaan Mus bukan hanya itu. Selepas sholat Maghrib, dia kembali bekerja di area dalam masjid tempat Nabi dimakamkan itu. Dia selalu berdiri di dekat tiang ke empat dari pintu masuk 21 Masjid Nabi.
Dari tempat itulah Mus mengawasi ketersediaan enam drum air zamzam. Dia akan mengganti enam drum yang masing-masing berkapasitas 20 liter jika dirasa telah habis. Enam drum cadangan diletakkan di bagian belakang barisan drum yang tersaji.
Mus tahu betul bagaimana sirkulasi pergantian air aamzam di Masjid Nabawi ini. Tiap hari, 22 mobil tangki air zamzam akan dikirim dari Mekah.
Satu mobil tangki pengangkut air berkapasitas 18.000 liter. Jika ditotal, ada sekitar 396.000 liter air yang untuk jemaah haji.
Dari mobil tangki itu, kata Mus, air akan disimpan di enam tabung penyimpanan yang berada di bawah area Masjid Nabawi. Empat untuk air dingin.
“Dua tabung yang hangat,” kata Mus.
Mus memastikan air zamzam yang dingin itu bukan dicampur es. “Ada jemaah Indonesia tanya apakah dicampur es. Tidak. Itu tabung stainless-nya didinginkan,” ujar dia, sambil tersenyum.
Kerja Sampingan Mus bekerja sebagai petugas pelayanan Masjid Nabawi sejak 2010. Lelaki asal Bandung Barat itu bercerita, ketika awal masuk ada banyak warga negara Indonesia (WNI).
Saat dia baru masuk kerja, ada 316 orang WNI. Tapi, aturan pemerintah soal gaji di bawah 1.000 riyal mengganggu izin mereka. Kini, jumlah itu menyusut.
WNI yang bekerja di masjid-masjid khusus hanya ada sekitar 80 orang. Jumlah itu tersebar di beberapa masjid. Misalnya, Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid Quba. “Kini di Nabawi 42 orang,” tambah Mus.
Dia tak mau menyombongkan diri dengan tugas yang mulia ini. Kata dia, tak ada yang spesial. “Ya mungkin di sini kelebihannya kita bisa sembahyang sewaktu-waktu, bisa umrah selagi ada kesempatan,” ujar dia.
Pekerjaan di Masjid Nabawi bukan satu-satunya yang dia lakukan. Ada pekerjaan lain yang dia tekuni di waktu pagi.
Mus pulang ke asrama sekitar pukul 23.00 WAS. Selepas Subuh, dia punya kerjaan sampingan. Mengurus kebun kurma.
“Setelah sembahyang Subuh, pukul lima pagi berangkat kerja di luar. Di perkebunan kurma, sampai pukul 12,” kata dia.
Meski secara pendapatan tak melimpah, Mus tetap bangga kerja di Masjid Nabawi. Sebab, dia kerap mendapat apresiasi dari jemaah Indonesia yang datang.
“Apalagi yang sering menyapa duluan, merasa dihargai dan dihormati, meski hanya sebatas begini (pekerjaannya),” ujar dia.
Dia menganggap, pertemuan dengan jemaah haji Indonesia sebagai bagian pengobat rindu dengan Tanah Air. Perasaannya akan tambah bahagia jika bertemu tetangga yang sedang umroh atau kerabat yang ke Tanah Suci untuk berhaji.
“Seperti di negeri orang, seperti saudara sendiri,” katanya.