Kebanyakan jamaah yang datang dalam kloter 20 Embarkasi Makassar Jumat siang (8/8) itu masih necis dengan seragam batik hijau mereka. Seruan agar berpakaian ihram dari Tanah Air yang berulang kali diserukan tak mereka indahkan.
Masing-masing jamaah kemudian menuju paviliun di Bandara King Abdulaziz Jeddah untuk berganti pakaian, bebersih, dan kemudian shalat sunah dua rakaat. Di antara mereka, ada seorang paruh baya berkacamata hitam.
Ia nampak ramah dan akrab dengan rekan-rekan serombongannya. Sebelum berganti baju ihram, ia sudah sibuk mencarikan air mineral untuk jamaah di rombongannya yang berusia lanjut.
Kulitnya legam terpanggang matahari tepi laut di kampung halaman. Rambutnya ia potong pendek sekali, seperti model tentara.
Tiba saatnya kemudian ia berganti kain ihram. Tanpa risih ia buka kemeja batik dan kaus dalam.
Nampaklah bagian atas lengan tangan kanannya. Ada tato jaring laba-laba dan motif tribal di situ. Penuh dan baru berhenti menjelang tiba di siku.
“Waktu bikinnya saya belum kepikiran bakal ke sini,” kata pria tersebut terkait tatonya sembari tertawa saat ditanya.
Motif serupa juga memenuhi bagian atas tangan kirinya. Namanya Tajuddin. Hampir 60 tahun umurnya. Ia berasal dari Kendari.
Di kampungnya, ia mendaku, banyak yang kenal. “Boleh dibilang saya dulu memang preman,” kata dia.
Lebih dari 20 tahun lalu, ia mulai meninggalkan dunia kelam. Perlahan ia rintis usaha menjual ikan dan akhirnya berhasil dapat pendapatan lumayan.
Pada 2010, ia sudah dapat kesempatan ke Tanah Suci. Tapi bukan rahasia Madinah dan Makkah memang tempat yang memantik kerinduan.
Setelah pulang pada 2010, ia tak menunggu lama untuk mendaftar lagi. Kali ini, bersama istri dan sejumlah kerabatnya.
“Saya ingin lebih baik ibadahnya kali ini,” kata dia.
Secara terpisah, saya menemui rekan serombongannya untuk mencari tahu kebenaran kisah Tajuddin.
“Iya, memang terkenal satu kampung orangnya,” kata Jumrin (50).
Jumrin tinggal hanya dipisah jalan raya dari rumah Tajuddin di Jalan Solo, Kota Kendari. Ia mengatakan, dahulu memang banyak yang takut dengan Tajuddin.
Sekarang, kata Jumrin, lain cerita.
“Sekarang begini orangnya,” kata Jumrin sembari menunjukkan isyarat merunduk dengan tangan kanannya.
Ketakutan masyarakat berubah menjadi rasa hormat dengan perubahan Tajuddin tersebut. Siang itu, kain ihram tak ia gunakan menutup tatonya.
“Orang sudah tahu saya siapa. Yang penting sekarang niat saya,” ia menutup percakapan sembari berjalan bersama rombongannya menuju bus ke Makkah sambil mengumandangkan talbiyah.
“Ini aku datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah…”.