Pertanyaan :
Assalamu 'alaikum wr wb.
Semoga pak Ustadz diberikan kesabaran dan rahmah dari Allah SWT.
Pak Ustadz, bolehkah saya bertanya tentang masalah hukum antara suami dan isteri. Begini ustadz, sebenarnya saya ini berdosa apa tidak, apabila saya merahasiakan gaji saya kepada suami. Saya takut kalau hal itu berdosa. Mohon ustadz jelaskan hak-hak isteri dan kewajibannya terkait dengan masalah gaji seorang isteri kepada suami.
Demikian pak ustadz, pertanyaan saya. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih.
Wassalam
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatulahi wabarakatuh,
Kalau pertanyaannya berdosa atau tidak, maka jawabannya tergantung apakah pekerjaan itu wajib atau tidak. Sebuah pekerjaan wajib bila tidak dikerjakan akan berdosa. Atau sebaliknya, sebuah pekerjaan haram apabila dikerjakan, malah berdosa.
Masalahnya sekarang, apakah ada kewajiban bagi isteri untuk memberitahu kekayaannya kepada suami? Atau haramkah seorang isteri tidak memberitahu kekayaannya kepada suami?
Maka masalahnya harus kita kembalikan kepada kedudukan harta isteri di depan suami. Dalam syariat Islam, harta kekayaan milik isteri adalah sepenuhnya hak isteri. Suami tidak berhak apapun dari harta isterinya, kecuali bila isteri memang berniat memberinya, menghadiahkannya atau bersedekah kepada suaminya.
Otomatis secara hukum hitam putihnya, sebenarnya tidak ada hak pada suami untuk menguasai harta kekayaan milik isterinya. Dan termasuk juga tidak punya hak memaksa untuk mengetahui jumlah harta kekayaan isterinya itu.
Sebaliknya, kalau kita memandang dari harta kekayaan suami, maka pada sebagian harta suami ada hak isteri. Meski ukuran atau prosentasenya tidak secara baku ditetapkan, namun hak itu ada. Sehingga dalam fiqih Islam, seorang isteri yang mengambil harta suaminya tanpa izin, tidak terkenahukum potong tangan. Karena syarat hudud pencurian tidak terpenuhi, yaitu pada sebagian harta itu ada hak isteri isteri, di sampaingistri memangpunya akses untuk memakai harta suami.
Syariat Bukan Hanya Hukum
Apa yang kami sebutkan di atas semata-mata dipandang sebelah mata, yaitu dari kaca mata hukum. Namun perlu diketahui, bahwa hidup kita ini tidak mungkin hanya didekati dengan pertimbangan hukum hitam putih semata. Bahkan agama Islam itu bukan 100% berisi hukum hitam putih, tetapi di dalamnya ada juga diautr masalah akhlaq, etika, hubungan interpersonal, qona'ah, 'iffah, itsar dan seterusnya.
Maka sebelum merahasiakan gaji kepada suami, perlu dipertimbangkan juga efek dan dampak lain dalam kaitannya dengan hubungan kemesraan antara suami dan isteri.
Alangkah indahnya bila antara suami dan isteri ada saling keterbukaan, termasuk dalam masalah pengelolaan kekayaan. Meski masing-masing berhak atas harta mereka, tidak ada salahnya bila mereka saling berdiskusi dan bertukar pikiran. Sebab mereka adalah satu keluarga, bukan lawan dagang, apalagi lawan tanding.
Sangat harmonis rasanya kalau isteri bersifat terbuka kepada suaminya, termasuk dalam masalah gajinya, pergaulannya, masalah di kantornya dan lainnya. Demikian pula dengan suami, tidak ada salahnya bila banyak berdiskusi dengan isteri, baik dalam masalah keuangan atau pun hal-hal lainnya.
Semua itu dilakukan demi terciptanya hubungan mesra dan harmonis antar suami dengan isteri. Dan tidak semata-mata harus diselesaikan dengan hukum hitam putih semata.
Gaji Istri untuk Apa dan Siapa?
Salah satu ciri emansipasi wanita masa kini ialah keterlibatan mereka dalam dunia kerja dan mencari nafkah. Baik ketika masih hidup membujang maupun sudah berstatus istri. Wanita karier yang masih lajang menggunakan gaji yang diperoleh biasanya untuk kebutuhan pribadi sehari-hari dan membantu keluarganya, seperti orang tua atau saudaranya.
Lalu, bagaimana jika yang bersangkutan menikah dan masih bekerja? Harus dikemanakan gaji yang ia dapat? Apakah suami berhak mengutak-atik penghasilan istrinya itu? Permasalahan ini memang sering memicu gesekan di kehidupan berumah tangga.
Mantan Deputi Kementerian Wakaf Mesir Syekh Manshur ar-Rifa’i Ubaid mengatakan, menurut hukum Islam, istri memiliki otoritas keuangan tersendiri. Seorang suami tidak memiliki hak untuk mencampuri urusan pendapatan istri. Apa lagi, jika klausul ini menjadi syarat ketika akad nikah. Misalnya, calon istri yang juga wanita karier itu memberi syarat dalam akad nikah jika penghasilannya setelah menikah tak boleh diganggu gugat. “Gajinya tak boleh diganggu gugat,” katanya.
Larangan ini sesuai dengan ayat, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil.” (QS al-Baqarah [2]:188). Tetapi, dalam hidup berumah tangga, mestinya apa pun bisa dikomunikasikan. Seperti, kedua belah pihak saling memahami dan sepakat untuk mengalokasikan penghasilan tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Maka, dalam kondisi munculnya kesepakatan itu tak jadi soal.
Kasus semacam ini banyak ditemui di tengah-tengah masyarakat. Kedua pasangan saling bahu-membahu dan bekerja sama mencari nafkah. Meski demikian, ia tetap menggarisbawahi bahwa kasus tersebut tidak lantas menjadi alasan abainya suami atas kewajiban nafkah. Islam tetap menekankan bahwa tugas ada di pundak suami.
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah mem beri nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.” (QS Thalaq [65]:7). Hal ini menempatkan keutamaan nafkah yang diberikan suami untuk segenap keluarganya lebih besar ketimbang infak untuk perang, memerdekakan budak, ataupun pemberian bagi orang fakir miskin.
Guru besar Universitas Islam Ibnu Saud, Prof Aqil bin Abdurrahman, menyatakan hal yang sama bahwa hukum dasarnya suami tidak berhak campur tangan soal gaji istrinya. Namun, jika muncul perselisihan terkait pendayagunaan gaji antarkedua belah pihak, hendaknya kembali ke kesepakatan awal diselesaikan dengan dialog komunikasi.
Lebih baik—dalam konteks suami istri berpenghasilan—mengedepankan kerja sama antarkeduanya untuk menopang biaya hidup keluarga. Bila suami memberi izin istrinya untuk berkarier dengan syarat jumlah tertentu dari gaji itu untuk keperluan tertentu maka syarat tersebut harus dipenuhi sang istri.
Ini pun tetap dengan catatan istrinya itu merelakan. Jika tidak, sama dengan hukum awal, yakni tidak boleh. Ia mengingatkan agar suami tidak mengeksploitasi pasangannya dengan memainkan syarat-syarat Ingat, istri memiliki otoritas privasi terhadap harta yang ia peroleh keringatnya sendiri.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatulahi wabarakatuh,