Israel Defence Force (IDF) melaporkan bahwa setiap tahunnya ada sekitar 7 ribu tentara Yahudi yang gagal menyelesaikan layanan wajib militer, seperti diterbitkan surat kabar berbahasa Ibrani Haaretz hari Selasa (25/04/2017) kemarin
Mereka yang gagal menyelesaikan layanan militer sebagian besar dikarenakan alasan medis dan psikologis. Jumlah ini setara dengan 22 persen tentara meninggalkan kesatuannya, termasuk diantaranya 14,6 persen laki-laki dan 7,4 persen perempuan.
Sumber IDF mengatakan bahwa jumlah sebenarnya tentara yang melarikan diri atau tidak melanjutkan wajib militer lebih tinggi, akan tetapi ini tidak dilaporkan secara lengkap dan rinci.
Untuk menghindari pelayanan wajib militer, biasanya banyak keluarga Yahudi mengirimkan anak-anak mereka ke luar negeri. Kondisi sebaliknya justru dirasakan warga Palestina yang menjadi korban penjajahan Zionis Israel.
Di Jalur Gaza saja minat untuk bergabung dengan kelompok perjuangan Palestina seperti Hamas, Jihad Islam dan lainnya terus membludak.
Rakyat Palestina sadar bahwa kemerdekaan mereka tidak dapat diraih kecuali dengan jalan perjuangan dan pertumpahan darah melawan pendudukan entitas Zionis Israel.
Baru-baru ini, dia juga menunjukkan empat tentara Israel yang menderita penyakit mental serius yang tidak mereka ungkap di muka publik.
Surat kabar Israel Haaretz juga mengungkapkan bahwa tentara Israel telah mempekerjakan psikolog dalam jajarannya, untuk menanggapi tumbuhnya fenomena penyakit mental dan bunuh diri di kalangan tentara Israel.
REHABILITASI UNTUK DARURAT KEJIWAAN
Koran Yahudi Israel to Day dikutip PIC, Kamis ( 11/09/2014) mengabarkan militer Zionis-Israel sedang merehabilitasi ratusan serdadunya yang mengalami goncangan kejiwaan pasca perang darat menghadapi pejuang Hamas.
Harian ini melansir pernyataan Divisi Imunisasi Psikologis tentara Israel, bahwa pelaksanaan rehabilitasi tentara yang pulang dari medan tempur ini bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan diri masing-masing tentara tanpa perlu masuk rumah sakit jiwa.
Jumlah tentara yang mengalami gangguan kejiwaan pasca serangan kemarin mencapai 80 %. Mereka akan kembali bertugas paska rehabilitasi secepatnya.
Belum lama ini, sebuah insiden penembakan di Hebron, wilayah Palestina menyisakan sebuah kepedihan. Pasalnya, seorang petugas medis Israel terlibat dalam pembunuhan seorang warga Palestina yang dianggap Israel sebagai teroris.
Padahal, militer Israel sebelumnya telah menembak mati dua orang warga Palestina pada Kamis setelah melakukan serangan di Hebron. Ketika melihat salah satu warga Palestina masih hidup, seorang petugas medis lantas menembaknya di kepala.
Militer Israel seringkali menggunakan kekuatan berlebihan terhadap warga Palestina. Hal tersebut telah berulangkali diprotes oleh dunia internasional dan masyarakat Arab pada umumnya.
JUMLAHNYA AKAN TERUS NAIK TIAP TAHUN
Situs resmi militer Tel Aviv mengungkapkan, gangguan mental di kalangan tentara pendudukan Israel (PLO) akan naik tiga kali lipat dalam sepuluh tahun ke depan.
Kepala Unit Kesehatan Mental Tentara Israel, Kolonel Karen Ginat membeberkan bahwa ribuan tentara Israel kini sedang menjalani masa perawatan. Bahkan, ada seorang pilot Angkatan Udara Israel juga menjalani perawatan anti-depresi.
Selama sidang parlemen, Ginat memperingatkan tentara Israel untuk tidak pergi keluar dari basis mereka dengan membawa senjata, karena hanya akan menimbulkan bahaya bagi masyarakat.
Bahkan, para pejabat kemiliteran juga sudah memperingatkan akan hal ini. Namun, pemerintah Zionis masih saja memutuskan untuk mengizinkan tentara Israel membawa pulang senjata mereka.
Selain itu, sejumlah tentara muda juga sering menghindari untuk meminta bantuan atas penyakit mental mereka, yang menciptakan krisis bagi tentara. Hal ini sendiri yang mempersulit pihak militer untuk mengidentifikasi gangguan psikologis dan mental yang menimpa sejumlah tentara pendudukan.