Perjuangan Kiai Khoiron memang penuh risiko. Apalagi berdakwah di tempat lokalisasi. Tidak semua orang mau melakukannya.
Apalagi yang dihadapi adalah orang-orang tak biasa. Tidak hanya PSK dan mucikari, tapi juga preman. Termasuk masyarakat yang sudah nyaman dengan usaha mereka dengan ada prostitusi di daerahnya.
Kehebatan ayah Kiai Khoiron lempar preman sampai 30 meter
Kesuksesan Kiai Khoiron tak lepas dari pengaruh ayahnya, Kiai Syu’aib. Sebelum Kiai Khoiron menjadi pendakwah di tempat lokalisasi, terlebih dahulu ayahnya sudah malang melintang menjadi pendakwah di tempat maksiat tersebut.
Dalam menjalankan dakwahnya, Kiai Syu’aib bukan tanpa rintangan. Ia kerap mendapat cibiran da teror dari preman di Dupak Bangunsari, Surabaya.
Suatu hari, seperti ditulis Sunarto dalam bukunya berjudul “Kiai Prostitusi”, menurut cerita yang berkembang di masyarakat, pada 1970-an Kiai Syu’aib dianiaya oleh seorang preman mabuk. Preman itu murka dan marah karena tak terima dinasihati oleh Kiai Syuaib.
Preman itupun lantas menantang duel. Meski mendapat ancaman, Kiai Syuaib akhirnya menerima tantangan duel tersebut. Ajaib, meski melawan preman berbadan besar dan kekar, Kiai Syuaib menang. Preman itu dibanting dan bahkan sampai terlempar 20-30 meter dari lokasi duel.
“Mengingat kejadian tersebut sebenarnya dapat membentuk karisma di mata warga masyarakat kala itu,” cerita Sunarto dalam bukunya “Kiai Prostitusi” halaman 66.
Bukan sekali saja Kiai Syuaib mendapat tantangan preman. Untuk kedua kalinya ayah Kiai Khoiron mendapat ancaman serupa dari preman. Dengan kekuatan yang dimiliki, lagi-lagi sang preman itu kalah duel.
“Para preman dan masyarakat yang ada saat itu sangat menaruh hormat kepada Kiai Syuaib dan tidak ada lagi yang berani menantang duel,” ujarnya.
Pada masa kini tercatat, di Kota Surabaya pernah ada banyak tempat lokalisasi. Di Kecamatan Moro Krembangan, di sana ada lokalisasi Dupak Bangunsari dan Tambak Sari.
Di Kecamatan Sawahan, ada lokalisasi Dolly dan Jarak. Kecamatan Benowo ada lokalisasi Moro Seneng dan Klakah Rejo. Tempat-tempat itu menjadi surga bagi pemuja seks. Para pekerja seks di sana bebas menjajakan diri.
Seperti lokalisasi Dupak Bangunsari. Tempat itu sudah ada sejak tahun 1970-an. Lokalisasi itu merupakan pindahan dari Bangunrejo yang sudah ada sejak zaman Jepang, sekitar tahun 1943. Di sana, hampir 85 persen rumah dijadikan tempat mesum. PSK-nya ada 3000-an.
Maraknya prostitusi di Dupak Bangunsari menjadi keprihatinan seorang kiai bernama Muhammad Khoiron Syu’aib. Sosok Kiai Khoiron ini lantas menjadi buah bibir masyarakat Kota Surabaya karena ia berdakwah di tempat-tempat lokalisasi.
Lebih dekat dengan Kiai Khoiron
Kiai Khoiron adalah anak dari pasangan Syu’aib bin Kia Asim dan Hj. Muntayyah binti Kiai Mu’assan. Kiai Khoiron bukanlah warga asli Dupak. Ia adalah seorang pendatang.
Kedua orangtuanya dulu tinggal di jalan Maspati Gang IV Surabaya, Jawa Timur. Di sana orangtuanya membuka usaha makanan. Karena hasilnya selalu tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, orangtua Kiai Khoiron pindah Kelurahan Dupak, Bangunsari, Surabaya. Di tempat inilah Kiai Khoiron dibesarkan.
Orangtua Kiai Khoiron tak ingin anaknya tumbuh di tempat prostitusi. Karena itu, ia dikirim belajar agama di Pondok Pesantren Tebu Ireng. Kemudian Kiai Khoirin melanjutkan kuliah di Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel, Surabaya.
Setelah mendapat banyak ilmu agama, Kiai Khoiron pulang kampung. Ia prihatin dengan kondisi kampungnya. Karena itu ia berdakwah di tempat lokalisasi meski awalnya sempat pesimis.
Berkat kegigihannya, dakwahnya mulai diterima kalangan PSK. Ia kemudian mendirikan sebuah Pondok Pesantren Roudlotul Khoir di Bangunsari sebagai pusat dakwah.
Seiring berjalannya waktu, Kiai Khoiron sampai dikenal dengan ‘Kiainya Para WTS dan mucikari”. Mendapat sebutan itu, Kiai Khoiron tidak mempersoalkannya.
“Kiprah dakwahnya terbukti lebih ampuh dan efektif dan bisa dijadikan contoh menangani prostitusi,” kata Ketua IDIAL Jawa Timur, Sunarto beberapa waktu lalu.
Sunarto lantas menulis sepak terjang Kiai Khoiron dan membukukannya. Bukunya diberi judul “Kiai Prostitusi” , pendekatan Dakwah KH Muhammad Khoiron Syuaib di Lokalisasi Kota Surabaya.
Bukan hal mustahil kalau kita mau berusaha. Asal ada kemauan, pasti ada jalan. Seperti yang dilakukan oleh Kiai Khoiron atau lebih dikenal Kiai Prostitusi ini.
Ia rela menghabiskan masa mudanya berdakwah keliling ke tempat lokalisasi-lokalisasi di Surabaya. Terutama ia fokus di Kelurahan Bangunsari, Surabaya. Karena pada 1980-an di sana ada 3000-an PSK.
Cara Kiai Khoiron sadarkan para PSK
Upaya Kiai Khoiron menyadarkan para pekerja seks komersial (PSK) tidaklah mudah. Ada saja yang mencibir. Bahkan sampai diteror preman.
Kisan teror yang dialami oleh Kiai Khoiron itu diceritakan oleh Sunarto dalam bukunya berjudul “Kiai Prostitusi”. Dalam buku itu Sunarto menulis bagaimana beratnya perjuangan Kiai Khoiron menyebarkan dakwah di tempat lokalisasi di Surabaya.
Kiai Khoiron kerap mendapatkan ancaman dari preman dan germo. Mereka marah karena khawatir usahanya bangkrut. Para germo mengancam akan membunuh Kiai Khoiron. “Untuk apa ia berdakwah di sini,” kenang Kiai Khoiron saat mendapat cibiran dari para preman.
Meski demikian, Kiai Khoiron tak gentar. Ia tetap menjalankan aktivitas dakwahnya seperti biasa. Upaya para preman untuk membunuh Kiai Khoiron tidak berhasil.
Dan untuk menyadarkan para PSK, tidak ada resep jitu. Ia berdakwah seperti kiai pada umumnya. Kiai Khoiron menggunakan konsep pendekatan dakwah seperti konsep komunikasi pada umumnya.
Langkah pertama adalah mendekati para pejabat kelurahan. Karena waktu itu peran para perangkat kelurahan sangat dominan. Terutama jabatan RW.
Jabatan RW ternyata kala itu sangat prestise. Apapun kata ketua RW, akan diikuti oleh para PSK dan mucikari. Karena itu, sebelum mendekati para PSK, Kiai Khoiron mendekati pejabat kelurahan terutama ketua RW.
Ketika mendapati ketua RW mabuk, Kiai Khoiron tidak langsung menegurnya. Ia hanya mengajak dialog. Singkat cerita, Kiai Khoiron akhirnya diizinkan berdakwah di tempat lokalisasi.
Mendapat kesempatan itu, Kiai Khoiron langsung memanfaatkan waktu dengan baik dengan memberikan pembinaan mental kepada para PSK dan mucikari. “Terjerumusnya mereka (WTS dan mucikari) bukan semata-mata karena materi. Banyak di antara mereka memilih jalan kelam karena disakiti laki-laki,” kata Kiai Khoiron seperti ditulis Sunarto dalam bukunya berjudul “Kiai Prostitusi”.
Setelah mendekati para pejabat di tingkat kelurahan, terutama ketua RW, Kiai Khoiron akhirnya bisa berdakwah bebas. Meski demikian, tantangan bukan tak ada. Ia tidak mudah mengajak para PSK agar mau mendengar dakwahnya.
Suatu hari Kiai Khoiron tertuju pada Gedung Bioskop Bintoro. Sebab selama ini bioskop menjadi wahana hiburan murah bagi para WTS dan para hidung belang melakukan transaksi prostitusi.
Kiai Khoiron berfikir, gedung bioskop inilah menjadi salah satu media untuk memulai dakwah. Mulai dari sinilah menjadi gerbang awal dakwahnya untuk menolong dan menyadarkan para pekerja seks komersial tersebut.
Dengan menggandeng para perangkat desa dan pemilik bioskop. Setelah tayangan bioskop usai, Kiai Khoiron baru memberikan tausiah.
Hal ini dilakukan agar para PSK dan mucikari tidak malu-malu saat menghadiri pengajiannya. Dalam memberikan materi dakwahnya, sang kiai tidak menyudutkan atau menyalahkan para PSK.
Kiai Khoiron kerap memberikan untaian ayat yang mudah dipahami sehingga cepat masuk kepada para PSK tersebut. “Seorang pendakwah tidak boleh lelah dan putus asa membimbing mereka ke jalan yang benar,” kata Kiai Khoiron seperti ditulis Sunarto dalam bukunya berjudul “Kiai Prostitusi”.
Lambat laun, banyak juga PSK insaf. Meski para PSK tak lagi datang ke bioskop, banyak juga para PSK yang insaf mengikuti pengajian Kiai Khoiron di tempat lain usai salat Isya.
Tiap kali berdakwah, Kiai Khoiron juga kerap mendengar curhatan para PSK. Dengan demikian, lebih mudah bagi Kiai Khoiron menyadarkan mereka.
Cerita Haru Kiai Prostitusi: Cari Dana Buat Bayar Utang Para PSK
Setiap hari berdakwah di tempat lokalisasi, Kiai Khoiron tidak pernah menerima imbalan sepeserpun. Dakwah yang ia lakukan murni perjuangan agar para PSK bertaubat dan kembali ke jalan yang benar.
Ia ingin melanjutkan perjuangan ayahnya, Kiai Syu’aib. Uang dari pondok pesantren yang didirikannya tak seberapa. Karena dakwah di tempat lokalisasi butuh dana yang tak sedikit.
Apalagi dakwah Kiai Khoiron tidak sekadar menyampaikan ilmu agama, tapi juga pelatihan-pelatihan berkarya bagi para PSK. Ditambah, Kiai Khoiron harus membantu melunasi utang-utang para PSK. Kebanyakan para PSK sudah terjerat utang dari mucikari. Persoalan utang inilah yang membuat para PSK sulit lepas dari tempat lokalisasi.
“Mereka itu diutangi sebanyak-banyaknya supaya mereka (PSK) terjerat dengan utangnya sehingga sulit keluar dari sini,” kata Kiai Khoiron seperti ditulis Sunarto dalam bukunya berjudul “Kiai Prostitusi”.
Banyak para PSK mengaku tak bisa lepas dari prostitusi dan mucikari karena sudah terjerat utang. Apalagi utangnya berbunga. Karena tak bisa bayar, para PSK terpaksa tetap bekerja di lokalisasi.
“Kalau dananya banyak, mungkin kerjanya lebih maksimal. Sementara ini kan seadanya, alhamdulillah saya bisa melakukan meskipun hanya pembinaan-pembinaan saja bersama istri di pondok,” kata Kiai Khoiron seperti ditulis Sunarto dalam bukunya berjudul “Kiai Prostitusi”.
Menurut Kiai Khoiron, dana dalam dakwah itu sangat penting. Dia menganalogikan dana dalam berdakwah itu ibarat mobil yang tidak bisa berjalan kalau tidak ada bensinnya.
Meski kekurangan dana, hal itu tidak menyurutkan Kiai Khoiron berdakwah di tempat lokalisasi. Dengan dana seadanya, ia tetap berjalan dari tempat satu ke tempat lain mengajak para PSK bertaubat.
Seiring berjalannya waktu, banyak para PSK insaf. Tercatat saat ini rumah bordir di kawasan Dupak Bangunsari hanya tinggal 153 orang. Hal ini turun drastis jika dibandingkan tahun 1980-an. Kala itu sekitar 700 an rumah dijadikan tempat mesum.