Bukan bermaksud menghimbau para suami untuk berlaku arogan kepada sang istri; dan menempatkan istri pada posisi bawah, yang selalu ditekan dan dizhalimi.
Tidak! Namun, tatkala gemuruh suara emansipasi wanita dan persamaan gender terlalu nyaring terdengar, sehingga hendak membungkam lantunan pesan-pesan Qur’ani yang memposisikan suami sebagai qawwam (pemimpin) di dalam keluarga, maka ini menjadi persoalan tersendiri.
Sehingga, fenomena ‘suti’ (suami takut istri) cukup memilukan hati. ‘Suti’ selalu tunduk di bawah perintah istri dan menuruti semua kehendak istri. ‘Suti’ selalu menyerahkan segala keputusan keluarga kepada istri, dan ia menjadikan istri sebagai leader di dalam keluarga.
Mengapa suami takut kepada istri dan selalu menuruti kehendak istri? Penyebabnya mungkin sangat beragam. Bisa jadi karena istri lebih sempurna dari suami. Istri lebih tinggi status sosialnya, lebih tinggi pendidikannya, lebih kaya dan lebih besar gajinya, sehingga suami merasa minder di hadapan istrinya. Bisa juga karena suami sangat takut jika sang istri marah, ngambek, dan mengumpatnya, sehingga ia cenderung manut dengan istrinya. Walau terkadang kemauan istri itu bertentangan dengan prinsip-prinsip agama. Berapa banyak suami yang ‘terpaksa’ melakukan perbuatan dosa, hanya karena ingin menuruti istri yang terlalu menuntut keduniaan kepada suaminya? Padahal, Islam mengajarkan kesederhanaan, sifat tawadhuk dan qana’ah dalam hidup.
Ar-Rijal Qawwamuna ‘alan Nisa’
Perihal kepemimpinan laki-laki terhadap kaum wanita ditegaskan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…” (An-Nisa’ [4] : 34)
Ibnu Katsir di dalam tafsirnya mengatakan, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,’ artinya seorang lelaki itu menjadi penanggung jawab bagi seorang wanita, menjadi pemimpin, ketua, penguasa dan pemberi pelajaran bila seorang wanita melakukan penyimpangan.” Al-Qurthubi menyatakan, “Ayat di atas menunjukkan kewajiban bagi kaum lelaki untuk mendidik kaum wanita. Jika kaum wanita telah mampu memelihara hak-hak kaum lelaki, maka seorang lelaki tidak berhak memperlakukan mereka secara buruk.”
Terkait dengan sebab turunnya ayat di atas, disebutkan di dalam Aisarut Tafasir lil Kalamil ‘Aliyyil Kabir, bahwasanya Sa’ad bin Ar-Rabi’ pernah marah kepada istrinya, sehingga ia memukulnya. Orang tua istrinya segera mengadukan hal itu kepada Rasulullah. Sepertinya mereka menginginkan qishash. Maka, Allah pun menurunkan firman-Nya, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita…” Orang tua wanita itu berkata, “Kami menginginkan sesuatu, tetapi Allah justru menginginkan sesuatu yang lain. Tapi, apa saja yang Allah inginkan pasti baik.” Ia pun ridha dengan hukum Allah tersebut.
Jadi, kepemimpinan keluarga (al-qawwamah fil bait) dibebankan oleh Allah Ta’ala di pundak kaum lelaki. Dialah yang berkewajiban menuntun, mendidik dan mengarahkan istri serta keluarganya untuk taat kepada Allah. Dialah yang menjadi raja di dalam keluarga.
Dan hendaklah ia menjadi seorang raja yang baik, bukan raja yang zhalim, otoriter, sewenang-wenang dan selalu bersikap keras kepada keluarganya. Walaupun tanggung jawab kepemimpinan berada di tangan suami, namun Islam melarang dirinya berbuat semena-mena kepada istri dan anak-anaknya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling bagus akhlaknya. Dan yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap istri-istrinya.” (HR. Tirmidzi)
Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Seburuk-buruk manusia adalah orang yang membuat sempit terhadap keluarganya.” Para sahabat bertanya, “Bagaimana seseorang bisa membuat sempit terhadap keluarganya sendiri, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Yakni seseorang yang apabila masuk ke rumahnya membuat istrinya merasa takut dan anaknya menjauh. Jika ia keluar rumah, istri dan anggota keluarganya merasa senang.” (HR. Thabrani)
Bagaimana Sikap Istri?
Terkait kepemimpinan suami terhadap istri, lalu bagaimanakah sikap terbaik seorang istri? Yakni, menaati suami, selama ia tidak memerintahkan kemaksiatan dan perbuatan yang bertentangan dengan prinsip agama. Ketaatan seorang istri dan akhlak baik seorang suami akan menjadi energi luar biasa yang akan mampu merubah wajah keluarga menjadi lebih sakinah, lebih Islami, dan lebih diridhai oleh-Nya. Bahkan, sikap taat seorang istri kepada suami menjadi tiket berharga untuk memasuki surga, “Apabila seorang wanita telah melakukan shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, dan menaati suaminya, niscaya ia masuk surga” (HR. Ahmad).
Wahai muslimah, tak usahlah Anda menjadi ‘istri perkasa’ ‘raja’ rumah tangga, yang memposisikan suami di bawah kendali Anda. Jadikan suami tercinta sebagai pemimpin Anda. Bantulah sang suami untuk menjadi seorang pemimpin yang bertakwa. Jangan biarkan ia menjadi ‘suti’ yang tak berdaya. Semoga Anda berdua bisa menggapai bahagia di bawah naungan ridho-Nya.
Wallahul musta’an