Tahun 1948, Partai Komunis Indonesia yang dipimpin oleh Muso, menguasai kota Madiun, disana mereka melumpuhkan berbagai aktifitas pesantren, dan membantai para kiainya.
Setelah itu, berbagai perkampungan Islam mulai menjadi sasaran. Berbagai tempat ibadah, mushola maupun masjid, dinodai dan dirusak, dibakar, kemudian anggota jamaahnya ditangkap.
Selain di Madiun, kekejian PKI juga terjadi di Ponorogo Magetan, Ngawi, Pacitan, Trenggalek, dan berbagai kota lain di Provinsi Jawa Timur.
Penangkapan para pengasuh pesantren ini terjadi secara kontinyu. Bahkan, pada 19 September 1948, KH. Muhammad Nur ditangkap, juga Ustadz Ahmad Baidlowi, Muhammad Maidjo, dan beberapa kiai lain, semuanya dibantai dan dimasukkan ke dalam sumur bersama ratusan kiai lainnya. Ada juga KH. Imam Shofwan, yang dikubur hidup-hidup oleh PKI.
Sejumlah aksi massa PKI juga dilakukan pada pertengahan 1961, yaitu tragedi Kendeng Lembu, Genteng, Banyuwangi (13 Juli 1961), peristiwa Dampar, Mojang, Jember (15 Juli 1961), peristiwa Kaliwaru, Rajab dan Dampit (15 Juli 1961), peristiwa Jengkol, Kediri (3 November 1961), peristiwa GAS di kampong Peneleh, Surabaya (8 November 1962), sampai aksi kejij yang berakhir dengan meninggalnya KH. Djufri Marzuki, dari Larangan, Pamekesan, dan Madura (28 Juli 1965).
Aksi massa sepihak yang dilakukan PKI, realitanya sangat meresahkan masyarakat, terutama umat Islam. Sebab, dalam aksi-aksi tersebut, PKI melancarkan slogan-slogan pengganyangan terhadap apa yang mereka sebut tujuh setan desa. Tujuh setan dimaksud adalah tuan tanah, lintah darat, tengkulak, tukang ijon, kapitalis birokrat, bandit desa, dan pengirim zakat (LSIK, 1988:72).
Dengan masuknya “pengirim zakat” ke dalam kategori tujuh setan desa, jelas umat Islam merasa sangat terancam, aksi massa sepihak yang dilakukan PKI rupanya makin meningkat jangkauannya.
PKI tidak saja mengkapling tanah-tanah milik negara dan milik tuan tanah, melainkan merampas pula tanah milik desa, tanah bengkok, bahkan tanah untuk sekolah-sekolah negeri pun diklaim sebagai tanah milik PKI.
PKI telah menciptakan suasana sedemikian tegang, sehingga sampai pada situasi to kill or to be killed (membunuh atau dibunuh) dalam sebuah perang saudara. Bentrok Banser dengan PKI pecah di Prambon.
Awal mula bentrok itu dimulai ketika Ludruk Lekra mementaskan lakon yang menyakiti hati umat Islam, yakni: “Gusti Allah dadi manten” (Allah menjadi pengantin).
Tontonan ludruk yang temanya dianggap menghina Islam ini membuat Banser marah.
PAra banser membubarkannya. Para pemain ludruk itu dihajar. Bahkan, salah seorang pemain yang memerankan raja, saking ketakutan bersembunyi di kebun dengan pakaian raja.
Bulan Juli 1965, terjadi insiden di Dampit Kabupaten Malang. Ceritanya, di rumah seorang PKI diadakan perhelatan dengan menanggap ludruk Lekra dengan lakon “Malaikat Kawin”. Banser datang dari berbagai desa sekitar untuk menghentikan kegiatan tersebut.
Aksi massa yang cukup berbahaya dari manuver politik PKI adalah usaha-usaha memobilisasi massa untuk melakukan berbagai tindakan kekerasan yang dikenal dengan nama “aksi sepihak”. Dalam tindak-tindak kekerasan yang dinamakan aksi sepihak itu, PKI tidak segan-segan mempermalukan pejabat pemerintah dan bahkan melakukan perampasan-perampasan hak milik orang lain yang mereka golongkan borjuis-feodal. PKI tidak malu mengkapling tanah begara maupun tanah milik warga masyarakat yang mereka anggap borjuis.
Perlawanan GP Ansor
Aksi-aksi massa sepihak yang dilakukan oleh PKI mau tidak mau pada akhirnya menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat yang bukan PKI. Dikatakan meresahkan karena pada umumnya yang menjadi korban PKI adalah anggota PNI, PSI, eks Masyumi, NU, dan organisasi Muhammadiyah.
Ironisnya, aksi-aksi massa sepihak yang dilakukan oleh PKI itu belum pernah mendapat perlawanan dari anggota partai dan organisasi bersangkutan, kecuali GP Ansor, yang mulai menunjukkan perlawanan memasuki tahun 1964 – dalam hal ini KH. M. Yusuf Hasyim dari Pesantren Tebuireng – Jombang, yang tampil sebagai pendiri Barisan Serbaguna Ansor.
Setelah itu, berbagai perkampungan Islam mulai menjadi sasaran. Berbagai tempat ibadah, mushola maupun masjid, dinodai dan dirusak, dibakar, kemudian anggota jamaahnya ditangkap.
Selain di Madiun, kekejian PKI juga terjadi di Ponorogo Magetan, Ngawi, Pacitan, Trenggalek, dan berbagai kota lain di Provinsi Jawa Timur.
Penangkapan para pengasuh pesantren ini terjadi secara kontinyu. Bahkan, pada 19 September 1948, KH. Muhammad Nur ditangkap, juga Ustadz Ahmad Baidlowi, Muhammad Maidjo, dan beberapa kiai lain, semuanya dibantai dan dimasukkan ke dalam sumur bersama ratusan kiai lainnya. Ada juga KH. Imam Shofwan, yang dikubur hidup-hidup oleh PKI.
Sejumlah aksi massa PKI juga dilakukan pada pertengahan 1961, yaitu tragedi Kendeng Lembu, Genteng, Banyuwangi (13 Juli 1961), peristiwa Dampar, Mojang, Jember (15 Juli 1961), peristiwa Kaliwaru, Rajab dan Dampit (15 Juli 1961), peristiwa Jengkol, Kediri (3 November 1961), peristiwa GAS di kampong Peneleh, Surabaya (8 November 1962), sampai aksi kejij yang berakhir dengan meninggalnya KH. Djufri Marzuki, dari Larangan, Pamekesan, dan Madura (28 Juli 1965).
Aksi massa sepihak yang dilakukan PKI, realitanya sangat meresahkan masyarakat, terutama umat Islam. Sebab, dalam aksi-aksi tersebut, PKI melancarkan slogan-slogan pengganyangan terhadap apa yang mereka sebut tujuh setan desa. Tujuh setan dimaksud adalah tuan tanah, lintah darat, tengkulak, tukang ijon, kapitalis birokrat, bandit desa, dan pengirim zakat (LSIK, 1988:72).
Dengan masuknya “pengirim zakat” ke dalam kategori tujuh setan desa, jelas umat Islam merasa sangat terancam, aksi massa sepihak yang dilakukan PKI rupanya makin meningkat jangkauannya.
PKI tidak saja mengkapling tanah-tanah milik negara dan milik tuan tanah, melainkan merampas pula tanah milik desa, tanah bengkok, bahkan tanah untuk sekolah-sekolah negeri pun diklaim sebagai tanah milik PKI.
PKI telah menciptakan suasana sedemikian tegang, sehingga sampai pada situasi to kill or to be killed (membunuh atau dibunuh) dalam sebuah perang saudara. Bentrok Banser dengan PKI pecah di Prambon.
Awal mula bentrok itu dimulai ketika Ludruk Lekra mementaskan lakon yang menyakiti hati umat Islam, yakni: “Gusti Allah dadi manten” (Allah menjadi pengantin).
Tontonan ludruk yang temanya dianggap menghina Islam ini membuat Banser marah.
PAra banser membubarkannya. Para pemain ludruk itu dihajar. Bahkan, salah seorang pemain yang memerankan raja, saking ketakutan bersembunyi di kebun dengan pakaian raja.
Bulan Juli 1965, terjadi insiden di Dampit Kabupaten Malang. Ceritanya, di rumah seorang PKI diadakan perhelatan dengan menanggap ludruk Lekra dengan lakon “Malaikat Kawin”. Banser datang dari berbagai desa sekitar untuk menghentikan kegiatan tersebut.
Aksi massa yang cukup berbahaya dari manuver politik PKI adalah usaha-usaha memobilisasi massa untuk melakukan berbagai tindakan kekerasan yang dikenal dengan nama “aksi sepihak”. Dalam tindak-tindak kekerasan yang dinamakan aksi sepihak itu, PKI tidak segan-segan mempermalukan pejabat pemerintah dan bahkan melakukan perampasan-perampasan hak milik orang lain yang mereka golongkan borjuis-feodal. PKI tidak malu mengkapling tanah begara maupun tanah milik warga masyarakat yang mereka anggap borjuis.
Perlawanan GP Ansor
Aksi-aksi massa sepihak yang dilakukan oleh PKI mau tidak mau pada akhirnya menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat yang bukan PKI. Dikatakan meresahkan karena pada umumnya yang menjadi korban PKI adalah anggota PNI, PSI, eks Masyumi, NU, dan organisasi Muhammadiyah.
Ironisnya, aksi-aksi massa sepihak yang dilakukan oleh PKI itu belum pernah mendapat perlawanan dari anggota partai dan organisasi bersangkutan, kecuali GP Ansor, yang mulai menunjukkan perlawanan memasuki tahun 1964 – dalam hal ini KH. M. Yusuf Hasyim dari Pesantren Tebuireng – Jombang, yang tampil sebagai pendiri Barisan Serbaguna Ansor.