Masjid yang merupakan tempat berkumpulnya umat Islam untuk sholat dan beribadah lain merupakan tempat yang terbukti mendatangkan ketenangan. Betapa banyak orang yang singgah di masjid terutama di perkotaan, selain untuk shalat juga untuk beristirahat melepas penat di tengah aktivitas kerja sehari-hari.
Ada seorang pendakwah yang menceritakan pengalamannya ketika ia mengisi kajian dakwah di luar negeri tepatnya di Tokyo, Jepang. Di negeri sakura itu, ia berjumpa dengan orang Indonesia yang menyatakan kesannya tentang Jepang. Bagaimanapun tingginya tingkat disiplin orang Jepang, namun ternyata ketenangan tidak mudah didapatkan oleh warganya.
"Tingkat bunuh dirinya 30.000 orang per tahun", terang orang Indonesia yang tinggal di Jepang itu. Jika dihitung, jumlahnya mencapai seratus orang yang melakukan praktik bunuh diri dalam sehari. Bahkan, kerap ditemui empat sampai lima mayat dalam sehari di Gunung Fuji.
Profesor dari Chuo University Jepang Hisanori Kato pernah mengatakan bahwa dirinya kagum dengan Islam. Sebab agama Islam mampu menjadi tempat bergantung sekaligus pendorong hidup bagi umatnya.
Guru besar Sosiologi-Antropologi dari Chuo University itu lantas membandingkan orang Jepang dengan orang Indonesia. Orang Jepang masih tabu dengan agama, terlihat dari tingkat bunuh diri di atas.
Sementara itu, dirinya melihat orang Indonesia yang beragama Islam ketika mendapatkan musibah, hal itu dianggap sebagai ujian hidup.
"Orang Jepang tidak pernah menganggap penting agama. Sedangkan Islam tidak ada di Jepang sehingga tidak ada sesuatu yang menjadi tempat bergantung dan juga pendorong untuk hidup," tutur pengarang buku "Kangen Indonesia : Indonesia Di Mata Orang Jepang" ini pada akhir 2015.
Kita lihat di benua lain, di Swedia, tingkat bunuh dirinya juga hampir sama dengan Jepang. Bahkan pemerintah setempat menyediakan lokalisasi khusus untuk warganya yang menginginkan bunuh diri.
Sangking dimakluminya tindakan tersebut, waktu untuk bunuh diri di Jepang konon juga telah terjadwal yakni jam 10 hingga jam 12 siang. Apabila seseorang ingin bunuh diri, ia harus mengatur waktu dengan baik. Jika datang ke lokasi jam 8, terlalu kepagian untuk bunuh diri, sementara jika datang jam 14 akan kesiangan untuk mengakhiri hidup.
Pada suatu hari ada seorang pria dewasa ingin bunuh diri. Ia telah memperoleh jadwal untuk melakukan usaha mengakhiri hidupnya. Dalam perjalanan menuju tempat bunuh diri, secara kebetulan ia bertemu dengan seorang muslim.
Muslim tersebut menanyakan perihal tujuan pria dewasa itu akan hendak pergi ke mana. Pria itu menjawab bahwa dirinya ingin bunuh diri. Ia juga mengatakan waktunya jam 12 siang pada hari itu.
"Masih lama. Sekarang masih ada waktu. Mau ikut saya?" kata muslim itu.
Mulanya, pria dewasa itu tidak bersedia ikut karena takut akan terlambat. Tetapi kemudian ia bersedia mengikuti ajakan orang muslim karena masih ada cukup waktu.
Oleh orang muslim tersebut, ia diajak singgah di sebuah bangunan yang bernama masjid. Karena merasa bukan muslim dan belum mengenali tempat itu sebelumnya, ia menunggu di luar, sedang yang muslim masuk ke dalam masjid.
Di selasar masjid ia mendengarkan ceramah serta bacaan al-Qur'an. Tanpa disadari ia ketiduran saat mendengar suara-suara yang menenangkan itu. Saking pulasnya tertidur, ia tidak tahu jika waktu menunjukkan sudah lewat pukul 12 siang.
"Mohon maaf, saya tidak tega membangunkan Anda karena Anda terlihat lelap sekali. Anda jadi terlewat waktunya untuk bunuh diri. Apa yang mesti saya berikan untuk menggantinya?" kata muslim itu.
Pria dewasa itu justru menjawab dengan perkataan tak terduga. Ia justru bertanya balik, tempat apa yang sedang ia singgahi ini.
"Masjid" Kata muslim.
Kontan saja pria dewasa itu menyatakan bila dirinya tidak jadi bunuh diri.
"Saya tidak bisa tidur 3 hari belakangan ini. Berturut-turut," ungkapnya. Sejak singgah di masjid itulah dirinya bisa tidur. Selain mengurungkan niatnya untuk bunuh diri, pria tersebut akhirnya menyatakan keinginan untuk masuk Islam sebab ia mampu meraih ketenangan di masjid, tempat ibadah kaum muslimin. Allahu Akbar!
Ada seorang pendakwah yang menceritakan pengalamannya ketika ia mengisi kajian dakwah di luar negeri tepatnya di Tokyo, Jepang. Di negeri sakura itu, ia berjumpa dengan orang Indonesia yang menyatakan kesannya tentang Jepang. Bagaimanapun tingginya tingkat disiplin orang Jepang, namun ternyata ketenangan tidak mudah didapatkan oleh warganya.
"Tingkat bunuh dirinya 30.000 orang per tahun", terang orang Indonesia yang tinggal di Jepang itu. Jika dihitung, jumlahnya mencapai seratus orang yang melakukan praktik bunuh diri dalam sehari. Bahkan, kerap ditemui empat sampai lima mayat dalam sehari di Gunung Fuji.
Profesor dari Chuo University Jepang Hisanori Kato pernah mengatakan bahwa dirinya kagum dengan Islam. Sebab agama Islam mampu menjadi tempat bergantung sekaligus pendorong hidup bagi umatnya.
Guru besar Sosiologi-Antropologi dari Chuo University itu lantas membandingkan orang Jepang dengan orang Indonesia. Orang Jepang masih tabu dengan agama, terlihat dari tingkat bunuh diri di atas.
Sementara itu, dirinya melihat orang Indonesia yang beragama Islam ketika mendapatkan musibah, hal itu dianggap sebagai ujian hidup.
"Orang Jepang tidak pernah menganggap penting agama. Sedangkan Islam tidak ada di Jepang sehingga tidak ada sesuatu yang menjadi tempat bergantung dan juga pendorong untuk hidup," tutur pengarang buku "Kangen Indonesia : Indonesia Di Mata Orang Jepang" ini pada akhir 2015.
Kita lihat di benua lain, di Swedia, tingkat bunuh dirinya juga hampir sama dengan Jepang. Bahkan pemerintah setempat menyediakan lokalisasi khusus untuk warganya yang menginginkan bunuh diri.
Sangking dimakluminya tindakan tersebut, waktu untuk bunuh diri di Jepang konon juga telah terjadwal yakni jam 10 hingga jam 12 siang. Apabila seseorang ingin bunuh diri, ia harus mengatur waktu dengan baik. Jika datang ke lokasi jam 8, terlalu kepagian untuk bunuh diri, sementara jika datang jam 14 akan kesiangan untuk mengakhiri hidup.
Pada suatu hari ada seorang pria dewasa ingin bunuh diri. Ia telah memperoleh jadwal untuk melakukan usaha mengakhiri hidupnya. Dalam perjalanan menuju tempat bunuh diri, secara kebetulan ia bertemu dengan seorang muslim.
Muslim tersebut menanyakan perihal tujuan pria dewasa itu akan hendak pergi ke mana. Pria itu menjawab bahwa dirinya ingin bunuh diri. Ia juga mengatakan waktunya jam 12 siang pada hari itu.
"Masih lama. Sekarang masih ada waktu. Mau ikut saya?" kata muslim itu.
Mulanya, pria dewasa itu tidak bersedia ikut karena takut akan terlambat. Tetapi kemudian ia bersedia mengikuti ajakan orang muslim karena masih ada cukup waktu.
Oleh orang muslim tersebut, ia diajak singgah di sebuah bangunan yang bernama masjid. Karena merasa bukan muslim dan belum mengenali tempat itu sebelumnya, ia menunggu di luar, sedang yang muslim masuk ke dalam masjid.
Di selasar masjid ia mendengarkan ceramah serta bacaan al-Qur'an. Tanpa disadari ia ketiduran saat mendengar suara-suara yang menenangkan itu. Saking pulasnya tertidur, ia tidak tahu jika waktu menunjukkan sudah lewat pukul 12 siang.
"Mohon maaf, saya tidak tega membangunkan Anda karena Anda terlihat lelap sekali. Anda jadi terlewat waktunya untuk bunuh diri. Apa yang mesti saya berikan untuk menggantinya?" kata muslim itu.
Pria dewasa itu justru menjawab dengan perkataan tak terduga. Ia justru bertanya balik, tempat apa yang sedang ia singgahi ini.
"Masjid" Kata muslim.
Kontan saja pria dewasa itu menyatakan bila dirinya tidak jadi bunuh diri.
"Saya tidak bisa tidur 3 hari belakangan ini. Berturut-turut," ungkapnya. Sejak singgah di masjid itulah dirinya bisa tidur. Selain mengurungkan niatnya untuk bunuh diri, pria tersebut akhirnya menyatakan keinginan untuk masuk Islam sebab ia mampu meraih ketenangan di masjid, tempat ibadah kaum muslimin. Allahu Akbar!