Di bulan Ramadhan ini, saudara-saudara muslim Uighur di Xinjiang dikabarkan masih mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan. Pemerintah Cina tetap menerbitkan peraturan yang melanggar kebebasan warga muslim untuk menjalankan ibadah mereka.
Terhadap wilayah otonom Xinjiang yang mayoritas muslim, pemerintah Cina masih diberitakan mengeluarkan larangan menjalankan puasa dan shalat bagi mayoritas Muslim Uighur yang secara genetis merupakan ras keturunan muslim Turki tersebut. Peluang munculnya konflik semakin besar bila kebijakan ini masih berlaku.
"Apabila Pemerintah Cina tidak mengindahkan, bukan hal yang mustahil Negara Arab dan Islam akan melakukan pemboikotan terhadap produk Cina," tutur Ketua MUI bidang Hubungan Luar Negeri, KH Muhyidin Junaidi sebagaimana dilansir Republika, Senin (12/6/17)
Ditegaskan oleh Kiyai Muhyidin, MUI telah melakukan mediasi dengan pihak Kedubes Cina di Jakarta. Pada saat momen tatap muka itu, Kedubes Cina menjelaskan bahwa kebijakan larangan shalat dan berpuasa di bulan Ramadhan merupakan warisan pejabat sebelumnya. Adapun pemerintah sekarang yang sedang menjabat, sayangnya kurang mengerti peraturan, sehingga kebijakan yang diskrimiatif tersebut masih diberlakukan.
Kiyai Muhyidin menegaskan pula, kebijakan tersebut tidak sejalan dengan good governance serta merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM). Tidak ada pilihan lain, Pemerintah Cina harus segera menghapus larangan tersebut bila tidak ingin muncul reaksi dalam skala internasional.
"Mereka (Pemerintah Muslim) bisa melakukan tindakan balasan terhadap orang-orang Cina yang ada di negara masing-masing," lanjut Kiyai Muhyidin.
Terdapat sekitar 20 juta jiwa penduduk muslim di negeri Tirai Bambu itu, termasuk suku Hui yang salah satu nenek moyangnya adalah Laksamana Cheng Ho, pimpinan armada muslim Tiongkok ke nusantara beberapa abad lalu.
Namun, suku Uighur dilaporkan menerima tekanan lebih besar dibanding etnis muslim lainnya oleh pejabat pemerintah yang berpusat di Beijing. Berbeda dengan muslim Uighur, suku Hui bebas menjalankan ibadah mereka.
Spekulasi pun muncul. Kajian yang dipublikasikan Global Voices menyatakan, kecurigaaan Beijing terhadap etnis Uighur terasa sejak dua abad lalu. Wilayah Xinjiang (dalam bahasa Mandarin bermakna 'daerah kekuasaan baru') baru tunduk pada ekspedisi militer Dinasti Qin pada 1750.
Selama berabad-abad sebelumnya, mereka hidup mandiri tanpa tunduk pada kekuasaan manapun. Warga Uighur secara fisik memiliki warna kulit putih dan secara budaya lebih dekat dengan ras Turkistan. Mungkin inilah penyebabnya.
Terhadap wilayah otonom Xinjiang yang mayoritas muslim, pemerintah Cina masih diberitakan mengeluarkan larangan menjalankan puasa dan shalat bagi mayoritas Muslim Uighur yang secara genetis merupakan ras keturunan muslim Turki tersebut. Peluang munculnya konflik semakin besar bila kebijakan ini masih berlaku.
"Apabila Pemerintah Cina tidak mengindahkan, bukan hal yang mustahil Negara Arab dan Islam akan melakukan pemboikotan terhadap produk Cina," tutur Ketua MUI bidang Hubungan Luar Negeri, KH Muhyidin Junaidi sebagaimana dilansir Republika, Senin (12/6/17)
Ditegaskan oleh Kiyai Muhyidin, MUI telah melakukan mediasi dengan pihak Kedubes Cina di Jakarta. Pada saat momen tatap muka itu, Kedubes Cina menjelaskan bahwa kebijakan larangan shalat dan berpuasa di bulan Ramadhan merupakan warisan pejabat sebelumnya. Adapun pemerintah sekarang yang sedang menjabat, sayangnya kurang mengerti peraturan, sehingga kebijakan yang diskrimiatif tersebut masih diberlakukan.
Kiyai Muhyidin menegaskan pula, kebijakan tersebut tidak sejalan dengan good governance serta merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM). Tidak ada pilihan lain, Pemerintah Cina harus segera menghapus larangan tersebut bila tidak ingin muncul reaksi dalam skala internasional.
"Mereka (Pemerintah Muslim) bisa melakukan tindakan balasan terhadap orang-orang Cina yang ada di negara masing-masing," lanjut Kiyai Muhyidin.
Terdapat sekitar 20 juta jiwa penduduk muslim di negeri Tirai Bambu itu, termasuk suku Hui yang salah satu nenek moyangnya adalah Laksamana Cheng Ho, pimpinan armada muslim Tiongkok ke nusantara beberapa abad lalu.
Namun, suku Uighur dilaporkan menerima tekanan lebih besar dibanding etnis muslim lainnya oleh pejabat pemerintah yang berpusat di Beijing. Berbeda dengan muslim Uighur, suku Hui bebas menjalankan ibadah mereka.
Spekulasi pun muncul. Kajian yang dipublikasikan Global Voices menyatakan, kecurigaaan Beijing terhadap etnis Uighur terasa sejak dua abad lalu. Wilayah Xinjiang (dalam bahasa Mandarin bermakna 'daerah kekuasaan baru') baru tunduk pada ekspedisi militer Dinasti Qin pada 1750.
Selama berabad-abad sebelumnya, mereka hidup mandiri tanpa tunduk pada kekuasaan manapun. Warga Uighur secara fisik memiliki warna kulit putih dan secara budaya lebih dekat dengan ras Turkistan. Mungkin inilah penyebabnya.