Kisah tentang orang-orang yang mampu menghafal al-Qur’an sebelum dewasa telah banyak didengar. Di masa lalu, Imam Syafi’i, seorang ulama ahli fiqh dan bahasa yang madzhabnya banyak diikuti oleh masyarakat Indonesia telah hafal seluruh al-Qur’an saat usianya baru 7 tahun. Saat ini, kita jumpai nama Husein Thaba’thaba’i asal Iran yang juga hafal al-Qur’an sejak kecil bahkan sekaligus faham isi kandungannya.
Musa, bocah cilik asal Indonesia pun menyihir perhatian kita beberapa tahun belakangan. Sejak lisan Musa belum jelas mengucapkan beberapa huruf karena masih kecil, ia mampu mengkhatamkan hafalannya. Pondok pesantren di Indonesia yang mampu meluluskan bocah-bocah penghafal al-Qur’an pun sudah banyak.
Tentu kita patut bangga dengan prestasi anak bangsa ini. Namun, ribuan pula orang yang sudah menghafal al-Qur’an namun belum selesai selama puluhan tahun. Rasa pesimis pun muncul. Jika anda atau kerabat anda termasuk di dalamnya, simak kisah para sahabat Nabi berikut.
Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat sekaligus ayah mertua Nabi. Kalangan orang dewasa yang masuk Islam pertama kali. Ia beriman setelah wahyu untuk berdakwah turun pada Nabi. Artinya, sejak saat itu ia mengenal ayat al-Qur’an sekaligus mulai menghafalnya. Abu Bakar 3 tahun lebih muda dari Nabi. Jika wahyu turun saat Nabi berusia 40 tahun, artinya usia Abu Bakar saat itu 37 tahun. Sampai wahyu terakhir turun, Abu Bakar berusia 60 tahun. Jadi selama 23 tahun ia menghafal al-Qur’an.
Ali bin Abi Thalib, saudara sepupu sekaligus menantu Nabi. Kalangan anak-anak yang masuk Islam pertama kali. Sebagaimana Abu Bakar, ia beriman setelah wahyu tentang dakwah turun dan usianya baru 10 tahun. Utsman bin ‘Affan dan Abdurrahman bin ‘Auf. Para saudagar kaya ini merupakan relasi Abu Bakar. Beberapa saat setelah Abu Bakar beriman, kedua saudagar kaya itu pun ikut masuk Islam. Ini berarti, lebih dari 20 tahun pula waktu bagi mereka untuk menyelesaikan hafalan al-Qur’an.
Umar bin Khattab, seorang pembesar Quraisy yang awalnya sangat memusuhi Nabi. Atas kehendak Allah, hidayah sampai pada hatinya hingga ia menjadi sahabat yang pembelaannya pada Nabi terkenal paling keras. Umar masuk Islam pada 616 M, 6 tahun setelah Muhammad menjadi seorang Nabi. Jika Nabi wafat pada 632 M, maka selama kurang lebih 16 tahun Umar menyelesaikan hafalan al-Qur’an. Tentunya hafalan para sahabat tidak sekedar lafadz, namun sekaligus makna.
Kisah-kisah tersebut merupakan motivasi bagi kita bahwa tidak ada batasan umur dalam menghafal al-Qur’an, baik saat memulai maupun kapan mampu menyelesaikannya.
“Dan sungguh benar-benar kami telah memudahkan Al-Qur’an untuk diingat, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?”, demikian makna firman Allah yang terulang-ulang dalam sutar Al-Qamar. Jika hafalan belum mampu selesai, interaksi dengan al-Qur’an harus tetap terjaga, yakni senantiasa membaca dan mempelajarinya.
“Sebaik-baik kalian adalah yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya”. Sesungguhnya orang yang di dalam dirinya tidak ada sedikitpun dari Al-Qur’an, ia seperti rumah yang kosong”. Semoga kutipan-kutipan hadits ini menjadi pemacu bagi kita sebagai wujud cinta pada kitab yang Allah turunkan sejak 13 Abad lalu. Wallahu a’lam.
Musa, bocah cilik asal Indonesia pun menyihir perhatian kita beberapa tahun belakangan. Sejak lisan Musa belum jelas mengucapkan beberapa huruf karena masih kecil, ia mampu mengkhatamkan hafalannya. Pondok pesantren di Indonesia yang mampu meluluskan bocah-bocah penghafal al-Qur’an pun sudah banyak.
Tentu kita patut bangga dengan prestasi anak bangsa ini. Namun, ribuan pula orang yang sudah menghafal al-Qur’an namun belum selesai selama puluhan tahun. Rasa pesimis pun muncul. Jika anda atau kerabat anda termasuk di dalamnya, simak kisah para sahabat Nabi berikut.
Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat sekaligus ayah mertua Nabi. Kalangan orang dewasa yang masuk Islam pertama kali. Ia beriman setelah wahyu untuk berdakwah turun pada Nabi. Artinya, sejak saat itu ia mengenal ayat al-Qur’an sekaligus mulai menghafalnya. Abu Bakar 3 tahun lebih muda dari Nabi. Jika wahyu turun saat Nabi berusia 40 tahun, artinya usia Abu Bakar saat itu 37 tahun. Sampai wahyu terakhir turun, Abu Bakar berusia 60 tahun. Jadi selama 23 tahun ia menghafal al-Qur’an.
Ali bin Abi Thalib, saudara sepupu sekaligus menantu Nabi. Kalangan anak-anak yang masuk Islam pertama kali. Sebagaimana Abu Bakar, ia beriman setelah wahyu tentang dakwah turun dan usianya baru 10 tahun. Utsman bin ‘Affan dan Abdurrahman bin ‘Auf. Para saudagar kaya ini merupakan relasi Abu Bakar. Beberapa saat setelah Abu Bakar beriman, kedua saudagar kaya itu pun ikut masuk Islam. Ini berarti, lebih dari 20 tahun pula waktu bagi mereka untuk menyelesaikan hafalan al-Qur’an.
Umar bin Khattab, seorang pembesar Quraisy yang awalnya sangat memusuhi Nabi. Atas kehendak Allah, hidayah sampai pada hatinya hingga ia menjadi sahabat yang pembelaannya pada Nabi terkenal paling keras. Umar masuk Islam pada 616 M, 6 tahun setelah Muhammad menjadi seorang Nabi. Jika Nabi wafat pada 632 M, maka selama kurang lebih 16 tahun Umar menyelesaikan hafalan al-Qur’an. Tentunya hafalan para sahabat tidak sekedar lafadz, namun sekaligus makna.
Kisah-kisah tersebut merupakan motivasi bagi kita bahwa tidak ada batasan umur dalam menghafal al-Qur’an, baik saat memulai maupun kapan mampu menyelesaikannya.
“Dan sungguh benar-benar kami telah memudahkan Al-Qur’an untuk diingat, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?”, demikian makna firman Allah yang terulang-ulang dalam sutar Al-Qamar. Jika hafalan belum mampu selesai, interaksi dengan al-Qur’an harus tetap terjaga, yakni senantiasa membaca dan mempelajarinya.
“Sebaik-baik kalian adalah yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya”. Sesungguhnya orang yang di dalam dirinya tidak ada sedikitpun dari Al-Qur’an, ia seperti rumah yang kosong”. Semoga kutipan-kutipan hadits ini menjadi pemacu bagi kita sebagai wujud cinta pada kitab yang Allah turunkan sejak 13 Abad lalu. Wallahu a’lam.