Pertanyaan :
Assalamualaikum Pak ustadz. Saya mau nanya. Dulu saya pacaran dan pernah memasukan jari saya ke bagian intim pacar saya dan sebaliknya pacar saya memegang milik saya sampai ejakulasi. Tetapi kami hanya sebatas melakukan itu. Tidak sampai berbuat zina, Yang saya tanyakan apakah ini termasuk zina yang kena cambuk atau rajam dan bagaimana cara saya bertaubat dari ini?
Mohon penjelasannya ustadz, Sebelumnya saya ucapkan terima kasih,
Wassalam
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sebelum kita masuk ke dalam pengertian zina menurut para ulama dan batasan serta kriterianya, kita perlu menelusuri makna kata zina secara bahasa (etimologi).
Kata zina (الزنا - الزنى) di dalam bahasa Arab ditulis dengan dua versi. Versi pertama terdiri dari huruf hijaiyah : Zai – Nun - Alif Mumtaddah (زنا). Ini adalah tulisan versi orang-orang Taim.
Dan versi kedua ditulis dengan huruf hijaiyah : Zai – Nun –Alif Muqashsharah (زنى). Ini adalah tulisan dalam versi orang-orang Hijaz.
Lalu apa makna kata zina itu sendiri menurut bahasa?
As-Sarakhsi di dalam Al-Mabsuth berasal dari kata az-zanaa’ (الزَّنَاء) yang berarti adh-dhiiq (الضيق) yaitu kesempitan.
Tentu makna bahasa zina jauh sekali dengan pengertian istilah zina dalam terminologi fiqih yang kita kenal. Mari kita buka kitab-kitab fiqih para ulama dan kita telusuri apa saja definisi yang mereka kemukakan tentang zina, baik madzhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah atau pun Al-Hanabilah.
A. Madzhab Al-Hanafiyah
Madzhab Al-Hanafiyah menyebutkan bahwa defisini zina adalah :
Hubungan seksual yang dilakukan seorang laki-laki kepada seorang perempuan pada kemaluannya, yang bukan budak wanitanya dan bukan akad yang syubhat
Definisi ini menegaskan kriteria zina itu :
Dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, kalau laki-laki melakukannya dengan sesama jenis atau perempuan dengan sesama jenis, tidak termasuk kriteria zina, walau pun tetap berdosa.
Pada kemaluan atau faraj, kalau dilakukan pada dubur meski tetap haram namun bukan termasuk kriteria zina
Perempuan itu bukan budak wanita, kalau dilakukan pada istrinya juga bukan termasuk kriteria zina.
Dan juga bukan syubhat.
1. As-Sarakhsi (w. 483 H) salah satu ulama madzhab Al-Hanafiyah menuliskan di dalam kitabnya, Al-Mabsuth, bahwa yang dimaksud dengan zina adalah :
Zina adalah perbuatan maknawi dengan tujuan yaitu memasukkan kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan perempuan dalam hukum yang haram di luar syubhat. [As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, jilid 9 hal. 77]
2. Ibnul Humam (w. 861 H) yang juga merupakan ulama dari kalangan madzhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Fathul Qadir menuliskan bahwa zina adalah :
Zina secara bahasa adalah perbuatan haram yang dilakukan oleh seorang mukhathab, yaitu memasukkan ujung kemaluannya ke dalam kemaluan wanita yang musytaha sekarang atau sebelumnya di luar hubungan kepemilikan (budak) atau syubhat. [Ibnul Humam, Fathul Qadir, jilid 5 hal. 272]
Dari definisi ini ada beberapa unsur yang dikategorikan zina, yaitu :
Zina dilakukan oleh seorang mukallaf, kalau anak kecil atau orang yang tidak berakal seperti orang gila, tidak termasuk zina.
Dia memasukkan kemaluannya meski hanya ujungnya ke dalam kemaluan wanita, sehingga kalau tidak terjadi penetrasi penis ke dalam vagina, meski tetap berdosa namun tidak termasuk kriteria zina.
Wanita itu musytaha, maksudnya memang wanita yang wajar untuk disetubuhi, bukan mayat atau anak bayi yang secar umum tidak menarik bagi laki-laki untuk menyetubuhinya.
Di luar hubungan kepemilikan budak atau syubhat kepemilikan. Maka kalau wanita yang disetubuhi itu merupakan budak yang dimilikinya, atau wanita yang status nikahnya syubhat, bukan termasuk zina.
B. Madzhab Al-Malikiyah
1. Khalil bin Ishaq bin Musa (w. 776 H) salah satu ulama dari kalangan madzhab Al-Malikiyah di dalam kitabnya Mukhtashar Al-Khalil menuliskan pengertian zina sebagai berikut :
Hubungan seksual yang dilakukan oleh seorang mukallaf muslim pada faraj adami (manusia), yang bukan budak miliknya, tanpa ada syubhat dan dilakukan dengan sengaja. [Khalil bin Ishaq bin Musa, Mukhtashar Al-Khalil, jilid 1 hal. 240]
2. Ibnu Rusydi (W. 595 H) yang mewakili madzhab Al-Malikiyah di dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid menuliskan bahwa yang dimaksud dengan zina dalam istilah para fuqaha adalah :
Zina adalah segala bentuk persetubuhan yang dilakukan di luar nikah yang sah, bukan nikah syubhat dan bukan pada budak yang dimiliki. [Ibnu Rusydi, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, jilid 4 hal. 215]
C. Madzhab Asy-Syafi’iyah
1. Sulaiman bin Umar bin Manshur Al-Ajili (w. 1204 H) di dalam kitabnya Hasyiatul Jumal 'ala Syahril Minhaj menuliskan definisi tentang istilah zina sebagai :
Masuknya ujung kemaluan laki-laki meskipun sebagiannya ke dalam kemaluan wanita yang haram, dalam keadaan syahwat yang alami tanpa syubhat. [Sulaiman bin Umar bin Manshur Al-Ajili, Hasyiatul Jumal 'ala Syahril Minhaj, jilid 5 hal. 128]
2. Asy-Syairazi (w. 476 H) dari madzhab Asy-Syafi’iyah di dalam kitab Al-Muhadzdzab menuliskian tentang zina sebagai berikut :
Hubungan seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki dari penduduk darul-islam kepada seorang perempuan yang haram baginya, yaitu tanpa akad nikah, atau syibhu akad, atau budak wanita yang dimiliki, dalam keadaan berakal, bisa memilih dan tahu keharamannya. [Asy-Syairazi, Al-Muhadzdzab, jilid 3 hal. 334]
D. Madzhab Al-Hanabilah
1. Ibnu Muflih (w. 884 H) di dalam kitab Al-Mubdi' fi Syarhil Muqni' menuliskan tentang zina yang terkena hukum hudud :
Tidaklah wajib dihukum hudud kecuali dengan tiga syarat. Pertama, menyetubuhi pada faraj baik depan atau belakang. Minimal dengan lenyapnya hasyafah penis laki-laki yang ke dalam vagina. Bila bukan ke dalam vagina atau wanita dengan wanita maka tidak ada hukuman hudud. [Ibnu Muflih, Al-Mubdi' fi Syarhil Muqni', jilid 7 hal. 388]
Kesimpulan :
1. Dari pemaparan para ulama di atas terkait dengan batas-batas zina, memang jelas sekali bahwa zina yang terkena hukum hudud baik rajam atau cambuk hanyalah bila penis laki-laki masuk sebagian atau seluruhnya ke dalam vagina wanita yang bukan istri, budak atau syubhat.
2. Namun demikian meski tidak ada hukum cambuk atau rajam, tetap saja perbuatan seperti itu haram dan berdosa. Karena sudah melanggar ketentuan syariah untuk tidak mendekati zina. Dan hakim bisa saja menjatuhkan hukuman, yang disebut dengan hukum ta'zir.
Bentuknya diserahkan kepada hakim. Misalnya bisa saja pasangan yang melakukan perbuatan ini meski tidak sampai penetrasi dihukum cambuk 99 kali. Cuma beda satu cambukan dari yang melakukan penetrasi. Semua diserahkan hakim yang menanganinya.
3. Lepas dari ada atau tidak ada hukum cambuk dan rajam, tetapi pelaku zina wajib bertaubat kepada Allah SWT. Cara sederhananya adalah dengan berhenti dari melakukan itu, niat dan tekat tidak mengulanginya lagi, serta ada penyesalan yang mendalam di hati.
Setelah itu gantilah dosa dengan melakukan banyak amal-amal kebaikan. Dan satu yang paling penting, rahasiakan aib ini kepada siapapun juga. Sebab ampunan dari Allah akan dibatalkan manakala pelaku dosa malah mengadakan pameran dosa sendiri kepada manusia.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Assalamualaikum Pak ustadz. Saya mau nanya. Dulu saya pacaran dan pernah memasukan jari saya ke bagian intim pacar saya dan sebaliknya pacar saya memegang milik saya sampai ejakulasi. Tetapi kami hanya sebatas melakukan itu. Tidak sampai berbuat zina, Yang saya tanyakan apakah ini termasuk zina yang kena cambuk atau rajam dan bagaimana cara saya bertaubat dari ini?
Mohon penjelasannya ustadz, Sebelumnya saya ucapkan terima kasih,
Wassalam
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sebelum kita masuk ke dalam pengertian zina menurut para ulama dan batasan serta kriterianya, kita perlu menelusuri makna kata zina secara bahasa (etimologi).
Kata zina (الزنا - الزنى) di dalam bahasa Arab ditulis dengan dua versi. Versi pertama terdiri dari huruf hijaiyah : Zai – Nun - Alif Mumtaddah (زنا). Ini adalah tulisan versi orang-orang Taim.
Dan versi kedua ditulis dengan huruf hijaiyah : Zai – Nun –Alif Muqashsharah (زنى). Ini adalah tulisan dalam versi orang-orang Hijaz.
Lalu apa makna kata zina itu sendiri menurut bahasa?
As-Sarakhsi di dalam Al-Mabsuth berasal dari kata az-zanaa’ (الزَّنَاء) yang berarti adh-dhiiq (الضيق) yaitu kesempitan.
Tentu makna bahasa zina jauh sekali dengan pengertian istilah zina dalam terminologi fiqih yang kita kenal. Mari kita buka kitab-kitab fiqih para ulama dan kita telusuri apa saja definisi yang mereka kemukakan tentang zina, baik madzhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah atau pun Al-Hanabilah.
A. Madzhab Al-Hanafiyah
Madzhab Al-Hanafiyah menyebutkan bahwa defisini zina adalah :
وطء الرّجل المرأة في القبل بغير ملك ولا شبهة
Definisi ini menegaskan kriteria zina itu :
Dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, kalau laki-laki melakukannya dengan sesama jenis atau perempuan dengan sesama jenis, tidak termasuk kriteria zina, walau pun tetap berdosa.
Pada kemaluan atau faraj, kalau dilakukan pada dubur meski tetap haram namun bukan termasuk kriteria zina
Perempuan itu bukan budak wanita, kalau dilakukan pada istrinya juga bukan termasuk kriteria zina.
Dan juga bukan syubhat.
1. As-Sarakhsi (w. 483 H) salah satu ulama madzhab Al-Hanafiyah menuliskan di dalam kitabnya, Al-Mabsuth, bahwa yang dimaksud dengan zina adalah :
أن الزنا فعل معنوي له غرض وهو إيلاج الفرج في الفرج على وجه محظور لا شبهة فيه
2. Ibnul Humam (w. 861 H) yang juga merupakan ulama dari kalangan madzhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Fathul Qadir menuliskan bahwa zina adalah :
كون الزنا في اللغة هو الفعل المحرم ممن هو مخاطب ممنوع بل إدخال الرجل قدر حشفته قبل مشتهاة حالا أو ماضيا بلا ملك وشبهة
Dari definisi ini ada beberapa unsur yang dikategorikan zina, yaitu :
Zina dilakukan oleh seorang mukallaf, kalau anak kecil atau orang yang tidak berakal seperti orang gila, tidak termasuk zina.
Dia memasukkan kemaluannya meski hanya ujungnya ke dalam kemaluan wanita, sehingga kalau tidak terjadi penetrasi penis ke dalam vagina, meski tetap berdosa namun tidak termasuk kriteria zina.
Wanita itu musytaha, maksudnya memang wanita yang wajar untuk disetubuhi, bukan mayat atau anak bayi yang secar umum tidak menarik bagi laki-laki untuk menyetubuhinya.
Di luar hubungan kepemilikan budak atau syubhat kepemilikan. Maka kalau wanita yang disetubuhi itu merupakan budak yang dimilikinya, atau wanita yang status nikahnya syubhat, bukan termasuk zina.
B. Madzhab Al-Malikiyah
1. Khalil bin Ishaq bin Musa (w. 776 H) salah satu ulama dari kalangan madzhab Al-Malikiyah di dalam kitabnya Mukhtashar Al-Khalil menuliskan pengertian zina sebagai berikut :
وطءُ مُكلف مُسلم فرج آدميّ لا ملك له فيه باتفاق تعمدا
- Hubungan seksual : kalau tidak terjadi hubungan seksual seperti percumbuan, bukan termasuk zina, meski tetap diharamkan.
- Yang dilakukan oleh seorang mukallaf : maksudnya adalah orang yang akil baligh. Sehingga bila pelakunya orang gila atau anak kecil, bukan termasuk zina.
- Yang muslim : sehingga bila pelakunya bukan muslim, tidak termasuk yang dikenakan hukuman hudud, yaitu rajam atau cambuk.
- Pada faraj manusia : sehingga bila hubungan itu tidak dilakukan pada kemaluan, seperti anus dan lainnya, meski tetap haram namun bukan termasuk zina.
- Adami : maksudnya faraj itu milik seorang manusia dan bukan faraj hewan. Hubungan seksual manusia dan hewan meski hukumnya terlarang, tetapi dalam konteks ini bukan termasuk zina.
- Yang bukan budak miliknya
- Tanpa ada syubhat
- Dilakukan dengan sengaja
2. Ibnu Rusydi (W. 595 H) yang mewakili madzhab Al-Malikiyah di dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid menuliskan bahwa yang dimaksud dengan zina dalam istilah para fuqaha adalah :
فأما الزنى فهو كل وطء وقع على غير نكاح ولا شبهة نكاح ولا ملك يمين
- Segala bentuk persetubuhan
- yang dilakukan di luar nikah yang sah,
- bukan nikah syubhat
- dan bukan pada budak yang dimiliki.
C. Madzhab Asy-Syafi’iyah
1. Sulaiman bin Umar bin Manshur Al-Ajili (w. 1204 H) di dalam kitabnya Hasyiatul Jumal 'ala Syahril Minhaj menuliskan definisi tentang istilah zina sebagai :
إيلاج حشفة أو قدرها في فرج محرّم لعينه مشتهى طبعا بلا شبهة
- Masuknya ujung kemaluan laki-laki meskipun sebagiannya
- ke dalam kemaluan wanita
- yang haram,
- dalam keadaan syahwat yang alami
- tanpa syubhat.
2. Asy-Syairazi (w. 476 H) dari madzhab Asy-Syafi’iyah di dalam kitab Al-Muhadzdzab menuliskian tentang zina sebagai berikut :
وطء رجل من أهل دار الإسلام امرأة محرمة عليه من غير عقد ولا شبهة عقد ولا ملك وهو عاقل مختار عالم بالتحريم
- Hubungan seksual
- yang dilakukan oleh seorang laki-laki
- dari penduduk darul-islam
- kepada seorang perempuan
- yang haram baginya,
- yaitu tanpa akad nikah,
- atau syibhu akad,
- atau budak wanita yang dimiliki,
- dalam keadaan berakal,
- bisa memilih
- dan tahu keharamannya.
D. Madzhab Al-Hanabilah
1. Ibnu Muflih (w. 884 H) di dalam kitab Al-Mubdi' fi Syarhil Muqni' menuliskan tentang zina yang terkena hukum hudud :
ولا يجب الحد إلا بشروط ثلاثة أحدها: أن يطأ في الفرج سواء كان قبلا أو دبرا وأقل ذلك تغييب الحشفة في الفرج فإن وطئ دون الفرج أو أتت المرأة المرأة فلا حد عليهما
Tidaklah wajib dihukum hudud kecuali dengan tiga syarat. Pertama, menyetubuhi pada faraj baik depan atau belakang. Minimal dengan lenyapnya hasyafah penis laki-laki yang ke dalam vagina. Bila bukan ke dalam vagina atau wanita dengan wanita maka tidak ada hukuman hudud. [Ibnu Muflih, Al-Mubdi' fi Syarhil Muqni', jilid 7 hal. 388]
Kesimpulan :
1. Dari pemaparan para ulama di atas terkait dengan batas-batas zina, memang jelas sekali bahwa zina yang terkena hukum hudud baik rajam atau cambuk hanyalah bila penis laki-laki masuk sebagian atau seluruhnya ke dalam vagina wanita yang bukan istri, budak atau syubhat.
2. Namun demikian meski tidak ada hukum cambuk atau rajam, tetap saja perbuatan seperti itu haram dan berdosa. Karena sudah melanggar ketentuan syariah untuk tidak mendekati zina. Dan hakim bisa saja menjatuhkan hukuman, yang disebut dengan hukum ta'zir.
Bentuknya diserahkan kepada hakim. Misalnya bisa saja pasangan yang melakukan perbuatan ini meski tidak sampai penetrasi dihukum cambuk 99 kali. Cuma beda satu cambukan dari yang melakukan penetrasi. Semua diserahkan hakim yang menanganinya.
3. Lepas dari ada atau tidak ada hukum cambuk dan rajam, tetapi pelaku zina wajib bertaubat kepada Allah SWT. Cara sederhananya adalah dengan berhenti dari melakukan itu, niat dan tekat tidak mengulanginya lagi, serta ada penyesalan yang mendalam di hati.
Baca Juga: Cara Bertaubat Dari Zina Menurut Islam
Setelah itu gantilah dosa dengan melakukan banyak amal-amal kebaikan. Dan satu yang paling penting, rahasiakan aib ini kepada siapapun juga. Sebab ampunan dari Allah akan dibatalkan manakala pelaku dosa malah mengadakan pameran dosa sendiri kepada manusia.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA