Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Perkenalkan nama saya Aditama, seorang pelajar SMA. Umur saya 17 tahun baru-baru ini saya seorang muslim (mualaf, red).
Ustadz dengan memohon ampunanNya. Asstagfirullah saya telah melakukan onani saya menyesal telah melakukanya, tetapi terkadang saya melakukanya lagi bahkan sampai sekarang. Apakah onani termasuk dosa? Saya mohon penjelasannya jika benar onani termasuk dosa saya ingin sekali berhenti melakukannya dan bertaubat kepada Allah SWT. Dan tolong berikan cara agar saya bisa berhenti melakukan onani.
Mohon dengan sangat ustadz balas email dari saya ini. Saya bingung dan serba salah, dilain sisi saya takut berdosa dan disisi lain saya menginginkan hawa nafsu saya terpenuhi tanpa melakukan zina dengan lawan jenis. Terima kasih
(AR, 17 Tahun)
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh
Perlu kita ketahui, Baik Al-Quran Al-Karim atau Al Hadits sama-sama tidak menyebutkan hukum onani secara sharih (jelas). Yang ada adalah kesimpulan yang diambil oleh para ulama sebagai bentuk apa yang mereka pahami dari semua nash di dalam keduanya.
Sehingga wajar jika tidak semua ulama sepakat mengharamkannya secara mutlak. Masalah yang berkaitan dengan onani memang kerap dibahas oleh para ulama fiqh.
Sebagian besar ada ulama yang mengharamkannya namun ada juga yang menganggapnya makruh.
1. Yang mengharamkan Onani: Para ulama yang mengharamkan onani berpegang kepada firman Allah dalam kitab Al Qur'an, meski tidak secara ekplisit disebutkan:
"Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya kecuali terhadap isterinya atau hamba sahayanya, mereka yang demikian itu tidak tercela. Tetapi barangsiapa mau selain yang demikian itu, maka mereka itu adalah orang-orang yang melewati batas." (QS. Al-Mu'minun: 5-7).
Mereka yang mengharamkan onani, mengkategorikan onani sebagai perilaku yang tidak menjaga kemaluan.
Imam Ash-Shan`ani dalam kitab Subulus Salam juz 3 halaman 109 menyebutkan hadits yang berkaitan dengan anjuran untuk menikah : Rasulullah SAW telah bersabda kepada kepada kami, "Wahai para pemuda, Barangsiapa diantara kalian yang telah memiliki ba'ah (kemampuan untuk menikah) maka menikahlah, kerena menikah itu bisa menjaga pandangan dan kemaluan. Bagi yang belum mampu maka puasalah, karena puasa itu sebagai pelindung." (HR Muttafaqun `alaih).
Ketika mengomentari hadits tersebut. Imam Ash-Shan`ani menjelaskan bahwa sebagian ulama Malikiyah mengharamkan onani secara mutlak, dengan alasan jika onani diperbolehkan, maka sudah tentu Rasulullah memberi jalan keluarnya dengan onani saja karena lebih sederhana dan mudah. Namun beliau malah menyuruh untuk puasa.
Sedangkan Imam Asy-Syafi`i mengharamkan onani dalam kitab Sunan Al-Baihaqi Al-Kubro jilid 7 halaman 199 dalam Bab Istimna' (Onani), ketika menafsirkan ayat Al-Quran surat Al-Mu'minun "Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya". Begitu juga dalam kitab Al-Umm juz 5 halaman 94 dalam bab Istimna'.
Ibnu Taimiyah ketika ditanya tentang hukum onani beliau mengatakan bahwa onani itu hukum asalnya adalah haram dan pelakunya dihukum ta`zir, Namun tidak seperti zina. Beliau juga mengatakan bahwa onani diperbolehkan oleh sebagian sahabat dan tabi'in karena hal-hal darurat seperti dikhawatirkan jatuh ke zina atau akan menimbulkan sakit tertentu. Namun jika tanpa alasan darurat, beliau tidak melihat adanya rukhsah (keringanan) untuk diperbolehkan melakukan onani.
2. Yang membolehkan onani: Para ulama yang membolehkan istimna` antara lain sahabat Abdullah bin Abbas, Ibnu Hazm dan Golongan madzhab Hanafiyah dan sebagian Hanabilah.
Abdullah bin Abbas mengatakan onani lebih baik daripada berbuat zina namun lebih baik lagi jika menikahi wanita saja. Ada seorang pemuda mengaku kepada Abdullah bin Abbas, "Wahai Abdullah bin Abbas, saya seorang pemuda dan ketika melihat wanita cantik. Aku senang mengurut-urut kemaluanku hingga keluar air mani".
Abdullah bin Abbas menjawab, "Itu lebih baik dari zina, tetapi menikah lebih baik dari itu (onani).
Madzhab Zhahiri yang ditokohi oleh Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla juz 11 halaman 392 menuliskan bahwa Abu Muhammad berpendapat bahwa hukum asal onani adalah mubah atau boleh, karena hakikatnya hanya seseorang memegang kemaluannya maka keluarlah maninya. Sedangkan nash yang mengharamkannya secara langsung tidak disebutkan secara eksplisit. Sebagaimana dalam firman Allah : "Dan telah Kami rinci hal-hal yang Kami haramkan"
Sedangkan onani menurut madzhab Zhahiri bukan termasuk hal-hal yang dirinci tentang keharamannya maka hukumnya halal. Pendapat madzhab ini memang mendasarkan pada dzahir nash baik dari Al-Quran maupun Al Hadits.
Sedangkan para ulama Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah) dan sebagian Hanabilah (pengikut madzhab Imam Ahmad atau Hanbali) -sebagaimana tertera dalam kitab Subulus Salam juz 3 halaman 109 dan juga dalam tafsir Al-Qurthubi juz 12 halaman 105- membolehkan onani dan tidak menjadikan hadits tentang pemuda yang belum mampu menikah untuk puasa diatas sebagai dasar diharamkannya onani.
Berbeda dengan ulama Syafi`iyah dan Malikiyah. Mereka berpenda[at bahwa onani itu hukumnya boleh. Alasannya bahwa mani adalah barang kelebihan. Oleh karena itu boleh dikeluarkan, seperti memotong daging lebih.
Namun sebagai catatan bahwa ada dua pendapat dari mazhab Hanabilah, sebagian mengharamkannya dan sebagian lagi membolehkannya. Jika kita lihat dalam kitab Al-Kafi fi Fiqhi Ibni Hanbal juz 4 halaman 252 disebutkan bahwa onani itu diharamkan.
Ulama-ulama Hanafiah juga memberikan batas kebolehannya itu dalam dua perkara:
1. Karena takut berbuat zina.
2. Karena tidak mampu kawin.
Pendapat Imam Ahmad memungkinkan untuk kita ambil dalam keadaan gharizah itu memuncak dan dikawatirkan akan jatuh ke dalam haram. Misalnya seorang pemuda yang sedang belajar atau bekerja di tempat lain yang jauh dari negerinya, sedang pengaruh-pengaruh di hadapannya terlalu kuat dan dia khawatir akan berbuat zina.
Karena itu dia tidak berdosa menggunakan cara onani untuk meredakan bergeloranya gharizah tersebut dan supaya dia tidak berlaku congkak dan gharizahnya itu tidak menjadi ulat. Tetapi yang lebih baik dari itu semua, ialah seperti apa yang diterangkan oleh Rasulullah SAW terhadap pemuda yang tidak mampu kawin, yaitu kiranya dia mau memperbanyak puasa, dimana puasa itu dapat mendidik beribadah, mengajar bersabar dan menguatkan kedekatan untuk bertaqwa dan keyakinan terhadap penyelidikan (muraqabah) Allah kepada setiap jiwa seorang mu'min. Sedangkan dari sisi kesehatan, umumnya para dokter mengatakan bahwa onani itu tidak berbahaya secara langsung. Namun untuk lebih jelasnya silahkan langsung kepada para dokter yang lebih menguasai bidang ini.
Sesuai dengan keterangan para ulama diatas, Meski sebagian ada yang memperbolehkan namun seyogyanya saudara bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak mengulangi kembali perbuatan seperti itu.
Tutup semua hal-hal yang dapat membangkitkan syahwat, seperti menonton televisi dan video yang tayangannya mengumbar aurat dan semisalnya. Wajib bagi saudara untuk menjauhi melihat tontonan seperti itu. Jangan memutar video atau televisi yang menampilkan acara-acara yang membangkitkan syahwat karena semua itu termasuk sebab-sebab yang mendatangkan pintu untuk melakukan onani.
Seorang muslim seyogyanya (senantiasa) menutup pintu-pintu keburukan untuk dirinya dan membuka pintu-pintu kebaikan. Segala sesuatu yang mendatangkan keburukan dan fitnah pada diri Anda, hendaknya Anda jauhi. Diantara sarana fitnah yang terbesar adalah film parno yang menampilkan perempuan-perempuan penggoda dan adegan-adegan yang membakar syahwat. Jadi Anda wajib menjauhi semua tontonan tersebut.
Mulai sekarang perbanyaklah mengikuti kajian ta'lim agama di sekitar, Berkumpul dengan orang-orang shalih dan usahakan untuk selalu berpuasa sunnah, Insya Allah dengan melakukan kebaikan dan amal shaleh maka Allah akan mempersiapkan jodoh wanita shalehah di waktu yang tepat nanti, Aamiin.
Baca Juga:
Jika memang cara-cara diatas tidak mempan lagi untuk menahan hasrat saudara untuk melakukan onani maka tak ada jalan lain kecuali menikah jika sudah lulus SMA. Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bishshawab.
Perkenalkan nama saya Aditama, seorang pelajar SMA. Umur saya 17 tahun baru-baru ini saya seorang muslim (mualaf, red).
Ustadz dengan memohon ampunanNya. Asstagfirullah saya telah melakukan onani saya menyesal telah melakukanya, tetapi terkadang saya melakukanya lagi bahkan sampai sekarang. Apakah onani termasuk dosa? Saya mohon penjelasannya jika benar onani termasuk dosa saya ingin sekali berhenti melakukannya dan bertaubat kepada Allah SWT. Dan tolong berikan cara agar saya bisa berhenti melakukan onani.
Mohon dengan sangat ustadz balas email dari saya ini. Saya bingung dan serba salah, dilain sisi saya takut berdosa dan disisi lain saya menginginkan hawa nafsu saya terpenuhi tanpa melakukan zina dengan lawan jenis. Terima kasih
(AR, 17 Tahun)
Ilustrasi Pelajar SMA |
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh
Perlu kita ketahui, Baik Al-Quran Al-Karim atau Al Hadits sama-sama tidak menyebutkan hukum onani secara sharih (jelas). Yang ada adalah kesimpulan yang diambil oleh para ulama sebagai bentuk apa yang mereka pahami dari semua nash di dalam keduanya.
Sehingga wajar jika tidak semua ulama sepakat mengharamkannya secara mutlak. Masalah yang berkaitan dengan onani memang kerap dibahas oleh para ulama fiqh.
Sebagian besar ada ulama yang mengharamkannya namun ada juga yang menganggapnya makruh.
1. Yang mengharamkan Onani: Para ulama yang mengharamkan onani berpegang kepada firman Allah dalam kitab Al Qur'an, meski tidak secara ekplisit disebutkan:
"Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya kecuali terhadap isterinya atau hamba sahayanya, mereka yang demikian itu tidak tercela. Tetapi barangsiapa mau selain yang demikian itu, maka mereka itu adalah orang-orang yang melewati batas." (QS. Al-Mu'minun: 5-7).
Mereka yang mengharamkan onani, mengkategorikan onani sebagai perilaku yang tidak menjaga kemaluan.
Imam Ash-Shan`ani dalam kitab Subulus Salam juz 3 halaman 109 menyebutkan hadits yang berkaitan dengan anjuran untuk menikah : Rasulullah SAW telah bersabda kepada kepada kami, "Wahai para pemuda, Barangsiapa diantara kalian yang telah memiliki ba'ah (kemampuan untuk menikah) maka menikahlah, kerena menikah itu bisa menjaga pandangan dan kemaluan. Bagi yang belum mampu maka puasalah, karena puasa itu sebagai pelindung." (HR Muttafaqun `alaih).
Ketika mengomentari hadits tersebut. Imam Ash-Shan`ani menjelaskan bahwa sebagian ulama Malikiyah mengharamkan onani secara mutlak, dengan alasan jika onani diperbolehkan, maka sudah tentu Rasulullah memberi jalan keluarnya dengan onani saja karena lebih sederhana dan mudah. Namun beliau malah menyuruh untuk puasa.
Sedangkan Imam Asy-Syafi`i mengharamkan onani dalam kitab Sunan Al-Baihaqi Al-Kubro jilid 7 halaman 199 dalam Bab Istimna' (Onani), ketika menafsirkan ayat Al-Quran surat Al-Mu'minun "Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya". Begitu juga dalam kitab Al-Umm juz 5 halaman 94 dalam bab Istimna'.
Ibnu Taimiyah ketika ditanya tentang hukum onani beliau mengatakan bahwa onani itu hukum asalnya adalah haram dan pelakunya dihukum ta`zir, Namun tidak seperti zina. Beliau juga mengatakan bahwa onani diperbolehkan oleh sebagian sahabat dan tabi'in karena hal-hal darurat seperti dikhawatirkan jatuh ke zina atau akan menimbulkan sakit tertentu. Namun jika tanpa alasan darurat, beliau tidak melihat adanya rukhsah (keringanan) untuk diperbolehkan melakukan onani.
2. Yang membolehkan onani: Para ulama yang membolehkan istimna` antara lain sahabat Abdullah bin Abbas, Ibnu Hazm dan Golongan madzhab Hanafiyah dan sebagian Hanabilah.
Abdullah bin Abbas mengatakan onani lebih baik daripada berbuat zina namun lebih baik lagi jika menikahi wanita saja. Ada seorang pemuda mengaku kepada Abdullah bin Abbas, "Wahai Abdullah bin Abbas, saya seorang pemuda dan ketika melihat wanita cantik. Aku senang mengurut-urut kemaluanku hingga keluar air mani".
Abdullah bin Abbas menjawab, "Itu lebih baik dari zina, tetapi menikah lebih baik dari itu (onani).
Madzhab Zhahiri yang ditokohi oleh Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla juz 11 halaman 392 menuliskan bahwa Abu Muhammad berpendapat bahwa hukum asal onani adalah mubah atau boleh, karena hakikatnya hanya seseorang memegang kemaluannya maka keluarlah maninya. Sedangkan nash yang mengharamkannya secara langsung tidak disebutkan secara eksplisit. Sebagaimana dalam firman Allah : "Dan telah Kami rinci hal-hal yang Kami haramkan"
Sedangkan onani menurut madzhab Zhahiri bukan termasuk hal-hal yang dirinci tentang keharamannya maka hukumnya halal. Pendapat madzhab ini memang mendasarkan pada dzahir nash baik dari Al-Quran maupun Al Hadits.
Sedangkan para ulama Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah) dan sebagian Hanabilah (pengikut madzhab Imam Ahmad atau Hanbali) -sebagaimana tertera dalam kitab Subulus Salam juz 3 halaman 109 dan juga dalam tafsir Al-Qurthubi juz 12 halaman 105- membolehkan onani dan tidak menjadikan hadits tentang pemuda yang belum mampu menikah untuk puasa diatas sebagai dasar diharamkannya onani.
Berbeda dengan ulama Syafi`iyah dan Malikiyah. Mereka berpenda[at bahwa onani itu hukumnya boleh. Alasannya bahwa mani adalah barang kelebihan. Oleh karena itu boleh dikeluarkan, seperti memotong daging lebih.
Namun sebagai catatan bahwa ada dua pendapat dari mazhab Hanabilah, sebagian mengharamkannya dan sebagian lagi membolehkannya. Jika kita lihat dalam kitab Al-Kafi fi Fiqhi Ibni Hanbal juz 4 halaman 252 disebutkan bahwa onani itu diharamkan.
Ulama-ulama Hanafiah juga memberikan batas kebolehannya itu dalam dua perkara:
1. Karena takut berbuat zina.
2. Karena tidak mampu kawin.
Pendapat Imam Ahmad memungkinkan untuk kita ambil dalam keadaan gharizah itu memuncak dan dikawatirkan akan jatuh ke dalam haram. Misalnya seorang pemuda yang sedang belajar atau bekerja di tempat lain yang jauh dari negerinya, sedang pengaruh-pengaruh di hadapannya terlalu kuat dan dia khawatir akan berbuat zina.
Karena itu dia tidak berdosa menggunakan cara onani untuk meredakan bergeloranya gharizah tersebut dan supaya dia tidak berlaku congkak dan gharizahnya itu tidak menjadi ulat. Tetapi yang lebih baik dari itu semua, ialah seperti apa yang diterangkan oleh Rasulullah SAW terhadap pemuda yang tidak mampu kawin, yaitu kiranya dia mau memperbanyak puasa, dimana puasa itu dapat mendidik beribadah, mengajar bersabar dan menguatkan kedekatan untuk bertaqwa dan keyakinan terhadap penyelidikan (muraqabah) Allah kepada setiap jiwa seorang mu'min. Sedangkan dari sisi kesehatan, umumnya para dokter mengatakan bahwa onani itu tidak berbahaya secara langsung. Namun untuk lebih jelasnya silahkan langsung kepada para dokter yang lebih menguasai bidang ini.
Sesuai dengan keterangan para ulama diatas, Meski sebagian ada yang memperbolehkan namun seyogyanya saudara bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak mengulangi kembali perbuatan seperti itu.
Tutup semua hal-hal yang dapat membangkitkan syahwat, seperti menonton televisi dan video yang tayangannya mengumbar aurat dan semisalnya. Wajib bagi saudara untuk menjauhi melihat tontonan seperti itu. Jangan memutar video atau televisi yang menampilkan acara-acara yang membangkitkan syahwat karena semua itu termasuk sebab-sebab yang mendatangkan pintu untuk melakukan onani.
Seorang muslim seyogyanya (senantiasa) menutup pintu-pintu keburukan untuk dirinya dan membuka pintu-pintu kebaikan. Segala sesuatu yang mendatangkan keburukan dan fitnah pada diri Anda, hendaknya Anda jauhi. Diantara sarana fitnah yang terbesar adalah film parno yang menampilkan perempuan-perempuan penggoda dan adegan-adegan yang membakar syahwat. Jadi Anda wajib menjauhi semua tontonan tersebut.
Mulai sekarang perbanyaklah mengikuti kajian ta'lim agama di sekitar, Berkumpul dengan orang-orang shalih dan usahakan untuk selalu berpuasa sunnah, Insya Allah dengan melakukan kebaikan dan amal shaleh maka Allah akan mempersiapkan jodoh wanita shalehah di waktu yang tepat nanti, Aamiin.
Baca Juga:
- Cara Bertaubat Dari Perbuatan Zina Menurut Islam
- Bermesraan Lewat Telpon Hingga 'Basah', Bagaimana Hukumnya?
- Menjelang Kiamat Manusia Tak Akan Malu Berzina Di Jalanan Seperti Binatang
Jika memang cara-cara diatas tidak mempan lagi untuk menahan hasrat saudara untuk melakukan onani maka tak ada jalan lain kecuali menikah jika sudah lulus SMA. Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bishshawab.