Menunaikan rukun Islam yang kelima berupa ibadah Haji hukumnya wajib dilakukan bagi umat Islam yang memiliki kemampuan materi dan fisik. Namun ternyata, ada orang-orang beruntung yang langsung 'dipanggil' Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk menunaikan ibadah haji.
Usaha yang keras untuk menuju baitullah selalu berbuah manis pada akhirnya. Seperti kisah Seneman (70) dan Juni (60) yang akhirnya bisa berangkat ke tanah suci setelah menabung selama 20 tahun.
Warga Kelurahan Mangli Krajan, Kecamatan Kaliwates, Jember, Jawa Timur ini mengaku menyisihkan Rp 1.000 atau Rp 2.000 dari pendapatannya setiap hari khusus demi naik haji. Selain itu, Seneman dan Juni juga menyisihkan sebagian pendapatan berjualan gorengan untuk ikut arisan.
Dari uang arisan tersebut mereka kemudian bisa melunasi biaya naik haji untuk berdua yang besar ongkos naik haji (ONH)-nya mencapai total Rp 80 juta. Subhanallah, betapa besar komitmen mereka untuk bisa berhaji.
Ada juga kisah Rimah (53) yang telah bekerja keras lebih dari 23 tahun sebagai pemulung. Dia bermimpi untuk bisa mendatangi tanah suci Makkah untuk menunaikan Rukun Islam ke lima ini.
Upaya menyisihkan penghasilan setiap hari, akhirnya berbuah manis. Usaha mengumpulkan barang bekas yang dilakoni usai usahanya bangkrut pada 2002 mengantarkannya menuju tanah suci pada tahun 2015. Rimah tidak memungkiri adanya bantuan dari dermawan sesekali waktu.
Kemudian cerita lain juga datang dari warga Sidoarjo, Achmad Sukarto. Pria berusia 62 tahun yang sehari-hari bekerja sebagai pencari rumput ini akhirnya bisa berangkat haji tahun 2014.
Achmad berhasil berangkat ke Makkah setelah menabung sekitar 10 tahunan. Mulalnya, dia menganggap naik haji adalah hal yang tak mungkin baginya. Sebab kondisi perekonomiannya yang jauh dari kaya.
Niat naik haji muncul ketika ada orang yang menitipkan seekor sapi kepadanya pada tahun 2003. Achmad akhirnya memelihara dan mencarikan rumput untuk sapi tersebut. Dua tahun kemudian, Sukarto mendapatkan bagi hasil sebesar Rp 5 juta.
Akhirnya dia memutuskan untuk membuka tabungan guna menunaikan ibadah haji. Usahanya terus ditingkatkan, mulai dari mencari rumput hingga mendapatkan titipan sapi lagi. Alhasil dalam sehari bisa mendapatkan Rp 15.000 hingga Rp 75.000.
Tidak hanya Tukang gorengan, pemulung dan gembala sapi saja bisa berangkat Haji, tetapi orang-orang miskin yang lebih miskin dari mereka dan bisa menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci juga ada, Jika Allah sudah memanggilnya.
Adalah Kariyati binti Halil (69) contohnya. Janda empat anak dan 11 cucu asal Desa Pondok Wuluh, Kecamatan Leces, Kabupaten Probolinggo, Jatim, itu tergabung dalam Kloter 42/Probolinggo.
Perjuangan Kariyati untuk mewujudkan niatnya ke Tanah Suci berlangsung cukup lama, yakni kurang lebih 20 tahun. Selama itu, dia berupaya menyisihkan penghasilannya dari memungut barang-barang bekas.
Ya, nenek Karyati adalah pemulung yang setiap hari mengumpulkan gelas plastik bekas air mineral, kardus, dan kertas yang dipungutnya dari beberapa tempat sampah di Wuluh, Leces, probolinggo.
Pekerjaan itu terkadang dilakoni hampir seharian, yaitu pagi siang sore dan malam dan hasilnya pun sekitar Rp20 ribuan, meski terkadang ada orang yang berbelas kasihan dengan memberinya uang antara Rp100 ribu.
Recehan demi recehan dikumpulkan Kariyati dan ditabungkan ke bank sampai puluhan tahun hingga akhirnya terkumpul dana cukup untuk mendaftarkan dirinya guna mendapatkan porsi berangkat haji.
Sisanya, dia belikan sapi untuk persiapan pelunasan, bahkan pekerjaan sebagai pemulung masih dilakoni hingga beberapa saat menjelang keberangkatannya ke Tanah Suci.
"Selama mengikuti manasik haji, Kariyati juga masih selalu membawa peralatan sebagai pemulung, bahkan gelas bekas air mineral dan kardus bekas snack setelah manasik pun masih dipungut satu per satu," tutur ketua rombongan 7, Hadi.
Idem dito, perjuangan yang cukup berat dan panjang juga dilakukan Kusdi Jainem beserta istrinya, Sutini, yang tergabung dalam Kloter 30 asal Magetan.
Selama kurang lebih hampir 10 tahun lalu, Kusdi dengan modal pas-pasan memulai usaha sebagai pedagang rongsokan berupa besi-besi yang tidak layak pakai atau sudah dibuang.
Sebagai pedagang rongsokan, dia menerima rongsokan itu dari para pengepul barang rongsokan dari desa ke desa, lalu barang rongsokan itu dipilah-pilah dan selanjutnya disetorkan ke pengepul besi langganannya.
Nah, hasil dari itu dikumpulkan sediki demi sedikit, lalu dia belikan hewan ternak berupa sapi yang masih kecil, kemudian dipelihara.
Setelah sapi itu besar, lalu dijual untuk dibelikan lagi sapi ukuran sedang tetapi jumlahnya dua ekor, kemudian dipelihara lagi hingga besar dan layak jual dengan harga tinggi.
Begitu seterusnya hingga akhirnya Kusdi beserta istri mampu mendaftarkan dirinya untuk berangkat haji, bahkan pelunasan biaya haji pun dipenuhi dengan terus menjalankan usaha rongsokan dan memelihara sapi itu.
Tantangan juga datang dari warga sekitar. "Kan kerjanya hanya sebagai pedagang rongsokan saja, kok bisa berangkat haji?" begitu olok-olok tetangganya.
Namun, setelah dia mampu membuktikan bisa melunasi biaya haji, Kusdi dan Sutini pun berbalik menjadi inspirasi bagi warga sekitarnya hingga ada delapan orang tetangga yang juga turut mendaftar berangkat haji.
"Saya sengaja tidak menyimpan atau menabung uang hasil usaha ke bank karena kalau disimpan di bank tidak akan mendapatkan hasil sebesar hasil dari berternak sapi sehingga saya tidak akan mungkin bisa berangkat haji sekarang (2013)," ucap Kusdi.
67--95 Persen
Rasanya, tidak hanya pemulung dan pedagang rongsokan yang sulit dipercaya bisa menunaikan ibadah haji, tetapi perginya seorang loper koran juga tidak bisa dinalar.
Adalah warga Dusun Juwet, Kelurahan Glagahan, Kecamatan Perak, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Mohammad Anwar yang bisa mewujudkan cita-citanya ke Tanah Suci berkat ketekunan dan kesungguhannya.
Bapak tiga orang anak dan empat cucu itu sehari-hari menjadi loper koran sejak 1992 dengan pelanggan kurang lebih 60 pelanggan.
Setiap bulan, dia menyisihkan penghasilannya sebesar Rp300 ribu hingga Rp500 ribu untuk ditabung. Cara itu dilakukan setelah mendapat saran dari seorang kiai di kampungnya.
"Sekitar lima tahun lalu, saya mampu membeli sepeda motor Supra Fit, tetapi Kiai Haris Munawir (pengurus MWC NU Perak) memberi saran 'nek awakmu pengin lungo kaji, dolen sepedamu' (kalau kamu ingin berangkat haji, jual saja sepeda motormu)," ungkap Anwar.
Tentu, saran Kiai Haris Munawir itu memicu perdebatan yang cukup panjang antara dirinya dan sang kiai. Namun, sang kiai mampu memberi motivasi hingga akhirnya dirinya merelakan motornya dijual untuk segera mendaftarkan haji ke bank.
Setelah mendapatkan nomor porsi, Anwar bersama ketiga anaknya yang semuanya menjadi guru di Jombang itu pun menabung untuk bisa melunasi biaya hajinya pada tahun 2013.
"Alhamdulillah, saya akhirnya bisa melunasinya, malah ada kelebihan sekitar satu jutaan yang bisa jadi uang saku, selain living cost dari pemerintah," tukas anggota Kloter 12/Jombang itu.
Agaknya "orang miskin pergi haji" itu bukan fakta yang kecil sebab Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Embarkasi/Debarkasi Surabaya mencatat mayoritas haji asal Jawa Timur dari kalangan miskin.
"Mungkin yang bisa dianggap dari kelompok kaya adalah kalangan BUMN, tetapi jumlahnya hanya 1,13 persen, sedangkan mayoritas justru dari kalangan petani, ibu rumah tangga, PNS, pelajar, pedagang, swasta, anggota TNI/Polri, dan lainnya," kata Sekretaris PPIH Embarkasi/Debarkasi Surabaya H.M. Asyhuri di Surabaya (3/11).
Ia menjelaskan bahwa haji asal Jatim pada tahun 2013 berjumlah 28.448 orang yang meliputi swasta sebanyak 9.060 orang atau 31,85 persen, lalu ibu rumah tangga yang mencapai 5.390 orang atau 18,95 persen.
Selanjutnya, petani sebanyak 5.118 orang atau 17,99 persen, PNS sebanyak 4.685 orang (16,47 persen), pedagang 2.231 orang (7,84 persen), dan pelajar 519 orang (1,82 persen).
Dari kalangan TNI/Polri mencapai 304 orang atau 1,07 persen dan kelompok lain-lain sebanyak 820 orang atau 2,88 persen. "Satu lagi dari kalangan BUMN sebanyak 321 orang atau 1,13 persen," katanya.
Menurut dia, data haji di Jatim dari tahun ke tahun juga menunjukkan data yang hampir sama dengan dominasi kalangan swasta, petani, PNS, ibu rumah tangga, dan pedagang.
"Kalangan swasta itu bisa nelayan, tukang becak, dan sejenisnya, sedangkan pedagang juga umumnya pedagang kecil di pasar, pracangan (pedagang kelontong). Jadi, 95,09 persen orang tak mampu," tandasnya.
Namun, katanya, jika kalangan swasta dianggap mampu dan ditambah dengan kalangan BUMN, jumlahnya pun mencapai 9.381 orang atau 32,98 persen.
"Artinya, haji Jatim berasal dari kalangan yang tidak mampu masih berjumlah 67,02 persen orang atau hampir 70 persen, padahal kalangan swasta umumnya juga bukan swasta kelas atas," kilahnya.
Usaha yang keras untuk menuju baitullah selalu berbuah manis pada akhirnya. Seperti kisah Seneman (70) dan Juni (60) yang akhirnya bisa berangkat ke tanah suci setelah menabung selama 20 tahun.
Warga Kelurahan Mangli Krajan, Kecamatan Kaliwates, Jember, Jawa Timur ini mengaku menyisihkan Rp 1.000 atau Rp 2.000 dari pendapatannya setiap hari khusus demi naik haji. Selain itu, Seneman dan Juni juga menyisihkan sebagian pendapatan berjualan gorengan untuk ikut arisan.
Dari uang arisan tersebut mereka kemudian bisa melunasi biaya naik haji untuk berdua yang besar ongkos naik haji (ONH)-nya mencapai total Rp 80 juta. Subhanallah, betapa besar komitmen mereka untuk bisa berhaji.
Ada juga kisah Rimah (53) yang telah bekerja keras lebih dari 23 tahun sebagai pemulung. Dia bermimpi untuk bisa mendatangi tanah suci Makkah untuk menunaikan Rukun Islam ke lima ini.
Upaya menyisihkan penghasilan setiap hari, akhirnya berbuah manis. Usaha mengumpulkan barang bekas yang dilakoni usai usahanya bangkrut pada 2002 mengantarkannya menuju tanah suci pada tahun 2015. Rimah tidak memungkiri adanya bantuan dari dermawan sesekali waktu.
Kemudian cerita lain juga datang dari warga Sidoarjo, Achmad Sukarto. Pria berusia 62 tahun yang sehari-hari bekerja sebagai pencari rumput ini akhirnya bisa berangkat haji tahun 2014.
Achmad berhasil berangkat ke Makkah setelah menabung sekitar 10 tahunan. Mulalnya, dia menganggap naik haji adalah hal yang tak mungkin baginya. Sebab kondisi perekonomiannya yang jauh dari kaya.
Niat naik haji muncul ketika ada orang yang menitipkan seekor sapi kepadanya pada tahun 2003. Achmad akhirnya memelihara dan mencarikan rumput untuk sapi tersebut. Dua tahun kemudian, Sukarto mendapatkan bagi hasil sebesar Rp 5 juta.
Akhirnya dia memutuskan untuk membuka tabungan guna menunaikan ibadah haji. Usahanya terus ditingkatkan, mulai dari mencari rumput hingga mendapatkan titipan sapi lagi. Alhasil dalam sehari bisa mendapatkan Rp 15.000 hingga Rp 75.000.
Tidak hanya Tukang gorengan, pemulung dan gembala sapi saja bisa berangkat Haji, tetapi orang-orang miskin yang lebih miskin dari mereka dan bisa menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci juga ada, Jika Allah sudah memanggilnya.
Adalah Kariyati binti Halil (69) contohnya. Janda empat anak dan 11 cucu asal Desa Pondok Wuluh, Kecamatan Leces, Kabupaten Probolinggo, Jatim, itu tergabung dalam Kloter 42/Probolinggo.
Perjuangan Kariyati untuk mewujudkan niatnya ke Tanah Suci berlangsung cukup lama, yakni kurang lebih 20 tahun. Selama itu, dia berupaya menyisihkan penghasilannya dari memungut barang-barang bekas.
Ya, nenek Karyati adalah pemulung yang setiap hari mengumpulkan gelas plastik bekas air mineral, kardus, dan kertas yang dipungutnya dari beberapa tempat sampah di Wuluh, Leces, probolinggo.
Pekerjaan itu terkadang dilakoni hampir seharian, yaitu pagi siang sore dan malam dan hasilnya pun sekitar Rp20 ribuan, meski terkadang ada orang yang berbelas kasihan dengan memberinya uang antara Rp100 ribu.
Recehan demi recehan dikumpulkan Kariyati dan ditabungkan ke bank sampai puluhan tahun hingga akhirnya terkumpul dana cukup untuk mendaftarkan dirinya guna mendapatkan porsi berangkat haji.
Sisanya, dia belikan sapi untuk persiapan pelunasan, bahkan pekerjaan sebagai pemulung masih dilakoni hingga beberapa saat menjelang keberangkatannya ke Tanah Suci.
"Selama mengikuti manasik haji, Kariyati juga masih selalu membawa peralatan sebagai pemulung, bahkan gelas bekas air mineral dan kardus bekas snack setelah manasik pun masih dipungut satu per satu," tutur ketua rombongan 7, Hadi.
Idem dito, perjuangan yang cukup berat dan panjang juga dilakukan Kusdi Jainem beserta istrinya, Sutini, yang tergabung dalam Kloter 30 asal Magetan.
Selama kurang lebih hampir 10 tahun lalu, Kusdi dengan modal pas-pasan memulai usaha sebagai pedagang rongsokan berupa besi-besi yang tidak layak pakai atau sudah dibuang.
Sebagai pedagang rongsokan, dia menerima rongsokan itu dari para pengepul barang rongsokan dari desa ke desa, lalu barang rongsokan itu dipilah-pilah dan selanjutnya disetorkan ke pengepul besi langganannya.
Nah, hasil dari itu dikumpulkan sediki demi sedikit, lalu dia belikan hewan ternak berupa sapi yang masih kecil, kemudian dipelihara.
Setelah sapi itu besar, lalu dijual untuk dibelikan lagi sapi ukuran sedang tetapi jumlahnya dua ekor, kemudian dipelihara lagi hingga besar dan layak jual dengan harga tinggi.
Begitu seterusnya hingga akhirnya Kusdi beserta istri mampu mendaftarkan dirinya untuk berangkat haji, bahkan pelunasan biaya haji pun dipenuhi dengan terus menjalankan usaha rongsokan dan memelihara sapi itu.
Tantangan juga datang dari warga sekitar. "Kan kerjanya hanya sebagai pedagang rongsokan saja, kok bisa berangkat haji?" begitu olok-olok tetangganya.
Namun, setelah dia mampu membuktikan bisa melunasi biaya haji, Kusdi dan Sutini pun berbalik menjadi inspirasi bagi warga sekitarnya hingga ada delapan orang tetangga yang juga turut mendaftar berangkat haji.
"Saya sengaja tidak menyimpan atau menabung uang hasil usaha ke bank karena kalau disimpan di bank tidak akan mendapatkan hasil sebesar hasil dari berternak sapi sehingga saya tidak akan mungkin bisa berangkat haji sekarang (2013)," ucap Kusdi.
67--95 Persen
Rasanya, tidak hanya pemulung dan pedagang rongsokan yang sulit dipercaya bisa menunaikan ibadah haji, tetapi perginya seorang loper koran juga tidak bisa dinalar.
Adalah warga Dusun Juwet, Kelurahan Glagahan, Kecamatan Perak, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Mohammad Anwar yang bisa mewujudkan cita-citanya ke Tanah Suci berkat ketekunan dan kesungguhannya.
Bapak tiga orang anak dan empat cucu itu sehari-hari menjadi loper koran sejak 1992 dengan pelanggan kurang lebih 60 pelanggan.
Setiap bulan, dia menyisihkan penghasilannya sebesar Rp300 ribu hingga Rp500 ribu untuk ditabung. Cara itu dilakukan setelah mendapat saran dari seorang kiai di kampungnya.
"Sekitar lima tahun lalu, saya mampu membeli sepeda motor Supra Fit, tetapi Kiai Haris Munawir (pengurus MWC NU Perak) memberi saran 'nek awakmu pengin lungo kaji, dolen sepedamu' (kalau kamu ingin berangkat haji, jual saja sepeda motormu)," ungkap Anwar.
Tentu, saran Kiai Haris Munawir itu memicu perdebatan yang cukup panjang antara dirinya dan sang kiai. Namun, sang kiai mampu memberi motivasi hingga akhirnya dirinya merelakan motornya dijual untuk segera mendaftarkan haji ke bank.
Setelah mendapatkan nomor porsi, Anwar bersama ketiga anaknya yang semuanya menjadi guru di Jombang itu pun menabung untuk bisa melunasi biaya hajinya pada tahun 2013.
"Alhamdulillah, saya akhirnya bisa melunasinya, malah ada kelebihan sekitar satu jutaan yang bisa jadi uang saku, selain living cost dari pemerintah," tukas anggota Kloter 12/Jombang itu.
Agaknya "orang miskin pergi haji" itu bukan fakta yang kecil sebab Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Embarkasi/Debarkasi Surabaya mencatat mayoritas haji asal Jawa Timur dari kalangan miskin.
"Mungkin yang bisa dianggap dari kelompok kaya adalah kalangan BUMN, tetapi jumlahnya hanya 1,13 persen, sedangkan mayoritas justru dari kalangan petani, ibu rumah tangga, PNS, pelajar, pedagang, swasta, anggota TNI/Polri, dan lainnya," kata Sekretaris PPIH Embarkasi/Debarkasi Surabaya H.M. Asyhuri di Surabaya (3/11).
Ia menjelaskan bahwa haji asal Jatim pada tahun 2013 berjumlah 28.448 orang yang meliputi swasta sebanyak 9.060 orang atau 31,85 persen, lalu ibu rumah tangga yang mencapai 5.390 orang atau 18,95 persen.
Selanjutnya, petani sebanyak 5.118 orang atau 17,99 persen, PNS sebanyak 4.685 orang (16,47 persen), pedagang 2.231 orang (7,84 persen), dan pelajar 519 orang (1,82 persen).
Dari kalangan TNI/Polri mencapai 304 orang atau 1,07 persen dan kelompok lain-lain sebanyak 820 orang atau 2,88 persen. "Satu lagi dari kalangan BUMN sebanyak 321 orang atau 1,13 persen," katanya.
Menurut dia, data haji di Jatim dari tahun ke tahun juga menunjukkan data yang hampir sama dengan dominasi kalangan swasta, petani, PNS, ibu rumah tangga, dan pedagang.
"Kalangan swasta itu bisa nelayan, tukang becak, dan sejenisnya, sedangkan pedagang juga umumnya pedagang kecil di pasar, pracangan (pedagang kelontong). Jadi, 95,09 persen orang tak mampu," tandasnya.
Namun, katanya, jika kalangan swasta dianggap mampu dan ditambah dengan kalangan BUMN, jumlahnya pun mencapai 9.381 orang atau 32,98 persen.
"Artinya, haji Jatim berasal dari kalangan yang tidak mampu masih berjumlah 67,02 persen orang atau hampir 70 persen, padahal kalangan swasta umumnya juga bukan swasta kelas atas," kilahnya.