Sepatutnya bagi seorang suami untuk memberikan perhatian kepada istrinya karena di balik kekurangannya, terdapat kelebihan yang pantas untuk disyukuri. Seperti halnya dalam sebuah kisah berikut ini dimana sang suami yang pemarah baru menyesali perbuatannya setelah melihat sandal istrinya.
Berikut kisah yang bisa menjadikan kita pribadi yang lebih bersyukur dan menghargai pasangan hidup.
***
Sore hari itu rasa lapar yang sudah terasa sejak pulang dari kantor mendadak hilang. Bukan karena kenyang, melainkan karena rasa jengkel dan kesal yang menghinggapi kepala. Betapa tidak, di saat perut telah keroncongan, kudapati masakan istri tidak sedikit pun memuaskan. Sayur sop yang kuharapkan bisa nikmat disantap bersama nasi, justru begitu manis layaknya kolak pisang. Menu lainnya pun rasanya sangat kacau.
“Ummi, kapankah kau bisa memasak dengan benar? Selalu saja keasinan, bila tidak maka kemanisan, kepedesan atau keasaman!”
Rasanya hati ini ingin sekali membentaknya sekuat tenaga.
“Sabar bi, Rasulullah pun tetap sabar terhadap masakan Aisyah dan Khadijah. Katanya ingin mencontoh Rasul?” ucap istriku dengan tenangnya.
“Iya, tapi Abi kan manusia biasa dan belum bisa sabar seperti Rasul. Abi tak akan bisa tahan dengan masakan yang rasanya kacau seperti ini!” kataku setengah berteriak.
Setelah mendengar ucapanku, istriku pun menundukkan kepalanya dan jika sudah begitu, biasanya air matanya bakalan mengalir.
***
Setelah sepekan keluar kota lantaran tugas dinas dari perusahaan, aku pun pulang karena rindu dengan istri dan suasana rumah. Namun apa yang kudapati justru sebaliknya. Rumah yang dibayangkan bisa menjadi tempat istirahat yang nyaman justru malah membuatku pusing kepala.
Bayangkan saja bagaimana rumah tersebut laksana kapal pecah dimana menumpuk pakaian yang belum disetrika, piring kotor berserakan dan cucian di ember yang baunya gak ketulungan lantaran sudah direndam namun belum juga dicuci.
Melihat kenyataan tersebut, aku pun hanya bisa mengurut dada sembari mengucapkan istighfar. Setelah kutemui istriku di kamarnya, aku pun berusaha meluapkan rasa kesalku.
“Ummi, bagaimana Abi tidak kesal jika keadaan rumah begitu berantakan tak terurus?” ucapku.
“Istri yang shalihah itu gak hanya ikut pengajian saja, namun juga bisa mengurus rumah dengan baik.”
Ternyata belum usai ku berbicara, istriku langsung menangis. Kusadari memang wanita begitu mudah menangis, namun aku berusaha untuk menenangkannya.
“Sudah diam Mi, gak boleh cengeng. Katanya ingin jadi istri shalehah? Istri shalehah gak boleh cengeng,” bujukku sembari melihat air matanya yang sudah mengalir ke pipi.
“Bagaimana Ummi tidak nangis, baru pulang sudah ngomel. Rumah ini memang gak keurus lantaran Ummi tidak mampu mengerjakan apapun. Jangankan untuk bekerja, berjalan saja Ummi susah. Belum lagi rasa mual dan muntah sehingga badan ini tidak bertenaga,” ucapnya sembari menangis.
“Abi memang belum merasakan bagaimana gak enaknya mual dan pusing karena hamil muda,” tambahnya.
***
Beberapa hari kemudian istriku mulai pulih dari rasa mual akibat hamil muda dan memintaku untuk mengantarkan ke pengajian.
“Bi, siang nanti antar Ummi ngaji ya?” pintanya.
“Aduh gak bisa Mi, Abi sibuk sekali hari ini. Pergi sendiri saja ya?”
“Ya sudah, Ummi naik bus saja. Semoga tidak pingsan di jalanan,” balasnya.
“Lho kok berkata begitu?”
“Iya kondisi Ummi yang sedang hamil muda sangat rentan jika harus mencium bau bensin. Belum lagi kondisi di dalam bus yang penuh sesak dan panas yang menyengat. Tapi mudah-mudahan sih tidak kenapa-kenapa,” tuturnya.
“Ya sudah Ummi naik bajaj saja biar cepat dan tidak berdesakan,” jawabku singkat.
Ternyata pertemuan dengan klien di kantor diundur pekan mendatang sehingga jadwalku kosong. Kuputuskan memanfaatkan waktu tersebut untuk menjemput istriku di pengajian. Entah kenapa aku begitu rindu dengan sosoknya meski menjengkelkanku selama ini.
Saat motorku sudah sampai di halaman pengajian, kudapati banyak sepatu yang berjajar pertanda pengajian masih belum selesai. Kuperhatikan semua sepatu yang ada begitu indah dan terlihat mahal.
“Wanita memang suka yang indah-indah, sampai sepatu pun lucu-lucu,” ucapku dalam batin.
Namun pandanganku langsung terhenti ketika melihat sepasang sandal jepit diantara sepatu-sepatu yang bagus tersebut.
“Oh, bukankah itu sandal jepit istriku?” tanya hatiku.
Segera kuambil sandal tersebut yang sudah kumal lantaran sering dipakai. Tak sadar air mataku pun menetes karena perih dalam batin. Baru ku sadari ternyata aku tak pernah sedikit pun memperhatikan kondisi istriku. Bahkan ia mengenakan sandal kumal pun ku tak tahu. Padahal teman-temannya sudah mengenakan sepatu yang bagus-bagus.
Maka ketika pintu pengajian itu terbuka dan sejumlah muslimah keluar hendak pulang, kudapati istriku dengan segera karena penampilannya yang berbeda dibandingkan wanita lain lantaran mengenakan pakaian berwarna gelap dan sudah lusuh warnanya diantara wanita lain yang mengenakan baju berwarna cerah.
Aku pun menyadari bahwa selama ini tak pernah membelikannya baju sepotong pun. Aku terlalu sibuk menilai kekurangannya, padahal istriku pun memiliki kelebihan yang tak mampu dilakukan wanita manapun.
Rasanya aku tak pantas menjadi seorang suami karena terlalu sibuk mengurus orang lain. Sementara istriku tak sedikit pun kuurus. Padahal Rasul mengatakan bahwa yang terbaik diantara umatnya adalah yang paling baik terhadap keluarga.
Sementara aku, justru sering mengomel dan menuntut istri diluar kemampuannya. Sungguh aku benar-benar menjadi suami yang dzalim.
Aku lantas memanggil istriku yang sibuk mencari sandalnya dan terlihat ia begitu senang melihatku yang datang menjemput. Wajahnya pun begitu girang dan baru kali ini aku melihatnya dalam kondisi tersebut. Sungguh aku menyesal mengapa tidak sejak dulu menjemputnya dari pengajian.
***
Ketika esok harinya, kubelikan istriku sepatu baru dan benar saja, senyum bahagianya tampak mengembang sembari berkata, “Alhamdulillah, Jazakallahu..”
Hatiku pun begitu terenyuh melihat tingkah polahnya yang sangat gembira. Rasa sesal benar-benar menyerang hatiku yang tak pernah bersyukur memiliki seorang istri yang zuhud.
Mulai detik ini ku akan berusaha untuk lebih memperhatikan kebutuhan istriku sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah Ta’ala. Semoga para suami yang lain pun bisa memberikan perhatian kepada seorang istri sehingga rumah tangga yang dibangun bisa penuh dengan kasih sayang.
Berikut kisah yang bisa menjadikan kita pribadi yang lebih bersyukur dan menghargai pasangan hidup.
***
Sore hari itu rasa lapar yang sudah terasa sejak pulang dari kantor mendadak hilang. Bukan karena kenyang, melainkan karena rasa jengkel dan kesal yang menghinggapi kepala. Betapa tidak, di saat perut telah keroncongan, kudapati masakan istri tidak sedikit pun memuaskan. Sayur sop yang kuharapkan bisa nikmat disantap bersama nasi, justru begitu manis layaknya kolak pisang. Menu lainnya pun rasanya sangat kacau.
“Ummi, kapankah kau bisa memasak dengan benar? Selalu saja keasinan, bila tidak maka kemanisan, kepedesan atau keasaman!”
Rasanya hati ini ingin sekali membentaknya sekuat tenaga.
“Sabar bi, Rasulullah pun tetap sabar terhadap masakan Aisyah dan Khadijah. Katanya ingin mencontoh Rasul?” ucap istriku dengan tenangnya.
“Iya, tapi Abi kan manusia biasa dan belum bisa sabar seperti Rasul. Abi tak akan bisa tahan dengan masakan yang rasanya kacau seperti ini!” kataku setengah berteriak.
Setelah mendengar ucapanku, istriku pun menundukkan kepalanya dan jika sudah begitu, biasanya air matanya bakalan mengalir.
***
Setelah sepekan keluar kota lantaran tugas dinas dari perusahaan, aku pun pulang karena rindu dengan istri dan suasana rumah. Namun apa yang kudapati justru sebaliknya. Rumah yang dibayangkan bisa menjadi tempat istirahat yang nyaman justru malah membuatku pusing kepala.
Bayangkan saja bagaimana rumah tersebut laksana kapal pecah dimana menumpuk pakaian yang belum disetrika, piring kotor berserakan dan cucian di ember yang baunya gak ketulungan lantaran sudah direndam namun belum juga dicuci.
Melihat kenyataan tersebut, aku pun hanya bisa mengurut dada sembari mengucapkan istighfar. Setelah kutemui istriku di kamarnya, aku pun berusaha meluapkan rasa kesalku.
“Ummi, bagaimana Abi tidak kesal jika keadaan rumah begitu berantakan tak terurus?” ucapku.
“Istri yang shalihah itu gak hanya ikut pengajian saja, namun juga bisa mengurus rumah dengan baik.”
Ternyata belum usai ku berbicara, istriku langsung menangis. Kusadari memang wanita begitu mudah menangis, namun aku berusaha untuk menenangkannya.
“Sudah diam Mi, gak boleh cengeng. Katanya ingin jadi istri shalehah? Istri shalehah gak boleh cengeng,” bujukku sembari melihat air matanya yang sudah mengalir ke pipi.
“Bagaimana Ummi tidak nangis, baru pulang sudah ngomel. Rumah ini memang gak keurus lantaran Ummi tidak mampu mengerjakan apapun. Jangankan untuk bekerja, berjalan saja Ummi susah. Belum lagi rasa mual dan muntah sehingga badan ini tidak bertenaga,” ucapnya sembari menangis.
“Abi memang belum merasakan bagaimana gak enaknya mual dan pusing karena hamil muda,” tambahnya.
***
Beberapa hari kemudian istriku mulai pulih dari rasa mual akibat hamil muda dan memintaku untuk mengantarkan ke pengajian.
“Bi, siang nanti antar Ummi ngaji ya?” pintanya.
“Aduh gak bisa Mi, Abi sibuk sekali hari ini. Pergi sendiri saja ya?”
“Ya sudah, Ummi naik bus saja. Semoga tidak pingsan di jalanan,” balasnya.
“Lho kok berkata begitu?”
“Iya kondisi Ummi yang sedang hamil muda sangat rentan jika harus mencium bau bensin. Belum lagi kondisi di dalam bus yang penuh sesak dan panas yang menyengat. Tapi mudah-mudahan sih tidak kenapa-kenapa,” tuturnya.
“Ya sudah Ummi naik bajaj saja biar cepat dan tidak berdesakan,” jawabku singkat.
Ternyata pertemuan dengan klien di kantor diundur pekan mendatang sehingga jadwalku kosong. Kuputuskan memanfaatkan waktu tersebut untuk menjemput istriku di pengajian. Entah kenapa aku begitu rindu dengan sosoknya meski menjengkelkanku selama ini.
Saat motorku sudah sampai di halaman pengajian, kudapati banyak sepatu yang berjajar pertanda pengajian masih belum selesai. Kuperhatikan semua sepatu yang ada begitu indah dan terlihat mahal.
“Wanita memang suka yang indah-indah, sampai sepatu pun lucu-lucu,” ucapku dalam batin.
Namun pandanganku langsung terhenti ketika melihat sepasang sandal jepit diantara sepatu-sepatu yang bagus tersebut.
“Oh, bukankah itu sandal jepit istriku?” tanya hatiku.
Segera kuambil sandal tersebut yang sudah kumal lantaran sering dipakai. Tak sadar air mataku pun menetes karena perih dalam batin. Baru ku sadari ternyata aku tak pernah sedikit pun memperhatikan kondisi istriku. Bahkan ia mengenakan sandal kumal pun ku tak tahu. Padahal teman-temannya sudah mengenakan sepatu yang bagus-bagus.
Maka ketika pintu pengajian itu terbuka dan sejumlah muslimah keluar hendak pulang, kudapati istriku dengan segera karena penampilannya yang berbeda dibandingkan wanita lain lantaran mengenakan pakaian berwarna gelap dan sudah lusuh warnanya diantara wanita lain yang mengenakan baju berwarna cerah.
Aku pun menyadari bahwa selama ini tak pernah membelikannya baju sepotong pun. Aku terlalu sibuk menilai kekurangannya, padahal istriku pun memiliki kelebihan yang tak mampu dilakukan wanita manapun.
Rasanya aku tak pantas menjadi seorang suami karena terlalu sibuk mengurus orang lain. Sementara istriku tak sedikit pun kuurus. Padahal Rasul mengatakan bahwa yang terbaik diantara umatnya adalah yang paling baik terhadap keluarga.
Sementara aku, justru sering mengomel dan menuntut istri diluar kemampuannya. Sungguh aku benar-benar menjadi suami yang dzalim.
Aku lantas memanggil istriku yang sibuk mencari sandalnya dan terlihat ia begitu senang melihatku yang datang menjemput. Wajahnya pun begitu girang dan baru kali ini aku melihatnya dalam kondisi tersebut. Sungguh aku menyesal mengapa tidak sejak dulu menjemputnya dari pengajian.
***
Ketika esok harinya, kubelikan istriku sepatu baru dan benar saja, senyum bahagianya tampak mengembang sembari berkata, “Alhamdulillah, Jazakallahu..”
Hatiku pun begitu terenyuh melihat tingkah polahnya yang sangat gembira. Rasa sesal benar-benar menyerang hatiku yang tak pernah bersyukur memiliki seorang istri yang zuhud.
Mulai detik ini ku akan berusaha untuk lebih memperhatikan kebutuhan istriku sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah Ta’ala. Semoga para suami yang lain pun bisa memberikan perhatian kepada seorang istri sehingga rumah tangga yang dibangun bisa penuh dengan kasih sayang.
Baca Juga: Curiga Suami Pulang Larut Malam Dan Langsung Mandi, Sang Istri Langsung Menangis Setelah Tahu Alasannya