"Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, sesungguhnya akan kami tempatkan mereka pada tempat-tempat yang tinggi di dalam syurga, yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik pembalasan bagi orang-orang yang beramal. " (QS. al-Ankabuut: 58)
Sungguh indah apa yang dijanjikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam ayat ini. Allah memberikan gambaran bentuk balasan yang akan diberikan kepada manusia yang mau menegakkan iman dan beramal shalih dengan istilah yang sangat indah, Minal jannati ghurafaa, tempat-tempat yang tinggi di dalam Syurga.
Manusia secara fitrati memang memiliki kecenderungan memilih tempat-tempat yang mantap-mantap, yang hebat-hebat, yang oke punya, tinggi dan istimewa. Tidak hanya gedung-gedung yang dibangun tinggi dan megah, pangkat dan jabatan juga maunya yang tinggi-tinggi. Tidak hanya cukup menjadi ketua RT atau kepala dusun. Kalau bisa, bahkan, sampai ke camat, bupati/walikota, gubernur, menteri hingga presiden. Bahkan kalau ada jabatan yang di atas itu mau diraih juga. Makin ke atas mekin menarik, makin banyak yang bisa dilihat dan dinikmati. Karena itulah kecenderungan untuk memilih ke arah sana begitu besarnya.
Namun Allah masih melanjutkan di ayat berikut dalam surat yang sama. Bahwa pemberian yang semacam itu hanya akan diberikan kepada mereka yang telah memenuhi dua persyaratan utama dalam mengarungi kehidupan ini; Sabar dan bertawwakal. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Yaitu orang yang bersabar dan bertawakkal kepada Tuhannya." (QS.Al-Ankabuut: 59)
Sabar
Betapa seringnya kita mendengarkan nasehat-nasehat sabar dikhutbahkan. Ketika di masjid, mushalla, majelis-majelis taklim, dan di kelompok-kelompok yasinan, nasihat seperti itu selalu saja mengiringi disamping pentingnya meningkatkan iman dan taqwa, seperti pesan-pesan yang kita terima hari ini.
Sesungguhnya perkara sabar adalah perkara yang berat. Tidak sembarang orang dapat bersabar dan tetap memiliki kesabaran di saat kondisi memungkinkan hadirnya kemarahan.
Bersabar ketika kondisi datar, normal dan tanpa riak barangkali biasa. Tapi ketika riak datang, gelombang pun tiba apakah kita masih mungkin tetap memiliki kesabaran itu? Apakah bukan sebaliknya, malah muncul sebagai orang yang paling pemberang?
Mereka yang dapat bersabar dalam kondisi seperti itu berarti kesabarannya telah teruji. Mereka telah membuktikan dirinya mampu melewati ujicoba keimanannya dengan baik. Mereka itulah orang yang telah teruji kematangan jiwanya.
Rezeki sabar
Di tengah ketidakpastian kondisi ekomoni saat ini, banyak orang yang ditimpa penyakit resah, gelisah, cemas, takut, khawatir, was-was dan bahkan putus asa. Para pemilik modal besar banyak yang limbung, yang kecil juga tambah bingung. Keuntungan berlipat yang semula ada, sekarang hilang secara tiba-tiba. Akibatnya muncul stres, ketegangan, kekalutan dan kekacauan pikiran. Lebih runyam lagi, dengan segala kiat yang diusahakan dengan memeras segala kemampuan, tetap saja ambruk. Jiwa menjadi galau tak karuan. Muncullah kemudian lipatan-lipatan masalah yang terus bertambah, semakin banyak.
Di antara mereka yang tipis imannya, bunuh diri adalah alternatif yang dianggapnya paling baik. Daripada harus memikirkan beban kredit yang makin membengkak, sementara harapan keuntungan akan kembali tak kunjung muncul. Na'udzubillahi min dzaalik.
Orang yang memilih jalan pintas tersebut tidak lain adalah mereka yang tidak dikaruniai rezeki sabar. Mungkin selama ini mereka telah dengan mudah memperoleh rupiah. Tidak perlu bekerja keras uang sudah begitu banyak datang. Tidak perlu repot dan lelah-lelah membanting tulang uang sudah mengalir deras ke dalam sakunya. Usaha apa saja asal dia yang melakukannya, maka yang ada adalah keuntungan melulu. Pendeknya semuanya serba mudah. Hampir-hampir dikatakan tidak pernah berhadapan dengan kesulitan yang terlalu berarti. Banting tulang lima tahun oleh petani dan kalangan bawah baginya cukup dilakukan seminggu atau sebulan, bahkan bisa kurang dari itu.
Tapi ternyata ada yang tidak dikaruniakan Allah kepada mereka yakni rezeki kesabaran. Padahal sabar ini adalah rezeki yang sangat besar. Ketika jiwa sedang tidak stabil, sabar menjadi pengendali. Ketika harta benda melimpah potensi sabar juga bermanfaat untuk membimbing agar tidak menjadi orang royal. Rezeki sabar memiliki dimensi yang sangat luas.
Nabiyullah Muhammad saw bersabda, "Tidak ada suatu rezeki yang Allah berikan kepada seorang hamba yang lebih luas baginya daripada sabar." (HR al-Hakim)
Tawwakal Alallah
Bertawakkal kepada Allah juga adalah karunia yang sangat besar. Tidak semua orang memiliki kekayaan tawakkal seperti ini. Bagi mereka yang memiliki mental 'bersandar' (bertawakkal) ini ada jaminan kondisi mental dan jiwanya selalu dalam kendali. Ada keseimbangan yang terus mengendalikan hidupnya. Sebab bertawakkal selain berarti menyerahkan hasil akhir kepada apa yang dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta'ala semata, ada di sana harapan-harapan di tengah himpitan ketidakberdayaan sebagai manusia setelah bergelut menghadapi kehidupan dengan segala problekmatikanya. Tawakkal itu kekuatan sekaligus obat. Orang yang memiliki jiwa tawakkal, tidak akan mudah runtuh mentalnya, rapuh jiwanya, kacau pikirannya dan tidak akan frustasi dalam menghadapi kehidupan ini.
Allah sudah menimbang kemampuan setiap hamba dalam memikul beban. Dia tidak mungkin akan memberikan beban di luar batas kemampuan hamba-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Allah tidak membebani seseorang malainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendpat pahala(dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya." (QS. al-Baqarah: 256)
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ”Suci itu sebagian dari iman, (bacaan) alhamdulillaah memenuhi timbangan, (bacaan) subhaanallaah dan alhamdulillaah keduanya memenuhi ruang yang ada di antara langit dan bumi. Shalat itu adalah nur (cahaya), sedekah adalah pembela, sabar adalah sinar, dan Al-Qur’an menjadi pembelamu atau akan menuntutmu. Setiap manusia bekerja, lalu dia menjual dirinya, kemudian pekerjaan itu dapat menyelamatkannya atau mencelakakannya”. (HR. Muslim)
Pada hakekatnya, ketenangan dan ketenteraman yang telah diperoleh seorang hamba merupakan buah dari amal baiknya sendiri. Ketenangan tidak muncul tiba-tiba tanpa kita menggerakkan diri menebarkan kebaikan-kebaikan. Kebaikan-kebaikan yang telah disemai membuahkan ketenangan hidup.
Seperti halnya dengan kejahatan, apa yang telah menimpa seorang hamba merupakan balasan setimpal terhadap amal jahat yang telah dilakukannya. Makin besar tingkat kejahatan yang dilakukan, maka bentuk siksaan juga semakin besar pula. Beban jiwa akibat dosa yang menggunung itu terasa memberatkan punggung dan menyempitkan dada.
Allah Subhanahu wa Ta'ala Maha Adil, maka tidak sedikitpun kebaikan yang dilakukan manusia berguna bagi Allah. Demikian kejahatan yang dilakukan oleh anak cucu Adam sama sekali tidak akan merongrong kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Kebaikan dengan pahalanya di dunia berupa ketenangan dan ketentraman hidup, kejahatan dengan bala bencana dan siksaan hidup merupakan pembersih. Semestinya orang yang beriman segera menyadari, bahwa ujian yang menimpa mereka bukan berarti Tuhan memuhuhinya. Allah justru menunjukkan kasih sayang-Nya. 'Mendidik' agar si hamba segera menyadari dan bertaubat sebelum menghadapi pintu maut.
Sebesar dan seberat apapun beban hidup yang kita rasakan, tidak akan menyamai apa yang telah menimpa para pembawa risalah Allah. Yakni para nabi, auliya, shahabat dan orang-orang shalih. Di antara mereka ada yang dipanggang badannya seperti Nabiyullah Ibrahim as, ditimpa penyakit membusuk seluruh anggota tubuhnya seperti Nabi Ayyub as, dibelah badannya seperti Amar bin Yasir atau ditindih batu besar di padang sahara yang panas membara seperti Bilal bin Rabah.
Paling jauh kita hanya menunda makan beberapa hari, kehilangan pekerjaan atau jabatan. Kita tidak pernah diancam untuk meletakkan nyawa sebagai modal semuanya.
Allah mengetahui kita sebagai ummat Muhammad saw yang memiliki keimanan yang tipis. Dia-pun membuatkan redaksi do'a bagi hamba-hamba-Nya. Allah mengetahui dengan persis bahwa kalau ujian yang telah ditimpakan kepada orang-orang terdahulu itu menimpa juga pada mereka, maka mereka tidak akan mampu menanggungnya.
Ajaran do'a itu adalah:
"..Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir". (QS. al-Baqarah: 286)
Sungguh indah apa yang dijanjikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam ayat ini. Allah memberikan gambaran bentuk balasan yang akan diberikan kepada manusia yang mau menegakkan iman dan beramal shalih dengan istilah yang sangat indah, Minal jannati ghurafaa, tempat-tempat yang tinggi di dalam Syurga.
Manusia secara fitrati memang memiliki kecenderungan memilih tempat-tempat yang mantap-mantap, yang hebat-hebat, yang oke punya, tinggi dan istimewa. Tidak hanya gedung-gedung yang dibangun tinggi dan megah, pangkat dan jabatan juga maunya yang tinggi-tinggi. Tidak hanya cukup menjadi ketua RT atau kepala dusun. Kalau bisa, bahkan, sampai ke camat, bupati/walikota, gubernur, menteri hingga presiden. Bahkan kalau ada jabatan yang di atas itu mau diraih juga. Makin ke atas mekin menarik, makin banyak yang bisa dilihat dan dinikmati. Karena itulah kecenderungan untuk memilih ke arah sana begitu besarnya.
Namun Allah masih melanjutkan di ayat berikut dalam surat yang sama. Bahwa pemberian yang semacam itu hanya akan diberikan kepada mereka yang telah memenuhi dua persyaratan utama dalam mengarungi kehidupan ini; Sabar dan bertawwakal. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Yaitu orang yang bersabar dan bertawakkal kepada Tuhannya." (QS.Al-Ankabuut: 59)
Sabar
Betapa seringnya kita mendengarkan nasehat-nasehat sabar dikhutbahkan. Ketika di masjid, mushalla, majelis-majelis taklim, dan di kelompok-kelompok yasinan, nasihat seperti itu selalu saja mengiringi disamping pentingnya meningkatkan iman dan taqwa, seperti pesan-pesan yang kita terima hari ini.
Sesungguhnya perkara sabar adalah perkara yang berat. Tidak sembarang orang dapat bersabar dan tetap memiliki kesabaran di saat kondisi memungkinkan hadirnya kemarahan.
Bersabar ketika kondisi datar, normal dan tanpa riak barangkali biasa. Tapi ketika riak datang, gelombang pun tiba apakah kita masih mungkin tetap memiliki kesabaran itu? Apakah bukan sebaliknya, malah muncul sebagai orang yang paling pemberang?
Mereka yang dapat bersabar dalam kondisi seperti itu berarti kesabarannya telah teruji. Mereka telah membuktikan dirinya mampu melewati ujicoba keimanannya dengan baik. Mereka itulah orang yang telah teruji kematangan jiwanya.
Rezeki sabar
Di tengah ketidakpastian kondisi ekomoni saat ini, banyak orang yang ditimpa penyakit resah, gelisah, cemas, takut, khawatir, was-was dan bahkan putus asa. Para pemilik modal besar banyak yang limbung, yang kecil juga tambah bingung. Keuntungan berlipat yang semula ada, sekarang hilang secara tiba-tiba. Akibatnya muncul stres, ketegangan, kekalutan dan kekacauan pikiran. Lebih runyam lagi, dengan segala kiat yang diusahakan dengan memeras segala kemampuan, tetap saja ambruk. Jiwa menjadi galau tak karuan. Muncullah kemudian lipatan-lipatan masalah yang terus bertambah, semakin banyak.
Di antara mereka yang tipis imannya, bunuh diri adalah alternatif yang dianggapnya paling baik. Daripada harus memikirkan beban kredit yang makin membengkak, sementara harapan keuntungan akan kembali tak kunjung muncul. Na'udzubillahi min dzaalik.
Orang yang memilih jalan pintas tersebut tidak lain adalah mereka yang tidak dikaruniai rezeki sabar. Mungkin selama ini mereka telah dengan mudah memperoleh rupiah. Tidak perlu bekerja keras uang sudah begitu banyak datang. Tidak perlu repot dan lelah-lelah membanting tulang uang sudah mengalir deras ke dalam sakunya. Usaha apa saja asal dia yang melakukannya, maka yang ada adalah keuntungan melulu. Pendeknya semuanya serba mudah. Hampir-hampir dikatakan tidak pernah berhadapan dengan kesulitan yang terlalu berarti. Banting tulang lima tahun oleh petani dan kalangan bawah baginya cukup dilakukan seminggu atau sebulan, bahkan bisa kurang dari itu.
Tapi ternyata ada yang tidak dikaruniakan Allah kepada mereka yakni rezeki kesabaran. Padahal sabar ini adalah rezeki yang sangat besar. Ketika jiwa sedang tidak stabil, sabar menjadi pengendali. Ketika harta benda melimpah potensi sabar juga bermanfaat untuk membimbing agar tidak menjadi orang royal. Rezeki sabar memiliki dimensi yang sangat luas.
Nabiyullah Muhammad saw bersabda, "Tidak ada suatu rezeki yang Allah berikan kepada seorang hamba yang lebih luas baginya daripada sabar." (HR al-Hakim)
Tawwakal Alallah
Bertawakkal kepada Allah juga adalah karunia yang sangat besar. Tidak semua orang memiliki kekayaan tawakkal seperti ini. Bagi mereka yang memiliki mental 'bersandar' (bertawakkal) ini ada jaminan kondisi mental dan jiwanya selalu dalam kendali. Ada keseimbangan yang terus mengendalikan hidupnya. Sebab bertawakkal selain berarti menyerahkan hasil akhir kepada apa yang dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta'ala semata, ada di sana harapan-harapan di tengah himpitan ketidakberdayaan sebagai manusia setelah bergelut menghadapi kehidupan dengan segala problekmatikanya. Tawakkal itu kekuatan sekaligus obat. Orang yang memiliki jiwa tawakkal, tidak akan mudah runtuh mentalnya, rapuh jiwanya, kacau pikirannya dan tidak akan frustasi dalam menghadapi kehidupan ini.
Allah sudah menimbang kemampuan setiap hamba dalam memikul beban. Dia tidak mungkin akan memberikan beban di luar batas kemampuan hamba-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Allah tidak membebani seseorang malainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendpat pahala(dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya." (QS. al-Baqarah: 256)
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ”Suci itu sebagian dari iman, (bacaan) alhamdulillaah memenuhi timbangan, (bacaan) subhaanallaah dan alhamdulillaah keduanya memenuhi ruang yang ada di antara langit dan bumi. Shalat itu adalah nur (cahaya), sedekah adalah pembela, sabar adalah sinar, dan Al-Qur’an menjadi pembelamu atau akan menuntutmu. Setiap manusia bekerja, lalu dia menjual dirinya, kemudian pekerjaan itu dapat menyelamatkannya atau mencelakakannya”. (HR. Muslim)
Pada hakekatnya, ketenangan dan ketenteraman yang telah diperoleh seorang hamba merupakan buah dari amal baiknya sendiri. Ketenangan tidak muncul tiba-tiba tanpa kita menggerakkan diri menebarkan kebaikan-kebaikan. Kebaikan-kebaikan yang telah disemai membuahkan ketenangan hidup.
Seperti halnya dengan kejahatan, apa yang telah menimpa seorang hamba merupakan balasan setimpal terhadap amal jahat yang telah dilakukannya. Makin besar tingkat kejahatan yang dilakukan, maka bentuk siksaan juga semakin besar pula. Beban jiwa akibat dosa yang menggunung itu terasa memberatkan punggung dan menyempitkan dada.
Allah Subhanahu wa Ta'ala Maha Adil, maka tidak sedikitpun kebaikan yang dilakukan manusia berguna bagi Allah. Demikian kejahatan yang dilakukan oleh anak cucu Adam sama sekali tidak akan merongrong kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Kebaikan dengan pahalanya di dunia berupa ketenangan dan ketentraman hidup, kejahatan dengan bala bencana dan siksaan hidup merupakan pembersih. Semestinya orang yang beriman segera menyadari, bahwa ujian yang menimpa mereka bukan berarti Tuhan memuhuhinya. Allah justru menunjukkan kasih sayang-Nya. 'Mendidik' agar si hamba segera menyadari dan bertaubat sebelum menghadapi pintu maut.
Sebesar dan seberat apapun beban hidup yang kita rasakan, tidak akan menyamai apa yang telah menimpa para pembawa risalah Allah. Yakni para nabi, auliya, shahabat dan orang-orang shalih. Di antara mereka ada yang dipanggang badannya seperti Nabiyullah Ibrahim as, ditimpa penyakit membusuk seluruh anggota tubuhnya seperti Nabi Ayyub as, dibelah badannya seperti Amar bin Yasir atau ditindih batu besar di padang sahara yang panas membara seperti Bilal bin Rabah.
Paling jauh kita hanya menunda makan beberapa hari, kehilangan pekerjaan atau jabatan. Kita tidak pernah diancam untuk meletakkan nyawa sebagai modal semuanya.
Allah mengetahui kita sebagai ummat Muhammad saw yang memiliki keimanan yang tipis. Dia-pun membuatkan redaksi do'a bagi hamba-hamba-Nya. Allah mengetahui dengan persis bahwa kalau ujian yang telah ditimpakan kepada orang-orang terdahulu itu menimpa juga pada mereka, maka mereka tidak akan mampu menanggungnya.
Ajaran do'a itu adalah:
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ إِن نَّسِينَآ أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِۦ وَٱعْفُ عَنَّا وَٱغْفِرْ لَنَا وَٱرْحَمْنَآ أَنتَ مَوْلَىٰنَا فَٱنصُرْنَا عَلَى ٱلْقَوْمِ ٱلْكَٰفِرِينَ
"..Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir". (QS. al-Baqarah: 286)