Seketika air mata ini berlinang ketika membaca kisah indah ini. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersama Aisyah Radhiyallahu 'anha.
Sebagai seorang istri yang sholehah, Aisyah Radhiyallahu 'anha selalu menyediakan minum untuk Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Biasanya Baginda Nabi hanya minum setengah air dari gelas, karena Aisyah Radhiyallahu 'anha sangat suka dan senang minum air sisa dari Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Namun pernah suatu ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam baru pulang ke rumah dan langsung meminum habis air yang disediakan Aisyah. Seketika rasa bingung, heran, dan sedih menyelimuti diri Aisyah Radhiyallahu 'anha, “kenapa Rasulullah tidak menyisakan minum untukku?”
Lalu Aisyah melihat gelas itu belum dicuci dan masih ada setetes air di dalamnya, maka setetes air tersebut diminum oleh Aisyah. Tahu apa yang terjadi? Tiba-tiba muka Aisyah memerah, karena rasa air itu asin. Aisyah salah memasukkan gula, namun malah garam yang masuk dalam air tersebut.
Aisyah pergi menuju Baginda Nabi Shallallahu alaihi wasallam untuk minta maaf, namun reaksi Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam sangat luar biasa, beliau tersenyum bahagia dan mengatakan bahwa air minum itu rasanya enak sekali. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menghargai dan mengapresiasi setiap hasil usaha pelayanan dari Istrinya tercinta, dan tidak ingin menyakiti perasaan istrinya dengan mengatakan “Bahwa minuman ini tidak enak”, sekali TIDAK! Namun beliau menikmati air tersebut.
Ketika Istri Sedang Marah
Suatu ketika, Rasulullah sedang menemui sejumlah tamu yang tidak lain adalah para sahabat dekat beliau. Tiba-tiba terdengar nyaring suara piring pecah. Ternyata Sayyidah Aisyah baru saja memukul piring berisi makanan yang dibawa oleh pembantu Zainab untuk disuguhkan kepada Rasulullah. Piring itu pecah dan kemudian makanan yang mau disuguhkan untuk tamu pun jatuh.
Menyaksikan hal tersebut, Rasulullah tidak marah. Sebagai lelaki beliau tidak merasa harga dirinya turun. Beliau tidak merasa kehormatannya dipermalukan. Beliau tidak merasa khawatir disebut sebagai suami yang tidak mampu mendidik istrinya untuk mengendalikan emosi. Sama sekali tidak.
Kemudian Rasulullah mendekati mereka dengan tenang, seperti tak terjadi apa-apa. Lalu beliau memunguti makanan dari kurma tersebut dan meletakkannya di sisa-sisa piring, kemudian membawanya untuk dimakan bersama para tamunya.
“Maaf… ibu kalian ini sedang cemburu,” terang Rasulullah kepada para sahabatnya. Tak lupa, beliau mengganti piring yang sudah pecah tersebut dengan piring baru yang utuh untuk dibawa kembali oleh pembantu kepada Zainab.
Demikianlah agungnya akhlaq Rasulullah. Khuluqun ‘adziim. Beliau tidak mempermasalahkan masalah, namun mampu menyelesaikan masalah. Beliau tahu waktu itu Aisyah sedang cemburu karena di hari giliran Aisyah, Sayyidah Zainab mengirim makanan untuk beliau. Maka Sayyidah Aisyah pun secara reflek memecahkan piring sebagai ekspresi kecemburuannya.
Dan Rasulullah memecahkan masalah dengan bijak. Beliau tidak memarahi Aisyah karena memarahi istri yang sedang marah malah akan menimbulkan sebuah masalah baru. Masalah semula tidak terselesaikan, justru suami istri terlibat pertengkaran. Akan tetapi, Rasulullah tidaklah melakukan itu.
Namun memecahkan piring orang lain tetap saja tidak dapat dibenarkan. Dan karenanya harus diganti. Karena itulah hadits ini dibahas panjang lebar oleh Alhafidz Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitabnya Fathul Baari, untuk mengambil istinbath jika seseorang memecahkan barang milik orang lain, haruskah mengganti dengan barang atau bisa dalam bentuk uang.
Sikap Rasulullah juga tetap kalem saja di hadapan para sahabat. Beliau tidak menyalahkan Aisyah karena menyalahkan istri di depan orang lain bukanlah tindakan yang terpuji. Orang yang melihatnya tentu akan mengetahui bahwa keluarga tersebut sedang dilanda masalah, sementara mereka belum tentu bisa membantu menyelesaikan masalahnya.
Sebagai seorang suami, mampukah kita menahan emosi layaknya panutan kita baginda Rasulullah saat istri kita tiba-tiba marah di depan tamu atau malah memecahkan piring seperti sayyidah Aisyah?
Sebagai seorang istri yang sholehah, Aisyah Radhiyallahu 'anha selalu menyediakan minum untuk Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Biasanya Baginda Nabi hanya minum setengah air dari gelas, karena Aisyah Radhiyallahu 'anha sangat suka dan senang minum air sisa dari Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Namun pernah suatu ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam baru pulang ke rumah dan langsung meminum habis air yang disediakan Aisyah. Seketika rasa bingung, heran, dan sedih menyelimuti diri Aisyah Radhiyallahu 'anha, “kenapa Rasulullah tidak menyisakan minum untukku?”
Lalu Aisyah melihat gelas itu belum dicuci dan masih ada setetes air di dalamnya, maka setetes air tersebut diminum oleh Aisyah. Tahu apa yang terjadi? Tiba-tiba muka Aisyah memerah, karena rasa air itu asin. Aisyah salah memasukkan gula, namun malah garam yang masuk dalam air tersebut.
Aisyah pergi menuju Baginda Nabi Shallallahu alaihi wasallam untuk minta maaf, namun reaksi Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam sangat luar biasa, beliau tersenyum bahagia dan mengatakan bahwa air minum itu rasanya enak sekali. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menghargai dan mengapresiasi setiap hasil usaha pelayanan dari Istrinya tercinta, dan tidak ingin menyakiti perasaan istrinya dengan mengatakan “Bahwa minuman ini tidak enak”, sekali TIDAK! Namun beliau menikmati air tersebut.
Ketika Istri Sedang Marah
Suatu ketika, Rasulullah sedang menemui sejumlah tamu yang tidak lain adalah para sahabat dekat beliau. Tiba-tiba terdengar nyaring suara piring pecah. Ternyata Sayyidah Aisyah baru saja memukul piring berisi makanan yang dibawa oleh pembantu Zainab untuk disuguhkan kepada Rasulullah. Piring itu pecah dan kemudian makanan yang mau disuguhkan untuk tamu pun jatuh.
Menyaksikan hal tersebut, Rasulullah tidak marah. Sebagai lelaki beliau tidak merasa harga dirinya turun. Beliau tidak merasa kehormatannya dipermalukan. Beliau tidak merasa khawatir disebut sebagai suami yang tidak mampu mendidik istrinya untuk mengendalikan emosi. Sama sekali tidak.
Kemudian Rasulullah mendekati mereka dengan tenang, seperti tak terjadi apa-apa. Lalu beliau memunguti makanan dari kurma tersebut dan meletakkannya di sisa-sisa piring, kemudian membawanya untuk dimakan bersama para tamunya.
“Maaf… ibu kalian ini sedang cemburu,” terang Rasulullah kepada para sahabatnya. Tak lupa, beliau mengganti piring yang sudah pecah tersebut dengan piring baru yang utuh untuk dibawa kembali oleh pembantu kepada Zainab.
Demikianlah agungnya akhlaq Rasulullah. Khuluqun ‘adziim. Beliau tidak mempermasalahkan masalah, namun mampu menyelesaikan masalah. Beliau tahu waktu itu Aisyah sedang cemburu karena di hari giliran Aisyah, Sayyidah Zainab mengirim makanan untuk beliau. Maka Sayyidah Aisyah pun secara reflek memecahkan piring sebagai ekspresi kecemburuannya.
Dan Rasulullah memecahkan masalah dengan bijak. Beliau tidak memarahi Aisyah karena memarahi istri yang sedang marah malah akan menimbulkan sebuah masalah baru. Masalah semula tidak terselesaikan, justru suami istri terlibat pertengkaran. Akan tetapi, Rasulullah tidaklah melakukan itu.
Namun memecahkan piring orang lain tetap saja tidak dapat dibenarkan. Dan karenanya harus diganti. Karena itulah hadits ini dibahas panjang lebar oleh Alhafidz Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitabnya Fathul Baari, untuk mengambil istinbath jika seseorang memecahkan barang milik orang lain, haruskah mengganti dengan barang atau bisa dalam bentuk uang.
Sikap Rasulullah juga tetap kalem saja di hadapan para sahabat. Beliau tidak menyalahkan Aisyah karena menyalahkan istri di depan orang lain bukanlah tindakan yang terpuji. Orang yang melihatnya tentu akan mengetahui bahwa keluarga tersebut sedang dilanda masalah, sementara mereka belum tentu bisa membantu menyelesaikan masalahnya.
Sebagai seorang suami, mampukah kita menahan emosi layaknya panutan kita baginda Rasulullah saat istri kita tiba-tiba marah di depan tamu atau malah memecahkan piring seperti sayyidah Aisyah?