Ada banyak kisah sukses dimana seseorang yang dahulunya hidup susah, berubah menjadi berkecukupan. Bahkan mereka mampu membuat lapangan kerja bagi warga lainnya. Kita pun hendaknya bisa mengambil hikmah dan semangat dari perjalanan mereka yang kini sukses.
Salah satunya seperti kisah perjalanan bisnis seorang pria bernama Muhtadin yang tinggal di Kampung Cipayung RT 05 RW 02 Kelurahan Abadijaya Kecamatan Sukmajaya Depok Jawa Barat. Pria asal Tasikmalaya yang akrab disapa Mumu Cuik ini merupakan seorang pengusaha yang merintis usaha dari nol.
Berawal dari hanya menjadi seorang pedagang ikan cuik di emperan dan stasiun kereta api, kini ia memiliki beberapa orang karyawan.
Mumu pertama kali menginjakkan kaki di Depok pada tahun 1983 setelah terjadi letusan gunung Galunggung pada tahun 1982. Letusan tersebut telah menghancurkan mata pencaharian keluarganya yang seorang petani. Usaha domba pamannya pun sudah tidak bisa diharapkan lagi.
“Paman saya Bandar domba. Usahanya bangkrut saat gunung meletus,” ucapnya, seperti yang dikutip dari KONTAN.
Tak ada pilihan membuatnya terpaksa untuk mencari penghidupan di kota. Saat itu Mumu masih berumur 13 tahun dan baru tamat SD. Di Depok, ia tinggal bersama dengan saudaranya yang berjualan ikan cuik. Selain membantu saudara di pasar, ia juga kerja serabutan.
“Hampir selama setahun saya kerja kuli panggul di pasar,” kenang bapak lima anak ini.
Setelah setahun berselang, ia kemudian mencoba peruntungan dengan membuat usaha sendiri lewat berjualan ikan cuik langsung dari pemasok. Dengan tanpa modal, Mumu mengambil ikan dan menjualnya di berbagai pasar seperti Depok Lama, Depok Jaya dan Pasar Lenteng Agung. Setelah itu ia pun menyetorkan hasil jualannya.
Dari hasil jualannya, Mumu setiap hari bisa mendapatkan keuntungan sebesar 3 ribu hingga 4 ribu.
Di tahun 1984, Mumu tergiur untuk bekerja di pabrik dan memutuskan untuk berhenti jualan. Namun setelah dijalani, menjadi buruh pabrik lebih banyak ruginya sehingga ia pun hanya bisa bertahan hingga 10 bulan.
“Saya berpikir lebih enak dagang daripada menjadi buruh pabrik,” akunya.
Setelah itu, pria kelahiran 6 Maret 1968 ini menekuni jualan ikan pindang. Penjualannya pun cukup meningkat sehingga Mumum memutuskan untuk memproduksi sendiri dengan modal 4 juta. Semuanya ia lakukan sendiri di tahun 1990-an dengan berbekal ilmu dari tukang pindang yang ia kenal dahulu.
Lantaran keterampilannya minim, Mumu pun menemui berbagai kendala seperti ikan olahannya tidak enak dan gatal saat dimakan. Bahkan terkadang ikan produksinya utuh di luar namun hancur di bagian dalam. Ternyata setelah diselidiki, ikan tersebut didapat dengan cara dibom atau menggunakan dinamit.
“Pantas saja pemerintah melarang bom ikan selain merusak juga merugikan pembuat pindang,” terangnya.
Roda ekonomi ternyata terus berputar dan ada kalanya berada di bawah. Itu juga yang dialami oleh Mumu yang setelah mengalami kemajuan, justru dilanda badan krisis ekonomi di tahun 1997.
Semua bahan baku mahal, sedangkan daya beli masyarakat begitu rendah. Lantaran hal tersebut, Mumu beralih profesi menjadi tukang kredit barang. Bukannya memperoleh keuntungan, usahanya justru membuat keuangan Mumu ambruk lantaran pembayaran yang macet.
Karena sudah tidak memiliki modal untuk memproduksi ikan pindang lagi, Mumu pun memutuskan untuk merintis usaha tersebut dengan mendagangkan usaha orang lain.
“Saya mulai ambil barang dari orang, dan berdagang lagi di pasar,” tuturnya.
Di tahun 2000-an, usahanya mulai mengalami perbaikan dan kemajuan. Terbukti produksinya cukup stabil dan mampu mempekerjakan 12 orang. Harga ikan bandeng jualannya pun meningkat tajam saat Hari Raya Islam.
“Rata-rata omzet penjualan Rp 20 juta per hari,” bebernya.
Kini Muhtadin mengembangkan sayap usaha dengan memproduksi pindang dan bandeng presto. Bahkan usahanya telah masuk ke pasar modern.
Meski berpendidikan rendah, Mumu tak ingin anaknya memiliki pendidikan yang serupa. Ia ingin anaknya bisa sarjana karena pendidikan sangat penting untuk bekal hidup.
“Walau saya hanya tamatan SD, anak-anak minimal harus menjadi sarjana. Alhamdulillah, sekarang kami ada rezeki sedikit, jadi pendidikan anak menjadi prioritas utama,” pungkas Mumu.
Salah satunya seperti kisah perjalanan bisnis seorang pria bernama Muhtadin yang tinggal di Kampung Cipayung RT 05 RW 02 Kelurahan Abadijaya Kecamatan Sukmajaya Depok Jawa Barat. Pria asal Tasikmalaya yang akrab disapa Mumu Cuik ini merupakan seorang pengusaha yang merintis usaha dari nol.
Muhtadin, kuli panggul yang jadi juragan presto (KONTAN) |
Mumu pertama kali menginjakkan kaki di Depok pada tahun 1983 setelah terjadi letusan gunung Galunggung pada tahun 1982. Letusan tersebut telah menghancurkan mata pencaharian keluarganya yang seorang petani. Usaha domba pamannya pun sudah tidak bisa diharapkan lagi.
“Paman saya Bandar domba. Usahanya bangkrut saat gunung meletus,” ucapnya, seperti yang dikutip dari KONTAN.
Tak ada pilihan membuatnya terpaksa untuk mencari penghidupan di kota. Saat itu Mumu masih berumur 13 tahun dan baru tamat SD. Di Depok, ia tinggal bersama dengan saudaranya yang berjualan ikan cuik. Selain membantu saudara di pasar, ia juga kerja serabutan.
“Hampir selama setahun saya kerja kuli panggul di pasar,” kenang bapak lima anak ini.
Setelah setahun berselang, ia kemudian mencoba peruntungan dengan membuat usaha sendiri lewat berjualan ikan cuik langsung dari pemasok. Dengan tanpa modal, Mumu mengambil ikan dan menjualnya di berbagai pasar seperti Depok Lama, Depok Jaya dan Pasar Lenteng Agung. Setelah itu ia pun menyetorkan hasil jualannya.
Dari hasil jualannya, Mumu setiap hari bisa mendapatkan keuntungan sebesar 3 ribu hingga 4 ribu.
Di tahun 1984, Mumu tergiur untuk bekerja di pabrik dan memutuskan untuk berhenti jualan. Namun setelah dijalani, menjadi buruh pabrik lebih banyak ruginya sehingga ia pun hanya bisa bertahan hingga 10 bulan.
“Saya berpikir lebih enak dagang daripada menjadi buruh pabrik,” akunya.
Setelah itu, pria kelahiran 6 Maret 1968 ini menekuni jualan ikan pindang. Penjualannya pun cukup meningkat sehingga Mumum memutuskan untuk memproduksi sendiri dengan modal 4 juta. Semuanya ia lakukan sendiri di tahun 1990-an dengan berbekal ilmu dari tukang pindang yang ia kenal dahulu.
Lantaran keterampilannya minim, Mumu pun menemui berbagai kendala seperti ikan olahannya tidak enak dan gatal saat dimakan. Bahkan terkadang ikan produksinya utuh di luar namun hancur di bagian dalam. Ternyata setelah diselidiki, ikan tersebut didapat dengan cara dibom atau menggunakan dinamit.
“Pantas saja pemerintah melarang bom ikan selain merusak juga merugikan pembuat pindang,” terangnya.
Roda ekonomi ternyata terus berputar dan ada kalanya berada di bawah. Itu juga yang dialami oleh Mumu yang setelah mengalami kemajuan, justru dilanda badan krisis ekonomi di tahun 1997.
Semua bahan baku mahal, sedangkan daya beli masyarakat begitu rendah. Lantaran hal tersebut, Mumu beralih profesi menjadi tukang kredit barang. Bukannya memperoleh keuntungan, usahanya justru membuat keuangan Mumu ambruk lantaran pembayaran yang macet.
Karena sudah tidak memiliki modal untuk memproduksi ikan pindang lagi, Mumu pun memutuskan untuk merintis usaha tersebut dengan mendagangkan usaha orang lain.
“Saya mulai ambil barang dari orang, dan berdagang lagi di pasar,” tuturnya.
Di tahun 2000-an, usahanya mulai mengalami perbaikan dan kemajuan. Terbukti produksinya cukup stabil dan mampu mempekerjakan 12 orang. Harga ikan bandeng jualannya pun meningkat tajam saat Hari Raya Islam.
“Rata-rata omzet penjualan Rp 20 juta per hari,” bebernya.
Kini Muhtadin mengembangkan sayap usaha dengan memproduksi pindang dan bandeng presto. Bahkan usahanya telah masuk ke pasar modern.
Meski berpendidikan rendah, Mumu tak ingin anaknya memiliki pendidikan yang serupa. Ia ingin anaknya bisa sarjana karena pendidikan sangat penting untuk bekal hidup.
“Walau saya hanya tamatan SD, anak-anak minimal harus menjadi sarjana. Alhamdulillah, sekarang kami ada rezeki sedikit, jadi pendidikan anak menjadi prioritas utama,” pungkas Mumu.
Baca Juga: Kisah Sukses Pengusaha Swalayan Tip Top Terapkan Cara Rasulullah Berdagang