Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai menganggap proses hukum yang dilakukan kepolisian terhadap penulis buku Jokowi Undercover, Bambang Tri Mulyono perlu mendapat apresiasi karena bertujuan baik untuk melindungi kepala negara.
"Dimana beliau lahir dan dibesarkan apakah di Sragen atau di Sriroto Boyolali? Siapa orang tua sesungguhnya? Lantas apakah memang ada hubungan dengan PKI di tahun 1950-an dan 1960-an? Kami tetap antisipasi sedini mungkin karena kesangsian atas identitas akan menjadi tutur (diskursus) sejarah dan berita kelam pada masa yang akan datang," katanya dalam keterangannya seperti dilansir dari Rimanews.com (05/01).
Bambang Tri Mulyono telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan kepolisian. Dalam bukunya, Bambang menuliskan asal dari Presiden Jokowi dan silsilahnya.
Natalius menjelaskan, negara seharusnya membantu menjernihkan penasaran publik, mengapa identitas Jokowi masih dipersoalkan oleh banyak rakyat Indonesia secara terus menerus sejak beliau masa pencalonan bahkan setelah menjabat sebagai presiden.
Sejatinya membantu Jokowi dengan membentuk Tim independen yang terdiri dari berbagai ahli termasuk pihak universitas, ahli sejarah, pihak kesehatan, kepolisian, kejaksaan, komunitas intelijen (BIN, BAIS) untuk melakukan klarifikasi secara resmi guna mengembalikan citra Jokowi dan keluarganya secara resmi.
"Tim ini bertugas menelusuri fakta sejarah, mengumpulkan dokumen termasuk data rahasia negara sebagai data sekunder, pengambilan data primer, melakukan penyelidikan ilmiah (scientivic investigation) melalui Tes DNA, dan hasilnya bisa dibukukan serta diumumkan ke publik secara resmi,"ucapnya.
Di saat proses belangsung Presiden Jokowi harus ditempatkan sebagai warga negara Indonesia yang diduga difitnah. Di negara-negara maju proses penyelidikan semacam ini terhadap seorang Presiden atau pemimpin negara adalah hal yang lazim.
Selain itu, pelarangan terhadap penilaian masyarakat atas karya cipta semestinya patut untuk diperhatikan, sebab terkesan ada kecenderungan penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) melalui pengekangan kebebasan pendapat, pikiran dan perasaan serta pengekangan kebebasan ekspresi rakyat Indonesia.
"Negara sebaiknya tidak memasuki ruang hak asasi individu yang telah melekat secara alamiah, namun harus melakukan suatu upaya progresif dan profesional untuk menyatakan bahwa buku tersebut adalah salah," terang Pigai.
Dia berharap pemerintah sebaiknya menghindari melakukan tindakan defensif dengan menyatakan isi buku Jokowi Undercover itu tidak benar, fitnah, bohong dan sebagainya.
"Karena rakyat masih Ingat kata seorang tokoh nasional "sepersen saja saya makan uang, siap digantung di Monas" tindakan atau perkataan yang bertolak belakang dengan fakta ini yang disebut teori Acontrario, atau pepatah Jawa Kuno 'becik ketitik ala ketara'," pungkasnya.
Dok: Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai |
"Dimana beliau lahir dan dibesarkan apakah di Sragen atau di Sriroto Boyolali? Siapa orang tua sesungguhnya? Lantas apakah memang ada hubungan dengan PKI di tahun 1950-an dan 1960-an? Kami tetap antisipasi sedini mungkin karena kesangsian atas identitas akan menjadi tutur (diskursus) sejarah dan berita kelam pada masa yang akan datang," katanya dalam keterangannya seperti dilansir dari Rimanews.com (05/01).
Bambang Tri Mulyono telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan kepolisian. Dalam bukunya, Bambang menuliskan asal dari Presiden Jokowi dan silsilahnya.
Natalius menjelaskan, negara seharusnya membantu menjernihkan penasaran publik, mengapa identitas Jokowi masih dipersoalkan oleh banyak rakyat Indonesia secara terus menerus sejak beliau masa pencalonan bahkan setelah menjabat sebagai presiden.
Sejatinya membantu Jokowi dengan membentuk Tim independen yang terdiri dari berbagai ahli termasuk pihak universitas, ahli sejarah, pihak kesehatan, kepolisian, kejaksaan, komunitas intelijen (BIN, BAIS) untuk melakukan klarifikasi secara resmi guna mengembalikan citra Jokowi dan keluarganya secara resmi.
"Tim ini bertugas menelusuri fakta sejarah, mengumpulkan dokumen termasuk data rahasia negara sebagai data sekunder, pengambilan data primer, melakukan penyelidikan ilmiah (scientivic investigation) melalui Tes DNA, dan hasilnya bisa dibukukan serta diumumkan ke publik secara resmi,"ucapnya.
Di saat proses belangsung Presiden Jokowi harus ditempatkan sebagai warga negara Indonesia yang diduga difitnah. Di negara-negara maju proses penyelidikan semacam ini terhadap seorang Presiden atau pemimpin negara adalah hal yang lazim.
Selain itu, pelarangan terhadap penilaian masyarakat atas karya cipta semestinya patut untuk diperhatikan, sebab terkesan ada kecenderungan penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) melalui pengekangan kebebasan pendapat, pikiran dan perasaan serta pengekangan kebebasan ekspresi rakyat Indonesia.
"Negara sebaiknya tidak memasuki ruang hak asasi individu yang telah melekat secara alamiah, namun harus melakukan suatu upaya progresif dan profesional untuk menyatakan bahwa buku tersebut adalah salah," terang Pigai.
Dia berharap pemerintah sebaiknya menghindari melakukan tindakan defensif dengan menyatakan isi buku Jokowi Undercover itu tidak benar, fitnah, bohong dan sebagainya.
"Karena rakyat masih Ingat kata seorang tokoh nasional "sepersen saja saya makan uang, siap digantung di Monas" tindakan atau perkataan yang bertolak belakang dengan fakta ini yang disebut teori Acontrario, atau pepatah Jawa Kuno 'becik ketitik ala ketara'," pungkasnya.